Assalamualaykum pembaca setia!
Apakah Anda makhluk sosial?
Tentu saja mbak Sofia. Tak ada satupun orang di dunia yang sanggup hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain. Manusia adalah makhluk sosial, butuh interaksi dengan sesamanya.
Lalu apakah Anda makhluk ekonomi? Ya iyalah. Jelas makhluk ekonomi juga. Setiap manusia berakal sehat akan menyadari bahwa hidup itu perlu dipenuhi kebutuhannya setiap saat, dan berfikir secara rasional bagaimana cara memenuhinya. Tidak bisa hanya makan cinta.
Kita tentu sudah tidak asing dengan istilah modal, meskipun istilah tersebut lebih banyak digunakan kalangan pengusaha. Namun ketika individu berniat membangun sebuah bisnis, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan modal.
Ya, Modal!
Dengan modal maka ia dapat mulai menyediakan faktor produksi yang dibutuhkan untuk usahanya seperti bahan baku industri, skill dalam bisnis jasa, lalu sarana dan prasarana fisik, dan juga tenaga kerja.
Semua komponen tadi dikombinasikan dalam sebuah proses produksi dan menghasilkan barang/jasa yang siap dipasarkan. Selisih antara harga pokok dan harga jual, itulah yang dinamakan profit. Intinya, bagi seorang pengusaha, modal adalah pondasi untuk memperoleh keuntungan.
Tapi, modal itu bukan cuma istilah untuk pengusaha. Setiap dari kita juga berurusan dengan modal: mengumpulkan, memanfaatkan, membagi. Iya. Karena kita tidak bisa lepas dari ekonomi, siapapun kita. Modal yang saya bicarakan di sini adalah modal sosial. Apakah anda pernah dengar apa itu modal sosial? Yuk, belajar (lagi) bareng-bareng.
Modal sosial itu apa?
Kata om Robert Putnam, modal sosial dikatain gini
‘features of social organization, such as networks, norms, and trust, that facilitate coordination and co-operation for mutual benefit’.
Cakupan modal sosial jadinya banyak, yaitu:
- jaringan/networking
- norma-norma
- kepercayaan
yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk mendapatkan manfaat bersama.
Lain Putnam, lain pula Robert Lawang, katanya
Modal sosial menunjuk pada semua kekuatan sosial komunitas, dikontruksikan oleh individu atau kelompok.
Selain Putnam dan Lawang, masih banyak pendapat yang lain tentang modal sosial ini, tapi intinya adalah hubungan sosial antarmanusia, kepercayaan/ trust, norma, dan manfaat bersama.
Kalau demikian, kita semua pasti punya modal sosial, hanya saja berbeda skala dan kekuatannya tergantung pada kemampuan kita bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari. Nah, apakah benar modal sosial ini ada manfaatnya secara ekonomi?
Gini ceritanya,
Pada awalnya modal sosial enggak dianggap dalam pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi yang kita kenal melalui buku teks selalu menyebut tiga modal utama pembangunan wilayah yaitu: modal alam, modal fisik (uang dan bangunan), dan modal manusia. Udah itu doang, dan semua negara seharusnya punya ketiganya.
Analisis seperti ini sangat umum dilakukan para ekonom terutama dari aliran Neo-klasik, namun terdapat kekurangan yakni interaksi para aktor ekonomi di pasar. Interaksi yang dimaksud meliputi upaya membangun jaringan, transaksi, dan proses kebiasaan di dunia usaha. Sikap abai ekonom Neo-klasik terjadi karena interaksi tadi dianggap wilayah budaya dan sosial, sehingga tidak mempunyai hubungan langsung dengan produktivitas.
Lambat laun semua berubah.
Pakar di bidang ekonomi dan sosial akhirnya menyepakati pentingnya kehadiran faktor non-ekonomi dalam pertumbuhan ekonomi yang disebut sebagai “modal sosial” (social capital). Perannya penting dalam masyarakat sebagai aset sosial yang memungkinkan individu dan masyarakat bekerja secara lebih efisien.
Jika masyarakat berhasil memiliki kepercayaan yang kuat antar anggota kelompok, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan dengan modal uang lebih sedikit. Makanya ga salah kan jika dibilang modal sosial sangat penting dalam proses pembangunan perekonomian, itu kata pakar bernama Schneider.
Bagaimana cara kerja modal sosial?
Ketika kita berhubungan dengan orang lain, di manapun dan kapan pun, pada saat itulah terbentuk ikatan formal maupun non-formal. Setelah itu manusia akan cenderung memilah dan memilih untuk berkumpul dengan orang yang “menguntungkan” bagi kita.
Mari ambil contoh, dalam sebuah komunitas penduduk cluster (kompleks perumahan) yang tadinya saling tidak mengenal, setidaknya pasti ada satu atau dua kali kita mencari tahu siapa tetangga kita. Dari suku mana mereka berasal, apa pekerjaan mereka, berapa jumlah anggota keluarganya, dan seterusnya. Lebih lanjut lagi, bahkan kita mungkin mengunjungi, berkenalan, bertegur sapa, membentuk arisan setiap bulan, atau bahkan besanan.
