Bisnis thrifting lagi hype di kalangan milenial dan gen Z. Di sudut kota, kamu bisa menemukan sebuah toko kecil atau garasi rumah yang bertuliskan thrifting. Konon, bisnis ini bisa menghasilkan cuan yang besar.
Barangkali ada yang berpikir bahwa bisnis thrifting ini sama seperti preloved. Ternyata beda loh. Memang sih kedua bisnis ini sama-sama menjual barang bekas, tapi yang menjadi pembeda adalah dari mana barangnya.
Bisnis thrifting menjual barang bekas yang didatangkan dari luar negeri maupun dalam negeri. Atau biasanya menjual produk reject dari pabrik. Sedangkan preloved menjual barang bekas yang berasal dari milik pribadi.
Jenis barang yang dijual di thrifting pun nggak terbatas pakaian saja, tapi bisa juga sepatu, jam tangan, perlengkapan rumah tangga, perhiasan hingga buku. Penasaran enggak sih, bagaimana awal bisnis thrifting muncul hingga menjadi bisnis kekinian yang hype?
Sejarah Bisnis Thrifting
Dikutip dari Time, thrifting ini dimulai di akhir abad ke-19 saat revolusi industri terjadi di Inggris. Dari revolusi industri dikenalkan mass production of clothing, dan inilah yang menjadi pemicu harga pakaian sangat murah.
Harga yang murah turut serta mengubah pandangan masyarakat akan pakaian. Mereka menjadi konsumtif, membeli banyak pakaian dan menganggap bahwa pakaian yang dibeli cukup sekali pakai lalu dibuang.
Sudah bisa ditebak, pada masa itu terjadi penumpukan sampah pakaian. Oleh kaum imigran, pakaian yang telah dibuang diambil dan dipakai kembali. Tentu saja, stigma negatif melekat di pakaian bekas di masa itu.
Adalah imigran Yahudi yang pertama kali memulai menyediakan gerobak dorong berisikan pakaian bekas. Di masa itu, imigran Yahudi memiliki keterbatasan pilihan profesi oleh anti Semitisme. Prasangka ini kemudian merambat ke dagangan mereka.
Tahun 1897, komunitas Gereja Protestan, Salvation Army dibentuk. Fokus dari komunitas ini ada di donasi dalam bentuk pakaian bekas yang ditujukan bagi orang yang membutuhkan. Oleh komunitas ini juga membentuk sebuah penampungan yang bernama Salvage Brigade. Di tempat ini, orang berkecukupan bisa meletakkan barang yang akan didonasikan.
Di tahun 1902, komunitas yang sama muncul juga di Boston bernama Goodwill yang diinisiasi oleh pendeta metodis. Komunitas Goodwill mempekerjakan orang berkebutuhan khusus dan miskin untuk mengumpulkan barang bekas dan memperbaikinya.
Komunitas Goodwill terus berkembang, di tahun 1920 mereka mempunyai sejumlah truk untuk mengumpulkan peralatan rumah tangga dan pakaian. Seiring perkembangannya, pandangan masyarakat pun berubah, Goodwill tidak dianggap lagi sebagai sampah.
33 tahun berdiri, di tahun 1935 komunitas Goodwill telah memiliki 100 toko yang tersebar di seluruh wilayah Amerika Serikat.
Bisnis thrifting ini ternyata berlanjut lagi di tahun 1970-an. Salah satu toko barang bekas, Buffalo Exchange memiliki gerai besar dan sebanyak 49 tokonya tersebar di berbagai wilayah Amerika Serikat. Di Buffalo Exchange, seorang pembeli bisa melakukan berbagai transaksi seperti membeli, menjual hingga menukarkan barangnya.
Tahun 90-an adalah masa kejayaan gaya berpakaian ala thrifting.
Siapa yang tidak kenal dengan musisi legendaris Kurt Cobain? Di masa itu hampir seluruh remaja di berbagai penjuru dunia memujanya. Gaya berpakaian Kurt Cobain dengan kemeja flanel, celana jeans sobek, tidak jarang juga kaos atau kemejanya bolong ternyata menjadi inspirasi mode bagi para remaja.
Untuk bisa meniru gaya berpakaian Kurt Cobain, para remaja membeli pakaian di toko thrifting karena barang-barang tersebut tidak tersedia di toko retail konvensional di masa itu.
