Assalamu’alaikum penduduk dunia!
Siapa negara adidaya dengan kekuatan super power-nya?
Semua orang tahu negara itu adalah Amerika Serikat. Sejak usainya perang dunia kedua pada tahun 1945, Amerika menduduki posisi dominasi di antara ratusan negara lain di dunia. Dalam analisa perbandingan kemajuan ekonomi, Amerika hingga saat ini masih bertengger di posisi puncak sebagai negara dengan gross domestic product (GDP) tertinggi.
Artinya, skala aktivitas dan nilai transaksi perekonomian secara makro di negeri Paman Sam ini adalah yang paling besar di muka bumi. Prestasi ini tercapai sebagai konsekuensi dari populasi penduduk yang sangat besar, tertinggi di dunia, serta kemajuan teknologi yang mendukung efisiensi dan efektivitas industri.
Perang Dagang Amerika dan Tiongkok
Maka, bermodalkan keunggulan pada kedua faktor produksi itu pula, dalam beberapa tahun terakhir ini mencuatlah pesaing kuat yang siap melawan dominasi USA. Dialah Republik Rakyat Tionghoa (RRT), runner up dalam kompetisi global melawan USA, sang juara bertahan.
RRT bahkan digadang-gadang akan mampu menjadi nomor satu, mengingat pertumbuhan ekonominya masih terus melaju pada kisaran 7,75% dan terus naik setiap tahun, sementara USA telah mendekati titik jenuhnya karena GDP hanya tumbuh pada kisaran 2,5%. Secara nilai GDP USA memang masih yang tertinggi, namun akselerasi dari RRT menunjukkan kemungkinan yang sangat kuat bahwa RRT akan segera menjadi raja, mengalahkan Amerika.
Masa kepemimpinan Donald Trump sebagai presiden USA diwarnai dengan berbagai kebijakan ekonomi yang bersifat kontroversial. Salah satunya tentang sikap proteksi perdagangan di USA terutama terhadap barang yang diimpor dari RRT. Dalihnya adalah untuk menjaga posisi USA tetap sebagai jawara dalam perekonomian dunia. USA sedang mencoba mengerem arus barang dari RRT melalui penetapan tarif bea masuk yang tinggi.
Di sudut lain, USA melalui The Fed bank sentralnya, juga menaikkan tingkat suku bunga bank, supaya para investor dari seluruh penjuru dunia pulang kembali menginvestasikan uangnya di Amerika. Dalam suasana yang sedemikian kompetitifnya, sebagai sebuah negara dengan sistem ekonomi terbuka, mau tidak mau Indonesia terkena imbasnya. Larinya dolar Amerika kembali ke negeri asalnya, menyebabkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi, melemah terhadap dolar Amerika sang global currency. Jelas, apa yang terjadi di luar sana, mengganggu stabilitas ekonomi di Indonesia.
Lalu, dalam perang dagang antara USA dan RRT, bagaimana posisi Indonesia? Mari kita lihat faktanya berdasarkan data-data berikut.
Pembaca yang budiman, setidaknya ada 3 alasan mengapa kita lebih condong kepada RRT daripada USA.
Pertama
Nilai perdagangan bilateral Indonesia-RRT jauh lebih besar daripada Indonesia-USA. Perhatikan gambar di atas. Dalam lima tahun terakhir, nilai ekspor dan impor Indonesia-RRT jauh lebih besar daripada USA. Puncaknya terjadi pada tahun 2017 di mana nilai ekspor Indonesia ke RRT sebesar 23000 juta US$, lebih tinggi dari ekspor Indonesia ke USA sebesar 18000 juta US$.
Di sisi impor, kita mendatangkan 36.000 juta US$ komoditi dari RRT, sangat jauh di atas impor dari USA sebesar 17000 juta US$. Selain soal komparasinya dengan USA, jomplang-nya nilai impor dari RRT ke Indonesia menunjukkan betapa tergantungnya kita pada negeri tirai bambu.
