Ada yang pernah memanfaatkan jasa startup groceries?
Well, startup jenis ini sempat hype sih beberapa waktu yang lalu, terutama ketika semua orang diwajibkan untuk di rumah saja demi mengurangi mobilitas akibat pandemi.
Sebenarnya apa itu startup groceries? Dengar-dengar, sekarang makin banyak yang oleng ya? Yuk, coba kita kepoin di artikel kali ini.
Apa Itu Startup Groceries?
Startup groceries adalah perusahaan rintisan berbentuk toko bahan pangan yang menyediakan layanan jasa pemesanan kebutuhan makanan sehari-hari untuk pengguna, mulai dari sayuran, buah-buahan, hingga jenis bahan makanan lainnya melalui aplikasi yang bisa diunduh secara gratis di smartphone. Sistem pelayanannya adalah on demand atau quick commerce.
Melalui aplikasi yang sudah diunduh, pengguna dapat memesan berbagai kebutuhan seperti layaknya berbelanja di supermarket. Setelah belanjaan sudah lengkap, pengguna lantas melakukan checkout, memasukkan data-data yang diperlukan (salah satunya alamat pengantaran), dan membayar sesuai nominal belanja yang sudah dihitung. Biasanya tersedia berbagai metode pembayaran, bisa melalui e-wallet, transfer, dan sebagainya.
Setelah belanjaan dibayar, pengguna tinggal menunggu pesanan diantarkan ke alamat yang sudah diberikan.
Memang layanan ini sangat praktis, memungkinkan orang untuk tetap berada di rumah, sementara kebutuhan “akan datang” sendiri sampai di depan pintu.
Menurut data dari Tech in Asia, ada 40-an lebih startup groceries beroperasi di Asia Tenggara.
Perkembangan Startup Groceries
Saat pandemi dimulai, masyarakat berubah kebutuhannya; dari belanja ke pasar, supermarket, atau toko ritel harus beralih menggunakan aplikasi belanja online on demand, yang bisa diakses online dan yang menyediakan layan antar
Padahal, harga yang ditawarkan oleh penyedia layanan sebenarnya lebih tinggi daripada pasar. Tapi ya, mau gimana lagi? Daripada terpapar virus, yang kemudian malah harus mengeluarkan biaya perawatan dan berobat yang tidak sedikit, lebih baik pesan online, tinggal duduk manis di rumah menunggu pesanan datang. Biasanya juga tak terlalu lama, 1 – 2 jam pesanan sudah bisa diterima. Hal ini juga menjadi KPI tersendiri sih buat si startup groceries yang bersangkutan, terutama untuk menjaga agar bahan makanan yang datang masih dalam kondisi yang segar.
So, startup groceries ini sebenarnya sudah mencoba untuk meng-cover kebutuhan masyarakat sesuai zamannya.
Hal ini sesuai dengan infografis yang pernah dibagikan oleh DBS berikut ini.
Sementara, menurut Laporan E-conomy SEA 2021, sektor penjualan online untuk kebutuhan pokok ini memang berkembang pesat. Penggunanya mengalami pertumbuhan hingga 62%, yang mengikuti peningkatan yang juga terjadi pada pengeluaran belanja kebutuhan yang mencapai 60% dari tahun sebelumnya.
Meski demikian, kontribusi startup groceries pada penjualan ritel nasional hanyalah 10%. Namun, angka ini juga lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya, yang hanya 2% hingga 4%.
Penetrasi startup groceries juga belum menyeluruh, masih berkutat di seputar Jabodetabek. Padahal kalau dilihat pertumbuhan pengguna internet di daerah lain juga cukup besar loh.
Menurut data dari We Are Social, ada 204.7 juta pengguna internet di Indonesia dalam bulan Januari 2022. Artinya, angka ini naik 1.03% YoY dari Januari 2021 yang sebanyak 202.6 juta.
Tercatat, menurut data dari CEIC, pengeluaran rumah tangga per kapita di Indonesia juga naik, menjadi USD 1,060.456 pada 2021. Rekor ini naik dibanding tahun sebelumnya yaitu USD 1,008.631.
Tantangan Startup Groceries yang Semakin Nyata
Memang, banyak orang yang bilang, kalau usaha dalam sektor konsumen itu enggak ada matinya. Sebab, barangnya akan selalu dibutuhkan oleh orang banyak. Karena itu, rasanya masuk akal sekali jika kita melogika bahwa seharusnya startup groceries bisa bertahan, bahkan bertumbuh dalam jangka waktu yang panjang.
