(Update 2019)
diskartes.com – Assalamualaykum pembaca setia!
Beberapa hari yang lalu (di tahun 2016) blog diskartes menerima tamu seorang pembaca setia dari Singapura, enterpreneur bernama Mr. Henry yang merupakan co-founder SsinoConnect. Dia datang bersama seorang internship, gadis cantik bernama Melissa, kemudian saya ditemani Reni yang merupakan ahli perkreditan Tanah Air. Pertemuan selanjutnya rencananya akan ngajakin blogger finance kawakan macam Dani Rachmat dan Febriyan Lukito.
Sebelum meeting kecil, melalui pesan di facebook dia mengatakan maksud kedatangannya adalah untuk menyiapkan “first peer-to-peer car financing platform in Indonesia”. Nah, untuk mencapai tujuannya itu, pemuda ini melakukan riset yang serius terhadap perilaku konsumen di Indonesia.
Niat banget kan, memangnya perilaku konsumen di Indonesia gimana sih?
Sebelumnya saya mau memberi masukan kalau pengetahuan tentang perilaku konsumen penting bagi investor untuk memahami pola pikir pembeli. Jangan salah loh, perilaku ini bukan cuma ketika konsumen membeli barang atau jasa. Tapi perlu diperhatikan juga bagaimana respon mereka sebelum membeli, ketika pembelian terjadi, dan tanggapan mereka setelah menggunakannya. Sederhananya, artikel ini adalah tentang:
“Apa yang orang inginkan?”
Keinginan seseorang bisa timbul dari kebutuhan diri sendiri atau dari eksternal. Pengaruh eksternal ini biasanya muncul dari tradisi di sekeliling kita. Selain itu, referensi online dan offline juga manjur lhoh. Perhatikan deh, biasanya bisnis yang masih bertahan sejak jaman dulu adalah mereka yang bisa menjaga kualitasnya, sehingga orang-orang mereferensikan ke temannya dari mulut ke mulut. Salah satu strategi kuno paling efektif!
Dinamika bisnis di Indonesia sudah menuju ke arah ekonomi digital, oleh karena itu perilaku konsumen pun mulai berubah. Anda, saya, atau siapapun yang ingin mengais untung di sini wajib paham mengenai perubahan cita rasa mereka. Nah, jika demikian Anda sudah tau dong darimana kita mulai akan membahas perilaku konsumen di Indonesia.
1. Mulut ke mulut diganti “share”, “like”, dan “love”
Pengguna smartphone di Indonesia beranjak naik terus, mulai dari 44,7 juta orang di tahun 2014 menjadi 55,4 juta orang di tahun 2015. Bahkan pada tahun 2018, angka tersebut melonjak menjadi 120 juta orang. Selain itu, Indonesia dipastikan sebagai salah satu negara yang menjadi user sosial media terbesar di dunia.
Wajar sih, karena jumlah penduduk Indonesia sendiri lebih dari 250 juta orang. Nah fakta ini juga dibarengin dengan pertumbuhan bisnis e-commerce yang naik daun dalam beberapa tahun terakhir.
Pengaruh lingkungan modern inilah yang secara tidak langsung mengarahkan pola pikir konsumen atas suatu produk. Sebagai contoh ketika Anda sedang stalking facebook atau path mantan, terus disitu dia ngasih rekomendasi makanan yang banyak banget share dan like nya. Meski benci pada si mantan, saya yakin Anda pasti penasaran klik makanan itu, atau bahkan membelinya. Di abad ini, referensi online itu dalam bentuk “share”, “like”, dan “love”.
2. Perbedaan persepsi individu
Cita rasa setiap generasi berbeda, misalnya golongan di bawah usia 35 tahun cenderung sangat bersemangat dengan brand-brand baru dan berani mencoba hal asing. Sedangkan golongan senior lebih yakin dengan merk yang dikenal. Pendidikan, pekerjaan, serta penghasilan juga membentuk persepsi mereka tentang sebuah produk.