Perkembangan Bisnis Thrifting di Indonesia
Belum ada sumber valid yang menjelaskan tahun berapa thrifting masuk ke Indonesia. Tapi, masuknya pakaian bekas sudah ada sejak satu dekade lalu. Bahkan istilah thrifting ini memiliki sebutan di berbagai daerah. Misalnya di Manado disebut cabo atau cakar bongkar, orang Bandung menyebut cimol, orang Jawa Timur menyebut awul-awul, di Medan orang menyebutnya manja.
Berkembangnya thrifting ini dimulai dari wilayah pesisir laut Indonesia, seperti Sulawesi, Sumatera, Batam, Kalimantan. Wilayah-wilayah tersebut berbatasan langsung dengan negara tetangga, jadi akses impor pakaian bekas terbuka lebar.
Semakin ke sini, bisnis thrifting ini pun mulai ekspansi ke pulau Jawa. Alih-alih melabeli usaha dengan nama jual beli pakaian bekas, para pelaku usaha ini lebih menyukai menyebutnya bisnis pakaian impor.
Mengganti ‘label’ ternyata berdampak besar ke penjualan bisnis thrifting. Ditambah lagi, masyarakat sekarang ini melihat pakaian bekas tersebut sebagai bentuk alternatif pemenuhan dari kebutuhan sandang dengan harga yang terjangkau kantong.
Pakaian bekas dijual dengan hitungan karung, harga satu karung mulai dari Rp1 juta. Dalam satu karung pakaian bekas, kamu bisa dapatkan 50 sampai 100 pakaian secara acak. Dari jumlah tersebut ada yang perlu diperbaiki, atau kalau beruntung, ada yang masih bagus.
Dikutip dari Badan Pusat Statistika (BPS), di tahun 2021 terjadi penurunan untuk impor pakaian bekas yakni dengan volume 8 ton senilai US$ 44.000. Angka ini menurun drastis dibandingkan tahun 2020 dengan nominal US$ 494.000.
Dari data tersebut walaupun mengalami penurunan di tahun 2021, tapi nominalnya masih fantastis.
Bisnis Thrifting Sebagai Budaya Populer
Tren thrifting ini ternyata berhasil mengubah pandangan masyarakat terhadap pakaian bekas. Pola konsumsi pun turut berubah yang pada akhirnya membuat budaya baru di masyarakat yang disebut budaya populer atau pop culture.
Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ghea Virginia, mahasiswa FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya, fenomena thrifting ini diminati oleh kalangan pelajar/mahasiswa (16-20 tahun), quarter life age (20-30 tahun) dan usia lanjut (50 tahun ke atas).
Ada beberapa alasan yang melandasi fenomena thrifting ini begitu booming di berbagai kalangan usia, yaitu :
- Penggunaan kata thrifting menaikkan ‘level’ pakaian bekas menjadi pakaian impor
- Salah satu cara berhemat saat berada di kondisi pandemi
- Hobi mengoleksi barang vintage
- Tanda eksistensi dalam pergaulan
- Pengaruh lingkungan
- Ingin tampil menarik di depan umum
- Harganya yang murah, di antara pakaian bekas yang dijual ada yang branded bahkan limited edition
- Ingin berpakaian seperti idola
Isu lingkungan hidup menjadi nomor kesekian di Indonesia, berbeda halnya di Amerika yang benar-benar sudah paham tentang buruknya dampak fast fashion, sehingga thrifting adalah solusi terbaik untuk mencegah terjadinya limbah pakaian.
Bisnis Thrifting Ilegal di Indonesia, Ini Faktanya
‘Euforia’ bisnis thrifting harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ada peraturan yang melarangnya serta penolakan dari berbagai pihak. Berikut faktanya.
Peraturan Pemerintah yang Melarang Impor Pakaian Bekas
Impor pakaian bekas termasuk tindakan ilegal, karena ada dasar hukum yang melandasinya.
Di tahun 2015, Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015. Di pasal 2 dari Permen tersebut berbunyi, “Pakaian Bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia”, dilanjut dengan pasal 3 “Pakaian Bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau setelah Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan Undang-Undang.”
Landasan peraturan tersebut adalah pakaian bekas berpotensi membahayakan kesehatan manusia dan tidak aman untuk digunakan oleh masyarakat.
Lebih lanjut lagi, ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor pasal 2 ayat 3 poin d yang berbunyi “Barang Dilarang Impor berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.”
