Sudah kurang lebih seminggu, media sosial dan media massa online heboh dengan pemberitaan layoff atau PHK Shopee. Hal yang sebenarnya sudah menjadi isu sejak beberapa bulan yang lalu. Padahal sebelumnya, ketika startup lain ramai-ramai mulai merumahkan karyawan, Shopee tampil bak pemenang jaya mengumumkan bahwa mereka tidak ada rencana PHK karyawan.
Eh, ternyata …
Kondisi Ekonomi Paksa PHK Shopee Terjadi
Menurut keterangan resmi dari pihak manajemen, kondisi ekonomi global menjadi alasan terbesar mengapa sampai terjadi PHK Shopee. Mereka merasa perlu untuk mengambil langkah adaptif dengan mengevaluasi efisiensi prioritas bisnisnya.
Well, pastinya sebuah perusahaan juga enggak begitu saja bisa mengambil keputusan untuk melakukan PHK karyawan. Kebayangnya sih, sebelum sampai ke keputusan ini, pastinya mereka sudah melakukan berbagai langkah demi menyelamatkan bisnis dari kejatuhan. Undang-undang yang berlaku di negeri ini sendiri juga melarang perusahaan mana pun untuk semena-mena memecat karyawan kan? Ada payung hukum yang menjadi pelindung loh. Ga boleh sembarangan, karena erat kaitannya dengan kelangsungan hidup banyak orang, enggak cuma karyawan saja kan?
But oh well … Pada akhirnya PHK Shopee terjadi juga.
Padahal, hasil dari menelusuri data income statement seperti yang dipinjam dari Investing.com dan juga beberapa sumber lain, Sea Group—yang merupakan induk perusahaan dari Shopee—mengalami peningkatan pendapatan 100% lebih.
Nah, kita bisa lihat langsung deh di grafik yang dibuat oleh Techinasia di atas untuk pendapatan dari divisi e-commerce Shopee tahun 2021, yang bisa dibandingkan dengan tahun 2020.
FYI, Sea Group juga tak cuma Shopee, tapi ada lini bisnis yang lain juga.
Garena merupakan developer games online berbasis di Singapura. Pasarnya meliputi Asia Tenggara dan Timur, dengan produk games, mulai dari Free Fire, League of Legends, Heroes of Newerth, FIFA Online 3, Point Blank, Arena of Valor, dan Speed Drifters.
Sedangkan SeaMoney merupakan perusahaan penyedia pembiayaan online, termasuk di dalamnya adalah ShopeePay, SpayLater, dan lainnya.
So far, memang diberitakan, bahwa Garenalah yang berhasil menjadi lokomotif keuangan bagi Sea Group.
Lonjakan revenue dari Garena terutama dipicu oleh peningkatan pengguna aktif dan penetrasi paid user yang semakin masif. Adalah game Free Fire, yang sangat populer, yang menyumbang revenue terbesar dan meningkat 40% menjadi USD 2.8 miliar.
Di sisi pengunjungnya, Shopee masih yang nomor satu di Indonesia, terutama di aplikasi. Kalau dari situsnya, Shopee mencatat jumlah rata-rata pengunjung bulanan 132 juta lebih. Ini artinya meningkat juga dibandingkan kuartal sebelumnya, yang diketahui sebesar 130-an juta.
Dari data riset Ipsos, sebuah perusahaan periset pasar, yang diluncurkan Januari 2022, Shopee masih menjadi marketplace terbanyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Meski demikian, kerugian bersihnya membengkak juga, naik 17.9% YoT dari 2020 ke 2021. Laba kotor juga naik sebesar 188.8% YoY. Total laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi juga membengkak di tahun 2021 jika dibandingkan dengan 2020. Lihat tabel yang dipinjam dari Investing.com di atas ya.
So, sepertinya, Shopee memang harus mulai mengejar ketertinggalan profitnya, mengingat potensi lainnya yang melonjak tajam. Kalau dilihat secara keseluruhan, dengan pengguna yang banyak, revenue naik, bahkan lebih tinggi daripada Garena, maka masih ada harapan bagi Shopee untuk memperbaiki kondisinya.
Shopee Menghentikan Layanan di India dan Prancis
Lebih jauh menelusuri, ternyata Shopee juga sempat bermasalah di India dan Prancis, dan akhirnya memilih hengkang dari pasar kedua negara tersebut.
