Assalamu’alaykum wanita bekerja!
Bagaimana kabar kalian, semoga sehat-sehat selalu ya. Masak apa hari ini?
Apa respon Anda ketika order ojek online, ternyata drivernya sorang wanita? Jurumudi bus Transjakarta yang dengan dengan baju rapinya, juga seorang wanita, sementara pramuniaga di mal, swalayan, pasar, bahkan pusat grosir Tanahabang mayoritas adalah wanita. Belum lagi guru besar atau profesor di kampus, bahkan bisa jadi bos di kantor sekarang seorang wanita.
Respons saya, “biasa saja”.
Namun pernahkan Anda berfikir tentang bagaimana kehidupan para wanita karir itu? Apakah wanita yang bekerja masih bisa berkeluarga seperti “kodrat”-nya para wanita?
Ternyata “iya”.
Zaman semakin modern, kemajuan teknologi telah memudahkan kaum wanita untuk mengurus keluarga sekaligus bekerja. Kabar gembira bagi suami, selain bisa ngurus rumah ternyata juga menghasilkan duit. Kata mereka, istri boleh bekerja asalkan anak dan suami tetap terpelihara.
Untuk mempersingkat waktu, menu makanan para wanita karir pun bergeser dari masak di rumah menjadi jajan di luar. Tujuannya jelas untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan karir dan urusan keluarga. Di Jabodetabek memang tak perlu pusing mikirin pilihan makanan, mulai dari Warung Tegal sampai Rumah Makan Padang bertebaran di tiap sudut peradaban.
Malas bergerak? tinggal pesan makanan lewat aplikasi smartphone, menu pilihan akan diantarkan dalam hitungan menit. Soal harga, untungnya sangat variatif mulai dari harga kaki lima hingga restoran hotel bintang lima, semuanya ada. Tenang saja, menu bisa disesuaikan dengan budget sepanjang memenuhi empat sehat lima sempurna.
Korelasi produktvitas wanita karir dan tingkat konsumsi
Membeli makanan di luar rumah, alih-alih memasak sendiri menjadi implikasi dari semakin banyaknya wanita usia produktif yang bekerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), partisipasi wanita dalam angkatan kerja menunjukkan peningkatan dari masa ke masa.
Empat puluh tujuh tahun yang lalu, tepatnya tahun 1971, 37% dari total penduduk wanita di Indonesia ikut serta bekerja. Tahun 1990, alias 19 tahun kemudian, persentase ini meningkat menjadi 44,6%. Di tahun 2013, bahkan lebih dari separuh populasi wanita, 53% tepatnya, turut serta bekerja.
Terdapat sebuah konsensus tak tertulis dalam budaya masyarakat Indonesia, bahwa tugas menyediakan makanan untuk seluruh anggota keluarga adalah kewajiban seorang wanita artinya peran seorang istri atau ibu. Maka, melihat kecenderungan semakin banyaknya wanita yang bekerja, jatah waktu yang mereka miliki untuk memasak pun berkurang. Akibatnya, kebutuhan akan makanan siap santap harus dipenuhi dengan membeli.
Tak heran jika kemudian terjadi kenaikan kuantitas pembelian makanan di luar rumah. Berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS, diketahui pula bahwa pola “makan dari luar” ini terus meningkat.
Jika pada tahun 1999 hanya 9,48% dari keseluruhan aktivitas makan yang dipenuhi dengan membeli, maka pada tahun 2014 angka ini menjadi 12,56%. Sementara, pembelian biji-bijian (grains) untuk konsumsi per rumah tangga justru berkurang dari 16,68% di tahun 1999 menjadi hanya 6,83% di tahun 2014. Artinya, para wanita dalam rumah tangga semakin lama cenderung memilih untuk membeli makanan jadi ketimbang makan makanan yang dimasak sendiri.
Benarkah wanita karir simbol ekonomi modern?
Apa gunanya informasi macam ini untuk kita?
Ada dua pihak yang seharusnya aware, yaitu para pengusaha dan para wanita.