Langkah mencegah impor pakaian bekas sudah mulai dilakukan oleh Kementerian Perdagangan bersama Bea Cukai. Dalam rentang waktu bulan Juni hingga Agustus 2022, Kementerian Perdagangan kerja sama dengan Bea Cukai dan kepolisian telah mengamankan 750 bal pakaian bekas.
Setelah ditelusuri, pakaian bekas ini masuk melalui jalur tikus, yakni pelabuhan Tarakan, Kalimantan Utara lalu didistribusikan ke pulau Jawa.
Impor Pakaian Bekas Menggerus Pasar Industri Kecil Menengah (IKM)
Penolakan terhadap tren impor pakaian bekas datang dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI). Diwakili oleh Sekjen APSyFI, Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa impor pakaian bekas ini memberikan pukulan telak bagi industri kecil menengah.
FYI, di Indonesia 80% produsen pakaian berasal dari IKM.
Hadirnya pakaian impor bekas telah memangkas 12-15%, atau setara dengan 250 ribu potong yang adalah pangsa pasar dari IKM dari total keseluruhan produksi pakaian jadi sebanyak 2,8 juta pcs per bulan.
Bisnis thrifting menjadi ancaman yang nyata bagi UMKM di bidang mode karena berhasil ‘mencuri’ pangsa pasarnya dan tentu saja ini akan berdampak pada omset.
Tidak Aman Bagi Kesehatan – Melanggar Pasal Perlindungan Konsumen
Tidak semua pakaian bekas itu layak untuk dipakai. Setuju?
Dari hasil uji yang dilakukan oleh Balai Pengujian Mutu Barang, Dirjen SPK dan Kementerian Perdagangan dengan menggunakan sampel pakaian bekas impor, menemukan sejumlah bakteri seperti kapang, E.Coli dan S. Aureus. Uji coba yang dilakukan menggunakan metode bacteriological analytical manual (BAM).
Salah satu contoh jamur kapang yang ditemukan di pakaian tersebut akan berdampak buruk bagi kesehatan, seperti munculnya reaksi alergi di kulit, gatal-gatal, iritasi dan infeksi karena pakaian melekat langsung dengan tubuh.
Tentu saja penemuan tersebut sangat merugikan masyarakat dan melanggar ketentuan dari Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Lalu, Bagaimana Sebaiknya Bisnis Thrifting Ini Disikapi?
Sebenarnya jika merujuk ke peraturan pemerintah tentang larangan impor pakaian bekas, tentunya bisnis ini tidak bisa dijalankan. Karena harusnya pakaian bekas impor ini masuk melalui pintu resmi tapi nyatanya mereka masuk melalui jalur tikus (pelabuhan kecil) demi menghindari bea cukai. Secara langsung, ini adalah bisnis ilegal.
Apalagi ditambah data dari APSyFI yang menyatakan kehadiran thrifting menggerus usaha lokal, ini harus jadi perhatian utama.
Tapi masalahnya, sanggup enggak pemerintah bertindak tegas?
Bagi para pebisnis thrifting yang sudah terlanjut membeli, sebaiknya ada rasa tanggung jawab dengan mencuci, menyeterika dan memperbaiki barang sebelum dijual. Masa iya menjual pakaian bekas tanpa dicuci? Dan sebaiknya pebisnis thrifting tidak mematok harga terlalu murah, ini hal sederhana yang bisa dilakukan agar ekosistem industri tetap seimbang.
Kita sebagai konsumen adalah koentji atas keberlangsungan bisnis thrifting ini. Beli produk yang memang dibutuhkan, jangan karena harganya murah. Beli secukupnya, karena kalau beli terlalu banyak juga hanya menimbulkan tumpukan pakaian di rumah. Bijak sebelum membeli, kalau masih ada barang yang layak digunakan di rumah, sebaiknya dipakai saja dulu.
Mari kita merenung sejenak, bisnis thrifting ini membawa pakaian bekas dari luar yang mana menjadi limbah sampah di negara asal. Dibawa ke Indonesia, dari sekian banyak barang belum tentu laku terjual semua. Secara langsung, kita pun turut menimbun ‘sampah’ pakaian bekas.
Jadi, apakah kamu mau menjadi bagian bisnis thrifting? Apakah kamu mau mengenakan pakaian ilegal demi tampil kekinian atau berlindung di balik semangat re-use? Keputusan ada di tangan kamu.