Pemerintah tampaknya serius ingin mengembangkan kendaraan bertenaga listrik berbasis baterai di tanah air. Bahkan roadmap penggunaannya pun sudah mulai dirancang. Kamu pasti juga sudah melihat, banyak sosialisasi dilakukan, termasuk betapa lebih efisiennya mobil listrik jika dibandingkan mobil konvensional bertenaga BBM.
Pemerintah mengaku, bahwa kebijakan percepatan sosialisasi pemakaian mobil listrik ini berdasarkan potensi Indonesia yang sangat besar untuk mengembangkannya.
Apa Itu Mobil Listrik?
Kendaraan, dalam hal ini mobil listrik adalah mobil atau kendaraan yang sepenuh atau sebagian digerakkan oleh motor bertenaga listrik dari baterai yang dapat diisi ulang.
Produk ini sebenarnya bukan termasuk produk baru, karena mobil listrik pertama diproduksi tahun 1880-an, dan sempat populer hingga awal abad ke-20. Namun, kemudian menjadi tidak populer, karena dari sisi ongkos produksi massal, mobil dengan bahan bakar bensin jauh lebih murah dan juga kemudian adanya inovasi mesin pembakaran internal, atau Internal Combustion Engine ICE.
Kunci 60% komponen mobil listrik adalah pada baterai, yang tersedia secara melimpah di Indonesia. Indonesia mempunyai cadangan nikel terkaya sebagai bahan baku produksi baterai kendaraan listrik, yang nantinya akan menjadi bagian dari global value chain.
Karena hal inilah, pemerintah berusaha mempercepat penggunaannya, selain bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan emisi karbon ke depannya. Karena memang itulah keunggulan mobil listrik, atau e-mobility ini, yaitu efisiensinya yang sangat tinggi sehingga emisi karbon akan sangat bisa ditekan.
Memang, mobil listrik bisa menjadi salah satu alternatif transportasi jika kita memang concern terhadap pengelolaan energi yang berkelanjutan.
However, meski memang memiliki banyak keuntungan potensial—seperti dapat kita lihat dalam tabel di atas—mobil listrik masih memiliki kekurangan. Terutama dari segi total cost of ownership, alias TCO.
TCO merupakan keseluruhan biaya kepemilikan, mulai dari beli, operasional, hingga perawatan dalam jangka waktu tertentu. Ternyata mobil berbahan bakar bensin masih jauh lebih murah.
Misalnya, mobil listrik yang diproduksi oleh Hyundai, Ioniq atau Kona EV, harganya masih pada kisaran minimal Rp600 juta. Harga ini untuk mobil bensin setara dengan Honda CRV dan Fortuner. Jelas bukan mobil niaga atau kelas mobil yang dipakai oleh kalangan menengah. Bahkan mungkin kelas menengah ke atas pun bakalan harus mempertimbangkannya dengan sangat masak sebelum membelinya. Padahal, harga baterai juga mulai turun, tapi dengan harga sedemikian tinggi, maka pemerintah jadi punya kewajiban tambahan: memberi insentif—misalnya dari pajak—agar TCO kemudian bisa ditekan.
Hal yang sama sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah berbagai negara. Seperti pemerintah Amerika Serikat misalnya, sudah menghibahkan dana sebesar USD 2.4 miliar untuk pengembangan baterai dan mobil listrik. Sementara, pemerintah Tiongkok mengalokasikan USD 15 miliar untuk mulai produksi. Pemerintah negara lain ada yang sudah berinisiatif memberikan kredit pajak, subsidi hingga insentif demi mengurangi beban harga beli mobil listrik dan mobil plug-in.
Lalu, bagaimana dengan pemerintah Indonesia? Tahun 2012, pemerintah sempat menggelontorkan Rp100 miliar untuk riset mobil listrik. Tahun 2013, pemerintah mengumumkan bahwa untuk mobil listrik tidak dikenakan pajak. Di tahun yang sama, Zbee—sebuah perusahaan dari Swedia—telah membuka pabrik kendaraan listrik di Banyuwangi, Jawa Timur.
Nah, melihat prospeknya, dan juga kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan pentingnya beralih ke sumber energi terbarukan, maka tak tertampik pula mengenai prospek memiliki bisnis stasiun pengisian baterai khusus bagi mobil listrik.
Faktanya, infrastruktur pengisian daya sampai saat ini masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Belum lagi soal jangkauan kendaraan—banyak orang khawatir, baterai sudah habis sebelum sampai tujuan—dan harganya yang masih belum tersolusikan.
Tertarik Bisnis SPKLU?
Yes, kalau ngomongin soal potensi dan prospek, bisnis SPKLU, atau Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum, ini cukup moncer. Mengingat ke depannya, kita akan diarahkan untuk lebih banyak menggunakan mobil listrik, dan faktanya, penjualan mobil listrik juga meningkat secara signifikan sejak 2017.
