Jika kebanyakan dari masyarakat golongan menengah ke bawah di negeri ini sibuk membelanjakan uang untuk membayar tagihan ini itu, konsumsi, dan masih terasa sulit untuk saving, maka beda cerita dengan pemerintah. Salah satu permasalahan klasik yang terjadi setiap tahun baik itu di level pemerintah pusat maupun daerah, adalah menumpuknya idle cash atau uang menganggur.
Kenapa menganggur?
Sebab uangnya sudah bisa dipake, sudah jelas anggarannya harus dipakai buat kegiatan apa saja, namun dalam hal eksekusinya menjadi lebih sulit daripada yang direncanakan. Ujung-ujungnya, realisasi penggunaan dana pemerintah itu menjadi lambat terutama pada awal tahun hingga mendekati triwulan terakhir pada setiap tahun anggaran.
Fenomena ini, oleh World Bank disebut sebagai slow and back loaded, yang berdasarkan pengamatan memang cenderung terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Maksudnya begini, kalau diibaratkan rumah tangga yang sudah jelas kisaran belanjanya dalam setiap bulan sekian juta total pengeluaran untuk konsumsi makanan, bayar cicilan, transportasi, dll, di mana nominal itu selalu berada pada kisaran yang sama setiap bulan, maka pemerintah tidak demikian.
Nyatanya, yang umum terjadi adalah pemerintah terkesan santai mengeluarkan dananya pada awal-awal tahun, dan belanja justru membengkak tajam dikebut pada menjelang akhir tahun.
Idle Cash Bukan Penghematan Anggaran
Perhatikan contoh data realisasi anggaran tahun 2016 pada grafik di atas (dalam konteks manajemen APBN atau APBD, realisasi ini disebut penyerapan anggaran). Jika belanja pemerintah dianalogikan dengan rumah tangga yang besaran belanjanya hampir selalu sama pada setiap bulan, maka seharusnya demikian pula di pemerintahan.
Artinya apa?
Dalam bentuk persentase terhadap total anggaran tahunan, pencairan anggaran pemerintah pada setiap bulan wajarnya berkisar di angka 100%:12 = 8,33% setiap bulan. Grafik di atas menyajikan data triwulan, sehingga dengan logika yang sama seharusnya realisasi pencairan anggaran per triwulan bisa dibagi rata sebesar 25% (100%:4 triwulan, atau 8,3% x 3).
Dengan kata lain, sewajarnya 25% anggaran diserap pada Triwulan I, 50% sampai dengan Triwulan II, 75% sampai dengan Triwulan III, dan habis 100% pada akhir Triwulan IV.
Faktanya, pada tahun 2016, secara rata-rata instansi pemerintah pusat maupun daerah hanya menggunakan 10,78% anggarannya pada Triwulan I, 35,11% sampai dengan Triwulan II, 54,82% pada akhir Triwulan III, dan digenjot pada akhir tahun di triwulan IV hanya sampai 86,56% dari total anggaran.
Sebagian dari Anda mungkin berfikir bahwa jika anggaran yang digunakan tidak sampai menyentuh angka 100% berarti telah terjadi penghematan. Faktanya TIDAK DEMIKIAN.
Realisasi anggaran lebih kecil dari rencana memang bukan masalah apabila semua program dan kegiatan pemerintah tetap dilaksanakan dengan output dan kualitas sesuai target. Namun demikian, penggunaan anggaran yang tidak maksimal itu ternyata merepresentasikan tidak dilaksanakannya keseluruhan dari rencana kegiatan pemerintah yang sudah ‘dijanjikan’ dalam APBD dan rencana kerja tahunan.
Kalaupun semua rencana program dan kegiatan telah berhasil dilaksanakan dengan realisasi anggaran yang jauh di bawah 100%, maka sebenarnya telah terjadi ketidakakuratan penganggaran pada saat penyusunannya.
Kita harus ingat bahwa dana yang dimiliki pemerintah itu terbatas, sementara untuk melaksanakan pembangunan nasional dibutuhkan alokasi dana pada hampir setiap sektor dalam pembangunan. Sehingga semestinya keterbatasan ini harus ‘diakali’ dengan kebijakan alokasi anggaran berdasarkan skala prioritas.