Pada dasarnya, tujuan kita berhubungan dengan tetangga adalah untuk memastikan kita sedang berada dalam komunitas yang kita inginkan. Karena, di cluster tersebut kita punya aset berharga seperti rumah, mobil, dan perabotan seisinya, bahkan yang lebih tak ternilai adalah anak, istri dan atau suami kita.
Kita butuh tempat untuk saling menjaga. Supaya apa? Supaya merasa nyaman, lalu menghindari resiko seperti pencurian dan kriminalitas lainnya. Ujung-ujungnya, sebenarnya, kita berhubungan dengan orang lain untuk mendapatkan manfaat bagi diri sendiri. Iya kan?
Nah, para ilmuwan di bidang sosial ekonomi bahkan mengkalkulasi untuk membuktikan adanya manfaat dari modal sosial terhadap kesejahteraan sebuah negara.
Sebut saja yang paling mahsyur yaitu Robert Putnam dalam artikelnya “Bowling Alone: Penurunan Modal Sosial Amerika,” menguraikan bahwa
Masyarakat dengan jaringan sosial yang kuat, upaya memajukan sebuah negara telah jauh lebih berhasil dalam berbagai bidang seperti peningkatan kualitas pendidikan, penurunan jumlah pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba dan berbagai masalah lain di bidang kesehatan.
Kemudian ada si Rupasingha dan temennya meneliti kinerja modal sosial di Amerika Serikat dan menemukan dampak positifnya, yakni mengurangi biaya transaksi dan menambah investasi untuk penyediaan public goods. Namun di sisi lain terdapat pula dampak negatif, yaitu modal sosial yang terfokus hanya pada jaringan sosial internal seringkali merugikan ketika tidak diperluas dengan jaringan sosial terhadap komunitas asing.
Bagaimana dengan modal sosial di Indonesia?
Well, meneliti peran modal sosial terhadap kemajuan ekonomi Indonesia bukan perkara yang mudah. Sebab, Indonesia adalah sebuah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan heterogen sehingga sulit dilakukan generalisasi kekuatan modal sosial negara kita.
Namun demikian, ada dua hasil riset bagus nih yang bersifat studi kasus. Pertama dilakukan oleh Slamet Widodo terhadap sebuah desa nelayan di Tuban – Jawa Timur dan yang kedua ditulis oleh Budhi Cahyono terhadap petani tembakau di Wonosobo – Jawa Tengah.
Widodo menyimpulkan bahwa modal sosial yang terdapat di masyarakat pesisir Karang Agung, Tuban, terbentuk berdasarkan ikatan kekerabatan, kekeluargaan dan pertetanggaan. Mereka masih menjaga budaya saling mengunjungi kerabat dalam bentuk sambatan, anjeng atau buwuhan. Selain itu terdapat kelompok sosial seperti kelompok pengajian, arisan ibu-ibu dan yaasinan.
Modal sosial mereka telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan, namun sayangnya masih terbatas untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek atau konsumtif, belum pada pemenuhan kebutuhan jangka panjang yang bersifat produktif. Ibaratnya masih tahap bonding (pengikat), belum sebagai bridging (jembatan) yang menghubungkan lebih banyak lagi potensi warga.
Sementara riset Cahyono menyimpulkan bahwa di lingkungan masyarakat petani tembakau Kabupaten Wonosobo, nilai kepercayaan dan rasa hormat masih dijunjung tinggi. Dengan kata lain, mereka memiliki modal sosial yang kuat. Namun seperti halnya yang terjadi di Tuban, modal sosial yang dimiliki masyarakat ini masih cenderung dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif saja, sebatas saling bantu membantu ketika ada anggota komunitas yang sedang sakit atau tidak punya cukup uang untuk membeli makanan sehari-hari, dan less productive.
Seharusnya, modal sosial bisa dimanfaatkan untuk lebih produktif, misalnya berupa kegiatan pengelolaan modal petani, pelatihan keterampilan bertani, atau diversifikasi pertanian.
Jadi cukup tergambar kan, bagaimana perbedaan kekuatan dan pengaruh modal sosial pada dua negara yang berbeda macam Amerika Serikat dan Indonesia.
Sesuai dengan teori, modal sosial yang dilandasi oleh kepercayaan, norma, dan interaksi atau networking yang terbangun dalam setiap masyarakat, baik itu di Indonesia maupun Amerika telah memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Hanya saja, perbedaan mencolok dari keduanya adalah level pemanfaatan modal sosial itu, di mana dampaknya di Indonesia kurang luas, baru sebatas pemenuhan kebutuhan konsumtif sehari-hari. Sedangkan di Amerika, modal sosial sudah lebih jauh berperan untuk meningkatkan kemajuan masyarakatnya dalam banyak bidang.
Kesimpulan
Pesan moral dari tulisan yang panjang lebar ini adalah kita boleh bekerja sesuai profesi kita, berapapun penghasilannya. Namun jangan lupa untuk tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga, teman, tetangga, atau komunitas yang lebih luas lagi.
Bagaimanapun juga kita adalah makhluk sosial, membutuhkan modal sosial untuk tetap ‘hidup’ sebagaimana mestinya. Dalam agama islam, bahkan diajarkan bahwa silaturrahim membawa rizki, memperpanjang umur bukan?
Wassalamualaykum pembaca setia!
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan saat ini sedang menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.