Coba lihat pada data pada infografis di atas, yang merupakan data dari GAIKINDO—atau Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia. Total penjualannya tak hanya pada mobil listrik (EV) saja, tetapi juga mobil hybrid dan PHEV. Keduanya adalah kendaraan ramah lingkungan, meskipun masih “melibatkan” bensin sebagai bahan bakar. Tetapi tentu saja, tidak sebanyak mobil konvensional.
Nah, ini adalah data terbaru, sampai Januari 2022 yang lalu.
So, kalau kamu memang tertarik untuk berbisnis SPKLU, PLN ternyata punya loh, programnya. Nantinya, untuk bisa bekerja sama, kamu akan diminta untuk menyediakan fasilitas isi daya, lahan, serta mengelola biaya operasional dan pemeliharaannya.
Pihak PLN nantinya akan memfasilitasi penyediaan Surat Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL), suplai lustri, dan aplikasi Charge IN untuk pengelolaan SPKLU.
Sebenarnya, ada beberapa model bisnis yang ditawarkan oleh PLN dalam hal ini seperti yang dilansir dari laman resmi PLN. Mari kita lihat.
Skema Provider
Pengusaha akan menyediakan tenaga listrik sendiri, dan menjualnya kepada konsumen. Untuk skema ini nantinya akan diperlukan penetapan wilayah usaha, IUPT terintegrasi, dan nomor identitas SPKLU.
Skema Retailer
Pengusaha membeli tenaga listrik dari PLN, atau pemegang wilayah usaha lain, dan menjual atas nama badan usaha sendiri. Untuk skema ini akan diperlukan penetapan wilayah usaha, IUPTL penjualan, dan nomor identitas SPKLU.
Skema Kerja Sama
Pengusaha sebagai mitra PLN hanya diwajibkan memiliki nomor identitas SPKLU. Perizinan lainnya akan difasilitasi oleh PLN, seperti yang sudah sempat disinggung di atas.
Cara untuk Mulai Berbisnis SPKLU
So, PLN memang sudah terang-terangan mengumumkan, bahwa mereka mencari partner bisnis SPKLU. Bahkan mengembangkan website khusus layanan kemitraannya loh. Siapa saja yang tertarik, bisa mendaftar melalui kanal yang sudah disediakan ini.
Kamu bisa akses website resmi Layanan PLN Parnership SPKLU. Kamu akan lihat ada 2 menu yang disediakan, yaitu Partnership IO2 Model dan Partnership Sharing Economy Model. Silakan diklik masing-masing untuk tahu lebih detailnya ya. Tentukan mau bekerja sama dengan model yang mana, dan klik “Daftarkan Diri Anda”. Ikuti saja semua petunjuknya sampai selesai, dan lengkapi syaratnya ya.
Dilansir dari laman DetikOto, ada 6 pilihan harga paket SPKLU IO2 atau model waralaba, yaitu:
- Medium charging 25 kW (outdoor), harga paket Rp 389,4 juta, fee partner Rp 1.350,07/kWh, gross income Rp 8,1 juta/bulan
- Medium charging 25 kW (indoor), harga paket Rp 361,9 juta, fee partner Rp 1.268,33/kWh, gross income Rp 7,6 juta/bulan
- Fast charging 50 kW (outdoor), harga paket Rp 600,6 juta, fee partner Rp 1.966,22/kWh, gross income Rp 11,8 juta/bulan
- Fast charging 50 kW (indoor), harga paket Rp 573,1 juta, fee partner Rp 1.888,77/kWh, gross income Rp 11,3 juta/bulan
- Ultra fast charging >100 kW (outdoor), harga paket Rp 1.083,5 juta, fee partner Rp 3.387,28/kWh, gross income Rp 20,3 juta/bulan
- Ultra fast charging >100 kW (indoor), harga paket Rp 1.056,0 juta, fee partner Rp 3.306,57/kWh, gross income Rp 19,8 juta/bulan.
Wah, lumayan juga ya gross income-nya.
Saat ini sudah (atau baru?) terdapat 187 unit SPKLU di seluruh Indonesia. Pastinya, jumlah ini akan kurang banget kalau kita benar-benar mengonversi seluruh kendaraan berbahan bakar bensin sekarang menjadi mobil listrik. PLN sendiri menargetkan masih akan membangun 67 stasiun lagi hingga akhir tahun 2022.
Kalau dilihat dari roadmap besarnya, pemerintah sendiri menargetkan akan ada 31.859 SPKLU di tahun 2030.
Nah, gimana? Tertarik untuk berbisnis SPKLU untuk mobil listrik dan kendaraan elektronik lainnya? Hayok, mulai kumpulkan modal bisnis yang bener kalau gitu!