Pertama, para pengusaha makanan seyogianya menyadari bahwa potensi pasar makin lebar, terutama di perkotaan dengan tingkat kepadatam penduduk tinggi. Pola persebaran domisili di Indonesia menunjukkan bahwa kita sedang dalam kecenderungan untuk melakukan urbanisasi dari desa ke kota.
Dalam hal bisnis makanan, padatnya jumlah penduduk di perkotaan adalah angin segar bagi pengusaha, karena penduduk kota cenderung lebih konsumtif daripada penduduk desa. Para penyedia makanan harus jeli mengamati selera dan harga yang diminati para konsumen, sehingga memungkinkan bisnisnya tetap eksis dan berkembang.
Kedua, para wanita hendaknya lebih waspada. Sebenarnya, membeli makanan di luar, alih-alih memasaknya sendiri bukanlah sesuatu yang tercela. Namun begitu, tetap saja ada prasyarat yang harus dipenuhi seorang wanita untuk tetap profesional mengatur urusan pangan keluarganya, meskipun sembari bekerja. Dalam hal ini, wanita tidak boleh melupakan soal komposisi gizi dan kualitas makanan yang ia beli.
Selain soal harga lebih mahal, yang dikhawatirkan dari membeli makanan jadi, adalah kualitasnya tidak seperti masakan sendiri. Industri makanan menawarkan bermacam-macam harga, rasa dan rupa. Jika tidak jeli, seorang ibu bisa terjebak pada kebiasaan berlebihan membeli fast food, makanan yang tidak higienis, atau makanan dengan komposisi gizi yang tidak seimbang.
Padahal, pola makan ini sangat erat kaitannya dengan kesehatan. Baik itu kesehatan anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa, maupun orang dewasa yang tugas utamanya bekerja. Sementara itu, data dari World Health Organization (WHO) juga menunjukkan perubahan revolusioner dalam data penyakit dan penyebab kematian di seluruh dunia.
Fakta menarik tentang penyakit ini menunjukkan keterkaitan yang sangat logis antara kondisi ekonomi dan kesehatan keluarga.
Satu abad yang lalu, masih banyak dijumpai penyakit busung lapar, tuberculosis, dan gizi buruk di Indonesia. Penyebabnya, tentu saja karena masih banyak penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan.
Soal pencegahan penyakit, jangankan vaksinasi, barangkali untuk sekedar menimbang berat badan saja tidak bisa dilakukan. Bertemu dengan tenaga medis adalah kesempatan yang langka dan mahal. Pada masa itu, selain karena teknologi dan pendidikan belum berkembang secanggih hari ini, bangsa kita juga sedang berada dalam era penjajahan.
Lain cerita dengan sekarang…
Pembunuh tertinggi penduduk indonesia adalah penyakit stroke, jantung, dan diabetes melitus. Asal usulnya, tentu saja dari pola hidup yang tidak sehat, asupan makanan yang berlebihan namun gizinya tidak seimbang. Dari sisi ekonomi, memang sudah tidak lagi dialami kesulitan yang berarti untuk mendapatkan makanan. Pilihan aneka rupa dan bermacam harga telah tersedia. Masalahnya justru berada pada pengendalian dirinya.
Maka dari itu, menyerahkan tugas ibu rumah tangga untuk memasak kepada pengusaha makanan akan sah-sah saja, asalkan kontrol akan frekuensi serta kualitasnya masih dalam batas kendali. Bagaimanapun, keluarga yang sehat adalah aset paling berharga.
Wassalamualaykum para wanita karir!
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.
adelinatampubolon mengatakan
Benar juga yach. Kecenderungan sekarang dengan membeli makanan cepat saji yang begitu mudah justru memicu penyakit baru yaitu diabetes. Terima kasih untuk sharing nya.
adelinatampubolon mengatakan
Benar juga yach. Saat sekarang dimana semakin mudahnya mendapatkan makanan cepat saji penyakit diabetes menjadi momok yang menghantui. hikksss..
diskartes mengatakan
Untung lo masih yoga