Nah, ketika sudah ditetapkan apa saja program dan kegiatannya, maka penentuan nominalnya pun harus tepat sehingga pelaksanaan anggaran tidak jauh dari rencana. Ingat, gagal dalam merencanakan berarti merencanakan kegagalan.
Jika sudah disiapkan anggaran, tinggal eksekusi saja, semestinya pemerintah bisa lebih pro aktif sejak awal tahun, sebisa mungkin menghindari kebut-kebutan menghabiskan anggaran belakangan. Bukankah sebagaimana para makroekonom sering sampaikan, belanja pemerintah itu mempunyai efek pengganda atau multiplier effect yang besar terhadap perekonomian.
Apalagi, jika belanjanya itu digunakan dalam bentuk belanja modal yang membiayai pembangunan infrastruktur dasar seperti sarana prasarana pendidikan, kesehatan, jalan, jembatan, dan lain-lain.
Rantai Ekonomi
Satu juta rupiah saja anggaran pemerintah dikucurkan dalam bentuk belanja modal tersebut, produktivitas negara bertambah nilainya sebesar lebih dari 1 juta rupiah. Artinya ada rantai aktivitas ekonomi yang berjalan mulai dari penggunaan tenaga kerja untuk membangun insfrastruktur, di mana mereka dibayar dengan upah tertentu (meningkatnya penghasilan, menyerap tenaga kerja), pembelian bahan baku atau peralatan tertentu (menghidupkan sektor industri), hingga dampak outcome dari tersedianya sarana prasarana yang mampu men-support aktivitas ekonomi masyarakat secara umum. Totalnya adalah pertumbuhan ekonomi, yang dipastikan jauh lebih besar dari belanja pemerintah sebesar satu juta rupiah tadi.
Kembali pada permasalahan dana menganggur.
Memangnya apa salahnya kalau uang itu nganggur, dipakainya belakangan yang penting program pemerintah tetap jalan kan? Yaah, paling-paling nanti menjelang akhir tahun masih bisa dikebut dan terrealisasi juga penggunaan anggaran sampe mendekati 100%, seperti yang sudah-sudah.
Bukankah begitu? Oh no.
Ini pemikiran deadliner, sangat tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan kas yang baik, apalagi jika dihubungkan dengan kinerja (performance) dari pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa publik bagi masyarakat yang seharusnya tidak mengenal waktu apakah itu awal, pertengahan, atau akhir tahun. Dan lagi, sebenarnya jika anda adalah seorang investor, saya yakin Anda akan merasa “gatel”.
Coba saja saya yang pegang uang sebanyak itu, daripada nganggur mendingan “dikelola” secara lebih proper di pasar saham atau tempat lain yang menjanjikan keuntungan. Nggak tanggung-tanggung, nominal dana yang dimiliki APBD Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia pada tahun 2016 saja bervariasi nilainya mulai dari angka puluhan Milyar hingga ratusan Trilyun Rupiah.
Kalau dana sebanyak itu dipegang oleh seorang pengusaha, untung 10% saja sudah besar sekali nominalnya. Dengan duit yang semakin banyak, pemerintah bisa lebih fleksibel membelanjakannya untuk kebutuhan apapun yang dihadapi masyarakat.
Sayangnya, tidak ada keleluasaan semacam itu bagi pemda dalam mengelola dana nganggurnya. Kalau masih ‘nekad’ main saham dengan anggaran daerah, nanti, bukannya mendapatkan tambahan pendapatan, tapi justru dipermasalahkan oleh auditor atau aparat penegak hukum karena dianggap menyalahgunakan anggaran publik, bagaimana dong?
Di sisi lain, banyak juga yang berpendapat bahwa pemerintah daerah harus lebih fokus pada bagaimana dana bisa segera mengalir ke dalam perekonomian melalui program-program kegiatan pemerintah. Kalau mau nambah pendapatan, ya silakan lewat mekanisme pendapatan asli daerah (PAD) yang umum-umum saja, misalnya pajak daerah dan retribusi daerah. Sehingga untuk saat ini, disarankan bagi pemerintah untuk lebih fokus pada memanfaatkan dana yang tersedia secara merata sepanjang tahun, tidak dikebut pada menjelang berakhir nya tahun anggaran.
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan saat ini sedang menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.