3. Sosiokultural?
Mahluk apalagi ini? Jika dibahas, maka akan panjang lebar dan bercabang kemana-mana. Yang mau saya sampaikan adalah, dalam beberapa bisnis tertentu, sebagian besar masyarakat Indonesia bisa bersikap homogen.
Sebagai contoh dari kasus bisnis Mr. Lim yang merupakan platform financing untuk mempertemukan peminjam dengan investor. Fakta di lapangan telah menunjukkan bahwa di semua level pendidikan, status sosial, dan lain sebagainya, selalu ada orang yang memiliki niat untuk meminjam uang. Alasannya bisa beragam, mulai produktif sampai konsumtif.
Apalagi dengan pertumbuhan bisnis Gojek dan Grab, banyak yang resign dari pekerjaannya kemudian mengajukan kredit untuk membeli kendaraan untuk ikut nyemplung di bisnis layanan transportasi tersebut. Problemnya justru di seputar investor, bagaimana menemukan kemudian diyakinkan untuk investasi.
Tetapi ada juga yang heterogen dalam menyikapi sebuah bisnis baru, apalagi startup asing yang belum dipahami semua budaya. Biasanya penduduk di kota metropolitan dan megapolitan memiliki kans lebih mudah untuk beradaptasi dengan layanan baru dibandingkan dengan di daerah selain ibukota.
Punya produk dan mau dipasarkan di negeri ini? Ada fakta ekonomi tentang perilaku konsumen di Indonesia nih!
Well, data tersebut memastikan bahwa Anda berada pada lokasi yang tepat. Sekarang apa yang perlu dilakukan pemilik bisnis untuk mulai beroperasi di Indonesia?
Langkah 1 – Bentuk badan hukum
Meski Anda hanya seorang desainer atau apapun profesi yang bisa dilakukan sendiri, membentuk badan hukum wajib hukumnya. Regulasi membatasi orang yang berbisnis tanpa memiliki badan hukum, terlebih jika Anda bukan WNI.
Langkah 2 – Tentukan segmen pasar
Faktor usia sudah dibahas, kini Anda harus menentukan segmen terlebih dahulu apakah mengincar kelas tinggi atau menengah. Data ekonomi menunjukkan bahwa perkembangan paling pesat di Indonesia dimiliki kelas menengah. Kelas menengah ini menarik dan terbagi menjadi beberapa kategori antara lain mereka yang sosialita, pekerja keras, brand oriented, atau orang-orang yang terlalu suka memikirkan masa depan dengan berinvestasi.
Langkah 3 – Soft advertising
Iklan jor-joran di media massa tentu bukan pilihan ekonomis, apalagi buat startup yang baru berkembang. Pilihan soft advertising dengan humor, cerita, atau video karya blogger dan vlogger bisa jadi pilihan efektif. Selama isinya menarik dan berpotensi viral, hasilnya akan lebih optimal.
Langkah 4 – Yang diinginkan orang adalah kemudahan dan kualitas
Ingat kan kalau tulisan ini adalah tentang apa yang orang inginkan. Mereka menginginkan produk yang mudah diperoleh dan berkualitas. Ketika sudah bisa membangun brand di era digital ini, maka prosentase penjualan akan meningkat.
Oleh karena itu, akan sangat baik jika Anda mau bekerja sama dengan perusahaan yang sudah stabil seperti media transportasi online atau membuat semacam aplikasi di android dan iOS. Tergantung bisnis Anda, Bung!
Well, nampaknya sudah cukup ya tulisan kali ini. Semoga usaha Anda sukses!
Wassalamualaykum pembaca setia!
Nia Nastiti mengatakan
Penyebaran informasi dari mulut ke mulut dulu dikenal ketok tular ya Mas, jadi inget buku Tipping Poinnya Malcolm Gladwell dan pengen buka2 lagi 😀
diskartes mengatakan
wahaaha..ada juga yang inget getok tular yak… word of mouth…
sejujurnya,,aku malah blm baca bukunya si Malcolm yang itu