diskartes.com – Assalamualaykum ekonom muda!
Apabila Anda suka membaca harian ekonomi di akhir 2017 sampai awal 2018, saya pastikan sudah membaca tentang program padat karya tunai yang digadang-gadang pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Program tersebut sejatinya tidak terlepas dari pembahasan dana desa yang pernah dikupas beberapa waktu lampau.
Yaudahlah ya, mari kita bahas mengenai salah satu program yang diharap mampu mengentaskan kemiskinan ini agar masyarakat luas paham esensinya. Karena saat ini media masih menayangkan berita, bukan makna harfiah dari si program.
Apa sebenarnya padat karya tunai?
Padat karya tunai atau juga disebut cash for work merupakan arahan dari Presiden untuk melaksanakan penggunaan dana desa dengan cara swakelola, sehingga mampu menciptakan lapangan kerja di pedesaan.
Niatnya dengan menggunakan program ini, pendapatan serta daya beli masyarakat di desa naik signifikan, yang ujung-ujungnya roda perekonomian makin berputar. Jadi rencananya dana desa yang jumlahnya triliunan itu dikerjakan oleh masyarakat desa sendiri dan dengan bahan baku di sekitar.
Bisa dibilang, kayak semacam desa berdiri di kaki sendiri gitu lah.
Itu esensi padat karya tunai atau cash for work, paham ya? Yang namanya program pasti niatnya bagus-bagus, saya yuakiin.
Mekanisme padat karya tunai
Nah, sekarang coba kita tengok mekanismenya.
Fokus, itu koentji kata orang-orang. Memang setelah dana desa masuk ke pedesaan, kan harus digunakan tuh oleh kepala desa dan segenap masyarakat. Bisa buat bangun macem-macem asal sesuai aturan. Karena disuruh fokus, maka cukup 4 atau 5 kebutuhan sesuai prioritas masing-masing desa.
Upah yang diterima juga diatur, minimal setara dengan upah buruh tani dan minimal 30% dari pekerjaan fisiknya. Dalam bahasa teknisnya, 30% untuk pembayaran HOK atau Hari Orang Kerja.
Orang-orang pengangguran di desa lah inceran dari program ini. Jadi mereka disuruh kerja membangun desa, pake duit dana desa. Akhirnya mereka produktif, dapet penghasilan pula.
Bagus ya? Itu karena kita belum bahas problemnya. Yuk dilanjut pembahasannya!
Masalah dan solusi padat karya tunai
Namanya program baru jelas ada masalahnya, emang kita hidup di surga yang tanpa masalah? Enggak kan? Jadi bohong kalau sampai ada pemberitaan yang menyatakan sama sekali tidak ada masalah di pemerintahan si A, B, maupun C.
Program padat karya tunai juga tidak lepas dari masalah, apalagi perubahannya cukup mendadak.
Kondisi di lapangan juga berbeda-beda, ada beberapa daerah tertentu yang tidak memiliki bahan baku pembangunan. Misalnya saja untuk bikin jalan setapak di desa, ga ada batu maupun pasir.
Kalau demikian gimana solusinya?
Ya apa boleh buat, kondisi lingkungan tentu ga bisa dipaksakan dong, sementara kebutuhan jalan setapak desa tadi dibutuhkan. Maka mau tidak mau bisa lah mengambil batu atau pasir dari daerah lain.
Sejatinya selama dana desa bergulir mulai tahun 2015, secara tidak langsung banyak desa sudah menggunakan dana desa seperti konsep cash for work, namun memang belum semuanya. Karena prinsip dana desa kan udah memberdayakan masyarakat setempat.
Saya pernah dapat selentingan informasi pas ngobrol dengan bapak-bapak Kepala Desa (saya lupa nama beliau). Katanya memberikan uang atas pekerjaan di desa, berpotensi mengikis semangat gotong royong yang sudah terpupuk sejak lama.
Bisa jadi benar jika kita lihat dari sudut pandang materi, namun di lain pihak juga pasti akan meningkatkan kemampuan ekonomi si pekerja yang notabene warga desa.
Padat karya tunai vs Kemiskinan
Siapa yang menang?
Logika dasarnya, distribusi uang pasti mensejahterakan si penerima uang. Entah itu ke level orang perorang, desa, atau bahkan kabupaten/kota.
Berangkat dari konsep tersebut, distribusi dana desa dengan konsep padat karya tunai “seharusnya” mengurangi kemiskinan.
