Kamu merasa tak bisa menahan hasrat dan kebiasaan belanja? Jika iya, mungkin kamu butuh yang namanya shopping therapy.
Masalahnya memang, belanja itu sendiri kadang dianggap sebagai terapi stres yang dihadapi sehari-hari. Stres karena kerjaan yang numpuk (tapi gaji kecil), stres karena mengurus rumah yang masalahnya rauwis-uwis (padahal uang belanja cekak). Sungguh kondisi yang ironis. Seharusnya kita sadar, bahwa stres itu enggak baik kalau diatasi dengan “obat” yang juga sama problematiknya.
Sebenarnya ada 3 masalah utama seorang shopaholic, yang sering kali mencari pembenaran kebiasaan belanja yang penuh nafsu dengan alasan terapi terhadap stres yang dimilikinya.
3 Masalah Utama Kebiasaan Belanja Gila-Gilaan
Seperti penyakit, kebiasaan belanja yang bikin ketagihan itu harus dicari penyebabnya supaya bisa sembuh. Begitu kamu menyadari inti dari permasalahannya, maka setengah penyembuhan sebenarnya sudah kamu lakukan sendiri.
Kebiasaan belanja yang kompulsif ini dipicu oleh 3 masalah mental. Apa saja?
1. Stres dan rasa cemas berlebihan
Dua hal ini bisa memicu kebiasaan belanja yang kompulsif, yang dianggap bisa meredakannya. Padahal ya, seperti yang dijelaskan di atas. Kita berusaha “mengobat” sesuatu dengan sesuatu yang lain yang sama saja problematiknya.
Sebelum mengobati hasrat belanja, ada baiknya kamu mencari sumber rasa stres dan cemas ini. Tanyakan pada diri sendiri, apa benar obatnya adalah dengan belanja? Apakah enggak ada obat yang lain?
Kalau perlu cari bantuan dari orang terdekat yang bisa diajak bicara dan mencari solusi dari dua perasaan negatif tersebut.
2. Impulsif
Kebiasaan melakukan sesuatu hanya karena dorongan hati tanpa dipikirkan lebih dahulu sering menjadi pemicu kebiasaan belanja yang buruk.
Hal ini bisa terjadi karena kamu enggak memikirkan tanggung jawab atas perbuatanmu. Kalau kamu bisa memikirkan konsekuensinya, keinginan impulsif ini bisa dikurangi kok.
Misalnya, sebelum belanja, tanyakan pada diri sendiri, “Uang buat belanja padahal mauu dipakai buat bayar SPP anak. Nanti, kalau kepakai, bayar SPP-nya pakai apa?” Atau contoh lain, “Mau belanja pakai kartu kredit, nanti bayar cicilannya bunganya mahal. Uang yang dipakai buat bayar bunga bisa dipakai buat tambah tabungan, padahal.”
Nah, terserah kamu deh, mau mikir konsekuensi apa. Yang penting bisa membuatmu mengurungkan niat untuk belanja impulsif.
3. Low esteem
Rasa percaya diri yang sangat rendah membuat orang ingin terlihat lebih pede bisa menjadi pemicu keingan belanja barang yang tak perlu.
Kalau kamu sudah nonton film legend Fight Club, pasti kamu enggak asing dengan quote berikut.
“We work jobs that we hate, to buy things we don’t need, to impress people we don’t like.”
Tyler Durden – Fight Club
Ya, kita kerja padahal enggak suka dengan kerjaannya, untuk membeli sesuatu yang enggak kita butuh, untuk membuat orang yang kita enggak suka terkesan. Jadi gimana? Worth enggak?
Hanya supaya terlihat oke, apa pun dilakukan termasuk belanja barang yang sebenarnya tidak kita perlukan. Jadi kalau masalahnya pada self esteem, akan lebih baik kalau kamu ikut kursus untuk meningkatkan keterampilan ketimbang belanja kan? Sebuah solusi yang lebih efisien tuh!
Shopping Therapy untuk Atasi Kebiasaan Belanja dengan Meditasi
Banyak cara sebenarnya yang bisa dipakai untuk meredam keinginan dan kebiasaan belanja yang kompulsif. Dari mulai menghindari bawa uang cash terlalu banyak, enggak membawa kartu kredit, sampai minta ditemani teman agar mau mengingatkan kalau kita sudah belanja terlalu banyak.
(Tapi kemudian berakhir, malah jadi belanja berdua gila-gilaan.)
