Perkembangan ekonomi belakangan membuat beberapa pihak memproyeksi bahwa ke depannya akan lebih sulit bagi masyarakat Indonesia untuk bisa membeli rumah lantaran harga rumah akan semakin melambung. Salah satu yang memberikan peringatan ini adalah Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia.
Tentu ini bukan kondisi yang ideal. Apalagi mengingat mereka yang sudah berkeluarga dan punya banyak tanggungan, sebagai sandwich generation.
Data Historis Harga Rumah di Indonesia
Sebagai gambaran, mari kita lihat data historis perkembangan harga rumah di Indonesia, menurut data CEIC
Dari data di atas, pertumbuhan harga rumah Indonesia memang naik pada Maret 2022, sebesar 1.5%.
Lalu, kalau dikomparasi dengan negara lain, bagaimana posisi Indonesia?
Jadi, kenaikan harga rumah di Indonesia masih cenderung rendah, di antara negara lain yang sama-sama mengalami peningkatan. Memang tidak semua negara bisa ditampilkan, karena keterbatasan ruang. Tetapi setidaknya yang di sini mewakili yang seregional dan juga yang dikatakan sedang mengalami inflasi tinggi saat ini.
Jadi, inflasikah yang menjadi “tokoh antagonis” dalam hal ini? Atau ada yang lain?
Harga Rumah Tinggi Hanya Belakangan Ini?
Masih ingat beberapa kali menemukan komentar—sepertinya sih di media sosial—bahwa penyebab harga rumah tinggi dewasa ini salah satunya adalah hobi orang-orang menjadikannya sebagai aset investasi. Mereka yang punya duit membeli rumah-rumah di lokasi strategis dan kemudian menjadikannya aset untuk mendatangkan duit yang lebih banyak lagi. Bisa dengan menjualnya kembali atau dengan menyewakannya. Hal ini membuat harga rumah melonjak di beberapa kawasan yang memang menguntungkan.
Akibatnya, orang-orang yang punya gaji UMR mana mampu membeli rumah yang dekat dengan pusat kota? Apalagi biasanya juga kalau ada pengembangan properti di satu wilayah, infrastruktur pun menyusul dikembangkan. Alhasil, harga rumah melaju jauh tak terkejar oleh orang-orang gajian.
Narasi ini lantas dibungkus juga dengan narasi lain, bahwa seandainya harga rumah seperti zaman dulu, pasti lebih terjangkau. Bahkan ada yang berseloroh, di zaman dulu, mereka bisa saja jadi tuan tanah.
Benarkah demikian? Mari kita lihat datanya, dan membandingkan harga rumah versus UMR di saat yang sama.
Harga Rumah VS UMR Nasional Tahun 1990-an
Dari penelusuran, ditemukan akun Twitter @rizkidwika pernah membagikan iklan properti di tahun 1988. Ada banyak yang sempat ditampilkan, tapi mari kita pilih satu saja sebagai bahan studi kasus.
Ini nih, rumah ditawarkan di Ciledug. Di tahun 1988, kamu bisa membelinya dengan harga paling murah Rp18 jutaan.
Perlu diketahui bahwa UMR nasional di tahun 1990-an—karena di Wikipedia, datanya mulai ada di tahun 1991—maka besarannya adalah Rp18.200 per bulan. Taruhlah, UMR di Jakarta akan selalu lebih tinggi daripada UMR daerah lain di Indonesia. Mari kita buat UMR Jakarta sebesar Rp100.000.
Yuk, kita hitung. DP untuk KPR kita ambil 20%, ini berarti Rp3.600.000. Sisa yang harus dibayar adalah Rp14.400.000. Jika kita buat supaya cicilan KPR maksimal 30% dari penghasilan, maka cicilannya adalah Rp30.000 per bulan. So, KPR akan lunas dalam 480 tahun secara hitungan kasar. Itu belum termasuk ada bunga dan biaya lainnya.
Jadi, kalau dihitung rumah harga Rp18 juta, dibandingkan dengan UMR Rp100.000, itu artinya gaji kita “hanya” 0.55%-nya.
Gimana? Apakah masih berkesimpulan rumah zaman dulu murah banget?
Yang ngereply tweet ini yakin nih, kalau sudah balik ke zaman dulu dengan mesin waktu, lalu bisa menjangkau beli rumah? Jangan-jangan gajinya juga ikut menyusut seiring waktu yang mundur.
Harga Rumah VS UMR Nasional Tahun 2022
Rumah dalam iklan di atas untuk harga Rp18 jutaan adalah dengan luas tanah 90-an meter persegi, dan luas bangunan 60-an meter persegi di Ciledug.
Nah, ini kebetulan ada yang kurang lebih mirip, meskipun beda lokasi. Tapi tidak di belahan bumi yang lain, intinya.
