Pernahkah terpikirkan kalau losing your job? Saya sering. Bahkan mungkin setiap bulan, saya memikirkannya. Kok bisa? Iya, karena saya adalah seorang freelancer.
Dan, freelancing sepertinya bisa disebut sebagai pekerjaan paling abstrak sedunia.
Abstraknya kayak apa sih?
Satu contoh. Sebagai freelancer, kita bisa “memalsukan” penampilan sesuka kita. Mau kelihatan sukses, gampang. Tinggal pencitraan aja. Mau kelihatan jadi freelancer gagal (biar nggak dikejar pajak misalnya 😛 ), juga mudah. Ya, yang terakhir itu pikiran usil saja sih. Jangan ditiru. Nggak baik.
Kalau orang kantoran? Susah. Karena bakalan ada “saksi” bagaimana kita di kantor. Bakalan ada orang yang bisa dihubungi oleh sales kartu kredit untuk disurvei, istilahnya sih gitu. Freelancer? Enggak ada. Nggak ada yang tahu penghasilan pasti seorang freelancer.
Contoh lain. Misalnya nih ya, orang kantoran apakah akan kepikiran, bulan depan apakah masih dapat pemasukan? Enggak. Freelancer? Pertanyaan ini tuh pertanyaan menahun. Meski dikata punya klien tetap, pertanyaan ini akan terus ada. Karena ikatan kerja antara freelancer dengan si pemberi kerja ini adalah ikatan kerja informal. Kasarnya, sewaktu-waktu bisa berhenti without prior notice dan sepihak pula.
Sedih nggak sih?
Karena itu, kadang ya ketawa miris kalau ada yang menyebutkan, bahwa dengan bekerja secara freelance, seorang pekerja berkurang risikonya terkena stres. Yha! Well, memang semua selalu ada dua sisi ya? Ada baiknya, ada enggaknya. Demikian pula dengan menjadi freelancer.
Makanya, kadang job-job receh yang sekali project gitu juga harus dijabanin, demi bisa menambah pundi-pundi biarpun sedikit, demi bisa nambahin tabungan.
Makanya (lagi), mengatur keuangan menjadi agak tricky bagi seorang freelancer. Terutama ya karena proyeknya yang enggak teratur–apalagi buat yang pemula. PR banget supaya bisa memperpanjang napas sampai bulan depan.
Dan, untuk bisa mengatur keuangannya, seorang freelancer memang seharusnya menjawab beberapa pertanyaan berikut terlebih dahulu, dan kemudian mengikuti 2 hal berikutnya. Baru deh, keuangan bisa (agak) terukur dan terjamin.
Apa saja pertanyaannya? Mari kita lihat satu per satu.
5 Pertanyaan dan 2 Hal Penting yang Harus Dijawab dan Diingat oleh Seorang Freelancer untuk Mengatur Keuangannya
Berapa pendapatan per bulan?
Jadi, berapa sih pendapatan kita per bulan? Nggak pasti? Mari kita pastikan.
Pertama, sebaiknya buat satu rekening berbeda yang khusus untuk menerima pemasukan dari pekerjaan freelance. Ini salah satu langkah awal yang baik untuk memastikan, berapa sih pemasukan kita rata-rata setiap bulannya.
Nah, kalau sudah ketahuan nih angkanya, selanjutnya adalah menggaji diri sendiri dengan jumlah yang tetap setiap bulannya dari rekening tersebut. Tentu saja, kita harus mengambil jumlah yang paling aman, yang disesuaikan dengan pengeluaran rutin kita.
Sedikit ya, gajinya? Cari proyekan lagi kalau gitu, yah! Semangat! *muka tega*
Berapa pengeluaran rutin per bulan?
Pertanyaan terbesar kedua: berapa pengeluaran tiap bulan? Yang rutin ya. Yang selalu ada di tiap bulan.
Penyakitnya adalah, pas proyek banyak, jajan mulu. Pas proyek dikit, ngiritnya udah ngalah-ngalahin sobat paling misqueen. Lebih parah lagi, sampe ngutang pake kartu kredit. Hadeh.
Nah, ini yang salah. Seharusnya enggak begini. Pendapatan boleh nggak rutin masuk, tapi pengeluaran sebisa mungkin tetap dibikin rutin jumlahnya. Untuk membuatnya rutin, mulailah dengan melakukan pencatatan. Dengan rutin mencatat, kan kita jadi tahu angka pasti pengeluaran kita setiap bulan.
Dengan mengetahui jumlah pengeluaran rutin, kita juga bisa menjadikannya target untuk pemasukan yang tetap setiap bulannya. Misalnya nih, ternyata pengeluaran rutin Rp7.000.000 setiap bulan sudah termasuk dengan tabungan, proteksi, dan investasi, so, kita harus menerima job senilai minimal Rp7.000.000.
Bagaimana bagi posnya?
Nah, biar bisa mencukupi pengeluaran rutin setiap bulannya, mari kita main congklak. Maksudnya, bagi pemasukan ke dalam pos-pos. Mau pakai excell, atau aplikasi mobile, atau mau pakai amplop (yang terakhir ini saya banget).
Bisa saja pos-posnya berbeda untuk setiap orang ya, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kalau saya, sudah punya anak, jadi posnya terdiri atas tabungan/investasi, dana wajib (dan/atau cicilan bagi yang punya utang), pengeluaran rumah tangga dan anak, dan pengeluaran pribadi.
Saya juga sudah dapat “gaji” dari suami, jadi ini bisa jadi tambahan dalam pos tertentu, sesuai kesepakatan dengan suami pastinya.