Berikut ini ada beberapa cara yang bisa kamu coba untuk perlahan mengendalikan kebiasaan belanja yang terlalu bernafsu.
Bagaimana caranya?
Dengan cara meditasi. Pertama, pergilah ke mal sendiri, tanpa teman, tak perlu bawa uang, dan tak boleh bawa kartu kredit. Kemudian lakukan beberapa langkah berikut ini.
1. Keliling toko
Pergilah berkeliling ke toko-toko dan tandai barang apa saja yang kamu inginkan. Kemudian tanyakan pada diri sendiri, kenapa kamu pengin barang tersebut.
Misalnya, kamu pengin sepatu sneakers terbaru keluaran merek ternama. Apakah kamu mau membelinya hanya karena ingin melengkapi koleksimu di rumah yang sudah berderet? Kalau kamu beli dan pakai, kira-kira apa kata orang di sekitarmu? Apanya yang membedakan sneakers tersebut dengan yang sudah kamu miliki di rumah? Apakah kelebihannya itu begitu penting dari sisi fungsinya—yang membuat sepatumu yang lain tak bisa lagi dipakai? Atau apakah membuatmu merasa lebih nyaman?
2. Ingat terakhir belanja
Sekarang, coba ingat kembali saat kamu terakhir belanja, ketika kamu membeli sneakers yang sudah kamu miliki—misalnya.
Apakah waktu itu benar-benar dibutuhkan? Apakah sneakers tersebut kamu pakai terus sampai sekarang? Apa perasaanmu terhadap sneakers tersebut sekarang? Apakah memenuhi harapanmu? Atau terabaikan begitu saja, bahkan masih dibungkus dengan plastik dan belum pernah kamu pakai?
3. Pikirkan kenyataan
Kembalikan pikiranmu pada kenyataan sebenarnya, bahwa barang-barang tersebut sekarang malah jadi “beban”.
Beban karena merasa wajib memakai, dengan alasan, “Sayang banget, udah dibeli kok nggak dipakai.”—yang akhirnya malah membuatmu jadi bingung sendiri, kapan ya, bisa dipakai?
Beban karena harus bayar cicilan kartu kredit yang sudah dipakai untuk membayar belanjaan, yang malah lebih panjang dari usia pemakaian barang itu sendiri.
Beban karena uang habis dipakai buat beli sneakers, akhirnya tengah bulan gaji sudah habis dan cuma makan mi instan sampai tiba waktunya gajian lagi.
Tanyakan juga pada diri sendiri, apakah dengan membeli sneakers, rasa stres kamu hilang? Masalah pada stres kamu teratasi? Ataukah tetap saja stres, atau malah makin parah? Apakah kamu masih merasa kesepian, marah, patah hati, rendah diri, dan sebagainya?
4. Cek kembali
Cek kembali perasaanmu dengan berkeliling toko lagi, dan perhatikan sneakers yang tadi kamu tandai. Lalu cermati, apakah perasaanmu berubah sekarang?
Kalau perasaanmu berubah, dan keinginan membeli sneakers tersebut hilang, maka meditasi yang kamu lakukan membawa hasil. Namun, kalau masih belum berubah, maka kamu perlu kontemplasi lagi dan melakukannya beberapa kali sampai berhasil.
Nah, itu dia beberapa langkah meditasi shopping therapy yang bisa kamu lakukan untuk mengatasi kebiasaan belanja yang bisa merugikanmu.
Lengkapi terapimu dengan mendengarkan podcast ini juga.
Jangan lupa untuk juga melakukan pembersihan pada barang-barang yang ada di rumah ya. Sortir mana yang perlu dan mana yang bisa kamu berikan atau donasikan. Lakukan decluttering, hingga hanya tersisa barang-barang yang kamu butuhkan saja. Syukur-syukur kamu bisa bikin garage sale, so, kamu bisa dapat uangmu “kembali”.
Selanjutnya, belajarlah membuat perencanaan keuangan yang lebih baik, agar ke depannya kamu enggak kebablasan lagi punya kebiasaan belanja.
Jangan lupa untuk subscribe channel YouTube Diskartes dan juga Podcast Diskartes untuk berbagai ilmu perencanaan keuangan, investasi, dan ekonomi seru lainnya ya.
Juga follow Instagram Diskartes dan Value Magazine, supaya enggak ketinggalan berbagai update, tip, dan informasi seputar keuangan, bisnis, dan investasi.