Harga Rp1.25 miliar. Asumsikan, si pemilik rumah bekerja di Jakarta, jadi pakai UMR Jakarta saja, yaitu Rp4.200.000. Ini artinya jika diperbandingkan, harga rumah versus UMR adalah 0.33%. Memang lebih rendah daripada tahun 1990-an, tetapi tidak terlalu signifikan.
Kalau si pemilik rumah bekerja di daerah Banten, kayak Cilegon, UMR-nya malah lebih tinggi daripada Jakarta.
Beberapa Hal yang Menyebabkan Sulit bagi Anak Muda untuk Beli Rumah
So, apakah inflasi patut disalahkan untuk harga rumah yang lebih tinggi? Apakah ulah beberapa orang yang suka menimbun aset properti yang juga menyebabkan harga rumah tak terkejar?
Faktanya, inflasi naik memang menyebabkan harga rumah terkerek. Tetapi, inflasi juga berperan meningkatkan penghasilan para karyawan dan pekerja. Begitu juga dengan para penimbun aset properti, tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena mereka sekadar melakukan bisnis, seperti pada umumnya.
Tapi, faktanya, memang tak hanya 2 hal itu saja yang menjadi faktor mengapa anak muda semakin sulit untuk membeli rumah.
Nggak mau ambil rumah subsidi
Ibu Sri Mulyani menyatakan, bahwa sebanyak 12.5% masyarakat saat ini menunggu untuk mendapatkan rumah mereka. Memang ada rumah subsidi, tetapi ada saja alasan mengapa sebagian dari mereka enggan mengambilnya. Satu, masalah lokasi yang jauh dari tempat kerjanya. Dua, kualitas rumah subsidi yang kurang memenuhi syarat, sehingga mereka harus menyediakan ekstra dana untuk melakukan renovasi bahkan sebelum rumah tersebut bisa dihuni.
Adanya bonus demografi alias usia yang masih muda membuat mereka juga lebih suka untuk tinggal di pondok mertua indah.
Bunga cicilan tinggi
Kekhawatiran tidak mampu membayar akibat bunga yang tinggi juga membayangi masyarakat. Meskipun inflasi di Indonesia masih dalam level rendah dan terkendali, pun Bank Indonesia juga belum menampakkan tanda-tanda hendak menaikkan suku bunga acuannya, tetapi skema fixed rate dan floating rate yang kerap diterapkan oleh bank untuk KPR sering menjadi masalah bagi masyarakat. Bunga tetap yang diterapkan pada sekian tahun awal memang biasanya cukup menarik. Tapi biasanya setelah beberapa tahun, bunga tetap ini kemudian akan menjadi bunga mengambang—atau floating rate—yang besarannya akan mengikuti perkembangan pasar. Di sinilah banyak orang yang ragu untuk tetap bisa mampu membayar cicilan KPR.
Gaya hidup
Belum lagi masalah gaya hidup, yang pengin bling-bling atas nama YOLO, juga keengganan untuk mau membuat income stream ekstra demi menambah penghasilan, dan sederet alasan lain yang kekinian. Yang sebenarnya bisa diatasi, jika yang bersangkutan punya visi yang jauh ke depan.
Untuk faktor-faktor yang terakhir ini ya, enggak ada yang bisa membantu kecuali diri sendiri.
Kesimpulan
So, mari didefinisikan, apa yang membuat kita merasa tidak mampu membeli rumah? Harga rumah yang mahal? Ini sudah terjadi sejak zaman dulu kala. Inflasi? Ini juga berperan dalam pengembangan penghasilan kita.
Rumah subsidi kejauhan dan jelek? Padahal ya, namanya juga bersubsidi. Sudah jelas akan berbeda dengan rumah komersil. Setidaknya bisa dihuni dulu, lalu lakukan renovasi sambil jalan. Keraguan bisa membayar cicilan KPR? Ini bisa diatasi dengan pengelolaan keuangan yang baik dan komprehensif.
Punya rumah di Jakarta coret pun enggak masalah, karena transportasi lebih mudah dan banyak macamnya. Bisa dipilih sesuai kebutuhan dan kemampuan.
Faktanya, sekarang semua lebih mudah daripada tahun 1990-an. Pilihan tempat tinggal pun lebih banyak, enggak cuma rumah di cluster atau perumahan. Kamu bisa memilih apartemen, ada pula apartemen subsidi.
Atau, faktor-faktor terakhir yang disebutkan di atas? Kalau ini, kembali pada individu masing-masing. Jangan-jangan memang tak pernah menjadikan rumah sebagai prioritas hidup. Mungkin … mungkin lho ya … mengharapkan warisan atau hibah akan lebih baik?