Assalamualaykum!
Suatu pagi, seorang teman curhat lewat laman Facebooknya seperti ini,
“Ada seorang anak muda, murid saya dulu waktu SMA, tiba-tiba contact WA nanya kabar, bla bla bla… Saya ladeni saja, menyambung silaturahim seperti yang biasa diajarkan di sekolah. Ternyata, ujung-ujungnya dia bertanya apakah saya ndak bosan capek kerja dapetnya segitu-gitu aja, trus ditawari jadi member MLM-nya. Duh, bocah!”
Merasa empati, entah kenapa saya justru tertawa membaca status FB beliau.
Setelah diingat-ingat lagi sepertinya karena pernah beberapa kali berada di posisinya, semacam diberi harapan palsu. Istilah kerennya diprospek.
Hal semacam itu sebenarnya sudah saya alami sejak SMA, sekitar 15 tahun yang lalu. Metodenya diajak datang ke perkumpulan MLM dengan dalih ikut seminar. Berkat kecanggihan teknologi, cara menggaet calon member MLM sudah jauh lebih kreatif, makin mudah dan murah dijalankan. Coba cek timeline sosmed kalian, saya yakin pasti ada setidaknya satu orang teman yang getol menjalanan bisnis MLM-nya.
Skema Bisnis MLM (Multi Level Marketing)
MLM merupakan metode penjualan barang dan jasa dengan sistem pemasaran berjenjang. Dalam sistem MLM, setiap anggotanya menjual produk yang telah disediakan perusahaan, sekaligus merekrut “staf pemasaran” sebagai bawahannya, disebut downline, untuk ikut memasarkan produk tersebut.
Dengan demikian ada dua sisi bisnis dalam MLM, yaitu merekrut tenaga marketing baru sebagai downline, dan menjalankan bisnis menjadi distributor atau agen yang menjual produk kepada masyarakat. Umumnya, sisi bisnis perekrutan, menjadi misi utama dari pelaku bisnis MLM karena lebih banyak menjanjikan benefit dari skema networking.
Semakin banyak orang baru yang direkrut untuk masuk ke dalam sistem MLM, maka seseorang akan menjadi “marketer” yang sukses, bisa mengajak dan mempengaruhi, akibatnya diganjar dengan bonus yang semakin tinggi.
Mudahnya berkomunikasi lewat sosial media memberi jalan bagi siapapun untuk membangun networking di dunia maya. Sehingga, pada era sosial media yang berkembang pesat hari ini, sangat wajar jika MLM semakin eksis dan menjadi salah satu motivasi bagi masyarakat untuk saling berinteraksi.
Nah pertanyaannya, apakah MLM itu buruk?
Well, saya tidak berani menggeneralisir MLM termasuk kategori apa. Menilai MLM itu baik atau buruk adalah hak dari kalian masing-masing, meskipun kalau ditanya apakah pro MLM, saya akan menjawab sejujurnya tidak menyukai metode ini.
Kenapa?
Menurut saya, cara penjualan MLM lebih cenderung “merepotkan” karena harus berurusan dengan networking, lalu ada perbedaan harga pokok produksi dan harga jual yang signifikan. Di mana selisih harga ini menjadi agak misterius tergantung pada level jaringan saat barang berpindah tangan.
Salah satu penjelasan detil soal perbedaan harga ini, bisa kalian baca di sini. Studi kasusnya pada salah satu MLM yang paling terkenal di Indonesia.
Maka sebagai konsumen, menjadi semakin sulit untuk memutuskan seberapa layak harga barang yang dijual lewat MLM. Artinya, MLM cenderung menyalahi prinsip efisiensi, padahal bagi saya yang adalah seorang “calon ekonom”, keterbukaan soal value atau nilai barang dan harga jual adalah faktor yang sangat penting.
Memang ada jenis barang tertentu yang tetap akan dibeli meskipun harganya tidak setara dengan kualitas barangnya. Barang-barang ini disebut dengan barang prestise. Semakin mahal harga barang ini, bahkan semakin bangga seorang konsumen yang memakainya.
Beberapa MLM yang basis produksinya di luar negeri, saya perhatikan sangat jeli memanfaatkan namanya sebagai produk buatan impor untuk mem-boost harga jual barangnya. Tentu saja dengan teknik marketing yang demikian, masih banyak yang bersedia membelinya, bahkan ikut memasarkannya.
Well, ini masih pendapat pribadi, tentu saja kalian masih sangat punya kebebasan untuk meriset sendiri tentang MLM dan bahkan bergabung di dalamnya, jika memang dirasa cocok dengan karakter kawan-kawan.
Kenapa bisnis MLM bisa berkembang pesat?