Nah, sudah terbagi semua dalam pos, maka itulah yang akan dijalankan selama sebulan ke depan hingga saatnya saya “gajian” lagi.
Boleh kan, saya sebut gajian? Biar berasa beneran kerja.
Butuh berapa untuk dana-dana wajib?
Nah, ini. Di dalam pos pengeluaran yang sudah kita bagi di poin sebelumnya, pos ini yang kadang malah bikin panas dingin.
Sebagai seorang freelancer, kita harus punya dan bikin apa-apa sendiri, mulai dari asuransi kesehatan, dana darurat, dana pensiun, hingga asuransi jiwa, kalau perlu. Masing-masing berapa? Pastinya ada hitungannya sendiri-sendiri ya.
Kalau saya pribadi, asuransi kesehatan–Alhamdulillah–sudah dicover sama suami, jadi pos ini agak berkurang. Tinggal dana darurat dan dana pensiun sih, utamanya. Dana darurat akan lebih baik dialokasikan agak banyak dari orang-orang lain, karena ya itu tadi, pemasukannya nggak tentu. Kadang kalau benar-benar minim, ya jadi hidupnya ngambil dari dana darurat. Saat pemasukannya bisa surplus, segera ganti dan ditambah juga. Supaya lain kali, kalau paceklik lagi, bisa terbantu.
Buat yang belum tercover, asuransi kesehatan ini wajib punya ya. So, yang belum punya BPJS, segera bikin BPJS yang mandiri. Sekarang kan gampang bikinnya. Kalau bisa ditambah dengan asuransi kesehatan swasta ya lebih baik lagi.
Pengalaman nih, kalau sakit, bakalan menguras tabungan banget deh. Apalagi kalau sampai rawat inap. Puyeng pasti kalau nggak punya asuransi. BPJS udah bagus pelayanannya sekarang. Ya, palingan mesti antre dan birokrasi panjang karena sistemnya rujukan berjenjang. Tapi, ya buat kita-kita yang freelancer, ini sudah cukup bangetlah. Apalagi preminya cukup terjangkau.
Jadi, jangan sampai nggak punya asuransi kesehatan ya.
Kalau enggak ada proyek lagi, terus gimana?
Yaaa, mau gimana lagi selain jual diri lagi? Kadang sudah bisa diprediksi kalau bulan depan bakalan minim pemasukan, kadang ya mendadak aja kehilangan kerjaan atau proyek.
Kalau seumpamanya sudah bisa diprediksi, maka lihat catatan lagi. Pos mana saja yang bisa dipangkas ataupun dihemat. Biasanya, kalau saya sih yang bisa diulik lagi adalah pengeluaran rumah tangga, misalnya untuk makan. Kurangi makan di luar, perbanyak masak sendiri. Terus merek-merek produk juga biasanya milih aja yang se-grade di bawahnya, harganya pasti juga menyesuaikan. Lalu, berburu diskon. Hahay. Disuruh hemat, tapi ya kadang malah bikin excited. Seru soalnya.
Plus: Anggaran untuk pengembangan diri
Nah, satu hal keuangan untuk para freelancer yang seharusnya ada nih, yaitu anggaran untuk pengembangan diri. Kalau orang kantoran, kan suka ada training-training untuk meningkatkan kompetensi kan ya? Freelancer mesti usahain sendiri nih yang kayak gini.
Memang sih, kita bisa menemukan banyak ilmu gratisan asal rajin “beredar” di dunia maya. Tapi, adakalanya, kita merasa perlu banget ikut workshop ini itu yang bisa menunjang kerjaan kita, dan mesti bayar.
Memang ini bukan pos pengeluaran rutin, karena nggak selalu ada juga. Tapi ada baiknya juga kalau dialokasikan. Yah, 100 – 200 ribu per bulan (kalau ada) sisihkan untuk pos anggaran pengembangan diri. Pas ada workshop yang oke, dengan bujet yang sesuai, langsung deh ikut. Anggap saja investasi diri sendiri.
Ingat, kerjaan freelancer itu saingannya beurad. Apalagi sekarang, yang kita bisa kerja remote ke mana aja sesuka kita. Saingannya sudah bukan lagi perusahaan sebelah, tapi tenaga kerja asing lo! Kalau nggak rajin upgrade diri, ya siap-siap aja paceklik mulu.
Hard limit: jangan membelanjakan uang yang belum di tangan
Ini aturan terakhir yang hard limit banget.
Kadang tu ya kepikirannya gini, “Eh, mau beli laptop baru ah. Bulan depan kan invoice yang anu cair. Jadi bisalah buat nutup, beli sekarang, ketutup sama invoice anu itu.”
No! Big no no! Saya pernah sering begini, dan kadang bikin saya nyesel senyesel-nyeselnya saat invoice ternyata mundur. Udah telanjur beli laptop pake duit lesnya anak-anak, cyint! Nangis nggak tuh?
Pelajaran penting saya dapatkan: jangan pernah membelanjakan uang yang belum di tangan. It’s hard limit banget! Selalu atur dan pergunakan uang yang ada, yang kelihatan angkanya, yang kelihatan bentuknya.
Gimana? Sudah ada 7 strategi atur uang untuk freelancer di-share di atas? Apakah ada tambahan lain? Atau, ada yang punya strategi lain dalam pengaturan keuangan untuk freelancer? Share di kolom komen ya.
Cheers!
Penulis
Carolina Ratri berprofesi sebagai Marketing Communications Specialist di Stilleto Book. Bergabung menjadi penulis website Diskartes.com sejak Juni 2019.