Namun, fakta ternyata berbicara lain. Diketahui dari beberapa pemberiaan media massa, bahwa beberapa startup groceries akhirnya mengalami masalah. Ada yang memilih ganti usaha, ada yang melakukan PHK massal terhadap karyawannya, ada pula yang akhirnya benar-benar bangkrut.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Tanihub
Meski nggak ada info resmi terkait berapa jumlah pegawai yang dirumahkan imbas dari penutupan warehouse di Bandung dan Bali.
Cofounder dari startup yang sempat dianggap punya potensi untuk menjadi unicorn ini, Pamitra Wineka, juga sudah tidak lagi menjabat. Selain itu, Pamitra juga melepaskan posisinya di TaniFund yang merupakan platform peer to peer lending yang berfokus pada bidang pertanian dan modal kerja.
Kabarnya, Tanihub mulai berfokus di segmen B2B dan menutup layanan B2C.
Padahal, startup groceries khusus produk pertanian ini sempat dikabarkan bertumbuh 600% di tahun 2021. Sungguh prihatin, jika memang sekarang sangat menurun hingga harus berganti fokus.
Stoqo
Awalnya Stoqo adalah startup dengan konsep B2B yang memasok bahan makanan segar, seperti cabai, telur, hingga ampas kopi ke gerai makanan atau restoran.
Sayangnya, pandemi menghantam startup ini begitu keras. Bisnis restoran dan gerai makanan yang terpaksa tutup imbas PPKM, membuat Stoqo goyah dan akhirnya terpaksa menutup layanan pada 22 April 2020.
Brambang
Startup yang berdiri tahun 2017 ini terpaksa berhenti pada 27 Mei 2022. Brambang resmi menutup layanan groceries dan kemudian alih fokus ke produk elektronik.
Nggak ada konfirmasi dari perusahaan terkait alasan untuk melakukan strategi pivot dan memilih ubah haluan dengan menggarap bisnis ecommerce untuk produk elektronik khususnya smartphone.
Mengapa Akhirnya Startup Groceries Sulit Berkembang?
Kegagalan startup kebutuhan pokok nggak cuma terjadi di Indonesia. Sektor groceries juga sulit berkembang di India. Melansir dari Tech in Asia dan Goteso, ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh startup groceries ini.
1. Biaya akuisisi pelanggan mahal
Untuk mempromosikan aplikasi, tak jarang startup harus berinvestasi pada pemasaran dalam jumlah besar dengan menghadirkan promo dan diskon. Memang strategi ini bisa membuat orang jadi beramai-ramai belanja, tetapi di sisi lain juga membuat beban pada biaya pemasaran membengkak. Parahnya lagi, tak jarang malah berujung pada disloyal customers. Pembeli hanya mau membeli saat ada diskon. Jika tidak ada diskon, mereka beralih pada penjual lain yang menawarkan harga lebih murah.
2. Untungnya sedikit
Persaingan harga yang sangat ketat dengan para kompetitor membuat startup di industri ini rela untuk mengambil keuntungan tipis di bawah 5%.
Tentu saja ini besaran margin yang kurang sehat, mengingat biaya pemasaran saja sudah sangat besar.
3. Isu soal biaya kirim
Salah satu keluhan terbesar oleh startup groceries di seluruh dunia adalah pelanggan pada umumnya tidak suka membayar biaya pengiriman.
Soal ini pernah nih dibahas di Mojok dengan cara yang tengil. Bisa deh dibaca.
4. Operasional tidak efisien
Karena barang kebutuhan pokok rawan untuk rusak, biaya untuk ini juga menjadi begitu besar. Karena itu, nggak jarang para startup akhirnya mengalami kelebihan stock atau kekurangan yang akhirnya mengganggu kualitas dan kontrol harga. Akibatnya, biaya operasional menjadi tidak efisien.
5. Kalah telak dari tukang sayur
Di India, startup groceries mengakui bahwa mereka belum mampu menggantikan pemilik gerobak dorong yang ada saat ini. Pasalnya, penjual sayur keliling mampu memberikan kredit, mengenal pelanggan dengan nama mereka, dan sering menyiapkan pesanan sebelum mendarat di depan pintu pembelinya.
Yang kayak gini mana bisa dikejar oleh startup groceries? Paling banter hanya meneriakkan, “Pakeeeet!” dari depan gerbang rumah.
Jadi, gimana ya? Ya, secara kesimpulan, sebenarnya memang ada pasar yang cukup potensial untuk didekati oleh para penyedia layanan jasa penyediaan barang-barang kebutuhan pokok ini. Tapi memang, urusan harga dan pengiriman ini jadi PR besar. Kudu dicari solusi, agar pelanggan puas tapi tidak membahayakan perusahaan juga.