Ya, RRT memang telah berhasil menunjukkan kinerja industri yang luar biasa. Entah bagaimana, mereka berhasil memproduksi barang dengan cepat, murah, namun tetap berkualitas. Barangkali hanya soal image saja yang kini menjadi PR untuk diperbaiki. Sebab, terkadang masih muncul asumsi bahwa barang bikinan RRT memang murah tapi juga murahan.
Padahal, kalo kita lebih objektif memberikan penilaian, sepertinya untuk harga yang sedemikian rendah, hampir tidak ada produk negara lain yang lebih baik kualitasnya. Maka, tak heran jika di negeri Paman Sam sekalipun, produk bikinan RRT mendominasi pasar dan bahan baku industri.
Di Indonesia? Wah, sama aja! Coba cek benda-benda di sekitar kalian, seberapa banyak yang MADE IN CHINA? Kalo saya, bahkan laptop, smartphone, baju, dan jilbab saya, adalah produksi RRT.
Kedua
Dalam kaca mata investasi, RRT juga lebih berkontribusi terhadap Indonesia. Gambar di atas merangkum nominasi investasi asing yang mempercayakan dananya untuk dikelola di Indonesia. Jangan salah fokus ya, jangan sampai demam xenophobia. Sebelum merasa terintimidasi dengan hadirnya investasi asing di Indonesia, coba baca dulu artikel Pak Faisal Basri. Ada penjelasan yang lumayan mencerahkan dari Faisal Basri tentang Foreign Direct Investment yang masih minim di negara kita.
Pada 5 besar negara investor di Indonesia tahun 2017 sebagaimana dilaporkan oleh BKPM tersebut, investasi dari RRT bertengger pada posisi ke-3 setelah Singapura dan Jepang. Yang ke-4 adalah Hongkong dan Korea Selatan. Lalu, USA di mana? Ada. Tapi jauh lebih kecil porsinya, di antara puluhan negara lain yang dirangkum dalam Others. Itupun, hanya terfokus pada bidang pertambangan saja, tidak seluas investasi negara lain yang mencakup sektor-sektor lapangan kerja yang lebih luas.
Ketiga
Dalam tata cara perdagangan internasional, masih dimungkinkan adanya Bilateral Swap Agreement (BSA). Artinya, dalam bertransaksi tidak diperlukan lagi perantara Dolar Amerika untuk menentukan nominal pembayaran. Yang dipakai justru salah satu atau kedua mata uang dari negara yang sedang bertransaksi. Dalam konteks Indonesia-RRT maka bisa dipilih menggunakan Rupiah (IDR) atau Yuan (CNY).
Saat ini, Indonesia baru punya BSA dengan Jepang, dan sedang diwacanakan untuk BSA dengan RRT. Bukan tidak mungkin bahwa dengan adanya BSA Indonesia-RRT, perekonomian kita akan membaik. Sebab, nyatanya memang kita mengimpor banyak produk dari RRT. Apalagi, dalam situasi depresiasi IDR terhadap US$, “membuang” mata uang dolar jauh-jauh dari transaksi, bisa jadi akan lebih menguntungkan.
Nah, sampai sini, sudah jelas bukan di mana posisi Indonesia?
In economic point of view, we have a tighter relationship to China than America.
Kalau sudah tahu kondisinya, maka bagaimana eksekusi kebijakannya?
Kita percayakan dan serahkan saja pada pemerintah.
Wassalamualaykum
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.
Timo mengatakan
Wah aku baru tau kl km punya tim penulis segala, mantabh!
Anyway, informasinya mencerahkan! Kl ada BSA jd memang lbh baik ya drpd diharuskan tetap menggunakan USD?
diskartes mengatakan
Yups, biar berkembang om.
Haha, thanks ya buat apresiasisnya. Memang uda ke arah sana sih, BSA