Di India, Shopee banyak mendapat kecaman dari peritel lokal, dan dikatakan sebagai bentuk perdagangan yang tidak adil. Perserikatan pedagang di India langsung berbicara dengan Perdana Menteri terkait hal ini. Sementara banyak pula yang menduga, hal ini erat kaitannya dengan pelarangan game Free Fire di negara kelahiran Shah Rukh Khan tersebut.
Namun, oleh pihak Sea Group dikatakan, bahwa penutupan Shopee di India lebih karena alasan ketidakpastian pasar secara gobal.
Atas keluarnya Shopee dari India dan pelarangan games Free Fire, Sea Group pun kehilangan market cap harian lebih dari USD 16 miliar, atau setara dengan Rp228 triliun, akibat anjloknya saham Sea Group di Wall Street sebesar 18%.
Sementara di Prancis, Shopee juga menutup layanannya pada bulan Maret 2022, meski baru saja aktif di bulan Oktober 2021. Meski di Prancis tak berlanjut, di belahan benua Eropa yang lain, Shopee masih beroperasi setidaknya di Spanyol dan Polandia, dengan bentuk aplikasi yang dilokalkan.
Karyawan Terdampak PHK Shopee
Menurut data dari iPrice, karyawan Shopee ini kedua terbanyak jumlahnya setelah Tokopedia. Sementara, menurut beberapa sumber dari hasil penelusuran, karyawan yang kena PHK Shopee adalah 3%. Ini artinya ada sekitar 187 orang yang dirumahkan.
Memang tidak banyak kalau secara persentase, terlepas dari sisi kemanusiaan. Sayangnya, enggak ada keterangan yang bisa ditemukan, divisi mana saja yang karyawannya diputus hubungan kerjanya. Apakah dari ShopeePay, ShopeeFood, atau yang lainnya.
Sedihnya adalah mereka mendapatkan notice PHK Shopee satu hari sebelumnya.
Dilaporkan di beberapa media internasional, bahwa karyawan di Tiongkok juga mendapatkan email pemberitahuan PHK Shopee begitu diadakan pertemuan seluruh departemen.
So, yeah it’s devastating.
Dari pihak manajemen sendiri memberikan keterangan, bahwa mereka berusaha memenuhi semua hak yang dimiliki oleh karyawan yang terkena PHK. Seperti uang pesangon dan benefit lainnya, sesuai undang-undang yang berlaku dan juga berpijak pada kebijakan perusahaan.
Bukan Cuma Shopee, Startup Banyak yang Oleng
Faktanya, PHK Shopee ini bukan yang pertama terjadi. Sepanjang tahun 2022, sudah lebih dari 120 ribu karyawan startup kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja secara global. Badai PHK tertinggi tercatat terjadi di bulan Juni, yakni sebesar 29 ribu lebih orang terkena PHK di seluruh dunia oleh perusahaan startup.
Data ini dikumpulkan oleh TrueUp Tech.
Pandemi yang tak kunjung usai, angka inflasi yang terus meroket, kenaikan suku bunga bank sentral yang terlalu agresif, masalah geopolitik yang kemudian berimbas pada krisis energi dan pangan, adalah beberapa penyebab terbesar mengapa banyak bisnis kolaps. Tak luput terjadi pula pada perusahaan startup.
Bahkan, disinyalir, sebagian besar perusahaan di Silicon Valley sekarang sedang mengalami krisis terbesar sejak 2008. Hal ini kemudian memunculkan istilah zombie unicorn, yang digunakan untuk menyebut perusahaan startup dengan valuasi tinggi tetapi sudah tak bisa diselamatkan lagi dari jurang kehancuran.
Nah, terus bagaimana sekarang? Padahal The Fed sendiri juga sepertinya belum selesai dengan rencana menaikkan suku bunga acuannya. Prediksinya, kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan akan mencapai 150 bps hingga akhir tahun ini. Belum lagi Rusia dan Ukraina yang masih betah berperang. Bisa jadi, krisis akan berlanjut seperti prediksi Bank Dunia, yang memperkirakan datangnya resesi ekonomi di tahun 2023.
Fyuh! Mari kita lihat saja.