Sampai disini nampaknya kita sepakat ya?
Nah, pertanyaannya akan berkembang menjadi, seberapa efektifkah program padat karya tunai ini?
Kalau kita kembali kepada logika dasar di awal, posisi terpenting bukanlah distributor atau yang kasih duit. Tapi si penerima duit, tentang bagaimana pengelolaannya.
Analogi sederhana saja, antara ayah dan anak. Si ayah ngasih duit 10 juta ke anak. Tentang bagaimana produktifnya, akan sangat tergantung dari si anak tersebut, apakah akan digunakan untuk bisnis, investasi, apa foya-foya. Memang sih bapaknya bisa ngatur, tapi anak muda kan demen ngibul. Saya aja dulu sering make duit sekolah buat maen, duh!
Tau kah Anda jumlah desa di Indonesia? 75 ribu kurang sedikit!
Buanyak luar biasa, potensi fraud pastinya juga ada. Diantara orang-orang itu, pastinya banyak kepala desa yang ga ngerti mau diapain duit ratusan juta rupiah.
Jadi sebelum padat karya tunai vs kemiskinan terjawab, nampaknya saya akan lebih tertarik dengan strategi capacity building kepala desa dan perangkatnya. Mengajari mereka berbisnis, melek teknologi, dan ngingetin itu bukan duit kades, tapi duitnya rakyat se Indonesia. Lha wong pake APBN.
Pemerintah seyogianya habis-habisan di peningkatan SDM, pendidikan, dan kawan-kawannya. Sejujurnya, 20% alokasi APBN untuk pendidikan tuh uda luar biasa gede, dan seharusnya menjadi fondasi yang kuat bagi kepala desa di masa depan. Abis itu, baru deh kemiskinan bisa diberantas!
Nampaknya sudah cukup obrolan singkat kita, nanti akan saya update lagi di page ini.
Wassalamualaykum ekonom muda!
Erly Silalahi mengatakan
Baru sempat melipir kesini lagi bang setelah sekian lama..hehe..kebetulan saya bekerja di instansi pemerintahan yang kebetulan terlibat dalam pelaksanaan kegiatan padat karya di bidang sanitasinya. Program baru real pelaksanaannya di awal tahun ini dan masih paralel mengevaluasi kelebihan dan kendala di lapangannya.
Namun saya sangat sepakat dengan pernyataan abang jika yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan SDM nya atau istilah kerennya capacity building salah satunya melalui pendidikan baik formal maupun non formal, training, studi banding, on job training dan lain sebagainya.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan minat baca seluruh penduduk Indonesia tak terkecuali di desa maupun kota, karena darisanalah muncul pengetahuan, kebijaksanaan dan kearifan.
Sekian dan terima kasih. hehehe
diskartes mengatakan
Wah, terima kasih masukannya. Betul sekali kalau minat baca masyarakat perlu ditingkatkan. Nampaknya salah satu program pendidikan memang seyogianya membuat sebanyak mungkin taman bacaan dan program gemar membaca. Minat baca di Indonesia terlalu rendah.
Thanks yaa
Siti Fatimah mengatakan
Halo om kartes, lama gak mampir ke blog ente, makin keren nih bahasannya.
bukan cuma ekonomi secara umum aja, tapi juga ngasih wawasan ke khalayak tentang apa2 aja program pemerintah..
saya harap konten tentang ini secara rutin bisa diadakan, jadi masyarakat juga bisa tau uang pajak mereka digunakan untuk apa aja, bukan cuma pesimis sm pemerintah krn lebih banyak berita tentang korupsi dimana-mana.. hehehe
anyway, saya sepakat banget lah sama tulisan yang ini..
kebetulan instansi tempat saya mengabdi (cieee…) berurusan dengan monitoring dan evaluasi program padat karya tunai (PDT) ini. jadi ya kurang lebih gambaran kelemahan program ini memang di kapasitas SDM nya.
rata-rata program pemerintah yang melibatkan swakelola masyarakat di desa (apalagi desa-desa di daerah terpencil), masyarakatnya masih belum melek tentang bagaimana pengelolaan keuangan negara yang sesuai aturan. maklum, sekolah saja mungkin cuma lulusan SD/SMP. jangankan melek teknologi, sinyal seluler aja kadang masih ada yang belum tercover jaringan. miris…