Tumbuh suburnya MLM di Indonesia adalah sebuah fenomena. Fenomena yang menunjukkan kepada kita tentang dinamika profesi dalam masyarakat, dinamika arus informasi, dinamika kultur sosial, sekaligus dinamika gender. Sebuah penelitian yang digagas oleh William Franco dan Perez di tahun 2016 mengaitkan fenomena ekspansi MLM di Kolombia sangat erat kaitannya dengan etnografi.
Artinya, MLM bisa tumbuh subur di sana, sebab sesuai dengan karakter kebudayaan masyarakat Kolombia. Berdasarkan pengamatan saya, hal semacam ini juga terjadi di Indonesia.
Masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang menganggap penting hubungan sosial baik itu dalam keluarga, lingkungan bertetangga, hingga tempat bekerja. Dengan basis bisnis yang mengutamakan perekrutan “marketer” baru sebagai downline, yang mau tidak mau harus dijalankan dengan terlebih dahulu menjalin hubungan sosial, maka konsep bisnis MLM memang cocok untuk tumbuh di Indonesia.
Permasalahannya kemudian adalah sisi etika dari bisnis ini, yaitu, bagaimana mengemas urusan bisnis yang tujuannya mencari keuntungan dengan tidak mengganggu hubungan sosial. Sebab, sebagai sebuah masyarakat yang berbasis religi, maka hubungan sosial adalah implementasi dari nilai-nilai keyakinan masyarakat Indonesia tentang kewajiban menjaga hubungan dengan manusia sesamanya. Ikatannya pun harus tulus, bukan untuk keperluan bisnis semata-mata.
Lalu, jika dihubungkan dengan kondisi perekonomian, MLM memang menyasar negara berkembang, dan negara yang sedang dalam kondisi resesi ekonomi.
Mari perhatikan struktur perekonomian di Indonesia, di mana ada dua jenis pekerjaan dilihat dari sudut pandang formalitasnya. Para tenaga kerja berpendidikan yang beruntung menemukan lowongan pekerjaan yang sesuai, cenderung berada pada kelompok pekerja kelas formal. Sementara, terbatasnya lapangan pekerjaan dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia, ditambah dengan tingkat pendidikan yang tidak sesuai dengan permintaan industri, pada akhirnya memaksa sebagian kelompok lainnya untuk menjadi pekerja pada sektor informal. MLM adalah salah satunya.
Bagi MLM, memberikan peluang untuk menjadi kaya tanpa harus berijazah atau ngantor, adalah daya tarik tersendiri bagi angkatan kerja golongan ini. Tak terkecuali, bagi para ibu rumah tangga. Akhir-akhir ini, polanya memang mulai bergeser. Para wanita pun ingin memperoleh penghasilan, meskipun sembari tetap berperan sebagai ibu rumah tangga.
Bekerja di sektor informal itu sah-sah saja. Namun sebagai catatan, umumnya penghasilannya tidak seberapa. Bagi negara, besarnya kuantitas pekerja dalam sektor informal menunjukkan belum berhasilnya upaya pemerintah membuka lapangan kerja yang mencukupi untuk semua angkatan kerja.
Silakan baca ulasan pusat studi ekonomi dan kebijakan publik UGM tentang peran sektor informal di Indonesia. Lagi, menurut data BPS tahun 2017, dari keseluruhan angkatan kerja di negara kita, 58,35% nya bekerja di sektor informal. Persentase ini terus meningkat setiap tahun , seiring dengan bertambahnya struktur penduduk usia produktif dan probabilitas fenomena PHK yang memaksa para pekerja formal berpindah ke sektor informal.
Dilihat dari fenomena global, pertumbuhan bisnis MLM di seluruh dunia mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2014, kenaikan transaksi pada bisnis ini sebesar 14%. Sementara di Indonesia, menurut data APLI sektor bisnis MLM melibatkan sekitar 12 juta “marketer”, dengan pertumbuhan transaksi selama tahun 2011-2014 sebesar 11,3%. Saya rasa, dengan sepak terjang industri MLM dan kesesuaiannya dengan karakter masyarakat Indonesia, angka ini akan terus berkembang. Apakah anda mau jadi salah satu bagiannya, itu, terserah anda.
Jadi, bagaimana?
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.
Dani mengatakan
Pernah beberapa kali diajak ketemuan untuk bisnis MLM dan setiap kali ditanya skema bisnisnya pasti yang ditonjolkan aalah mendapatkan duit tanpa kerja. Janji mendapatkan duit banyak dengan mudah memang sangat menggiurkan.
diskartes mengatakan
Yang repot tu urusan mendapat duit tanpa kerja kan. Kalo semua orang bisa gitu, ya pasti ga ada orang yang kekurangan. Fakta bicara lain.