Assalamualaykum penjaja ojek online!
Kehadiran layanan transportasi berbasis daring atau online, baik berbentuk jasa ojek maupun taksi, tidak dapat dipungkiri lagi telah menjadi kebutuhan masyarakat berbagai kota di Indonesia, terutama di area Jakarta Raya atau Jabodatabek sebagai wilayah megapolitan.
Hingga hari ini tercatat jumlah orderan jasa transportasi berbasis online melalui aplikasi Go-Jek telah menembus angka 2.240.000.000. (dibacanya milyar ya, alias dua koma dua milyar kali sudah dipesan sejak pertama kali berdiri). Dalam triwulan pertama tahun 2019 ini saja, jumlah pesanan jasa Go-Jek mampu mencapai 3 juta kali orderan dalam sehari. Itu belum lagi memperhitungkan pesanan melalui Grab atau platform lainnya.
Ojek Online Solusi Kaum Urban
Tak salah jika banyak pengamat sosial transportasi menyatakan bahwa masyarakat kita sangat kecanduan pada jasa ridesourcing, istilah lain untuk layanan yang disediakan oleh Go-Jek, Grab, dan kawan-kawan.
Siapapun pasti setuju bahwa kunci keberhasilan bisnis ini dalam menarik minat masyarakat sebagai konsumen adalah karena fleksibilitasnya, yaitu dapat melayani kapanpun di titik penjemputan dan pengantaran yang sesuai dengan keinginan pelanggan, di samping tarifnya yang kompetitif.
Saya ingat sekali bahwa pada awal periode booming ojek online sekitar tahun 2015-2016, tarif layanan ojek dan taksi online sangat murah, bahkan seringkali gratis.
Tak mengherankan pula jika kemudian dikatakan bahwa bisnis ini memiliki daya tarik tersendiri bagi pencari kerja. Saat ini, jutaan driver telah terdaftar sebagai mitra bagi perusahaan pengelola transportasi online.
Masa-masa konflik sosial antara penyedia jasa ojek online dan konvensional pun perlahan-lahan berlalu. Masih ada, tapi tidak lagi kentara. Media massa mencatat telah beberapa kali terjadi “kisruh” antara pengemudi ojek online dan konvensional. Setelah konflik ini berhasil diatasi, terjadi pergeseran motivasi unjuk rasa yang disuarakan kepada publik, khususnya pemerintah sebagai pengambil kebijakan.
Penurunan Penghasilan
Daya tarik bisnis transportasi online yang dinaungi oleh dua perusahaan besar, PT GoJek Indonesia dan PT Grab, pada akhirnya mulai mendekati pada titik jenuh. Semakin banyak driver, mitra usaha yang mereka rekrut sebagai pekerja lapangan di jalan raya, memberikan dampak pada distribusi penghasilan secara keseluruhan.
Para ojek online tidak lagi mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah hingga belasan juta, sebagaimana diceritakan oleh mereka yang bergabung di masa-masa awal ojek online beroperasi. Akan tetapi, persaingan memperoleh orderan untuk mengantarkan pelanggan lama kelamaan menjadi semakin ketat, menjadikan beberapa di antara mereka tergoda untuk merekayasa aplikasi demi mencatatkan performa diri sebaik mungkin. Ujung-ujungnya adalah meningkatkan penghasilan.
Bagi sebagian yang lain, kondisi demikian disikapi dengan mengajukan tuntutan kepada manajemen untuk menaikkan tarif layanan. Para mitra ini berdalih bahwa saat ini layanan mereka telah menciptakan hubungan yang baik dengan para pengguna jasa, artinya posisi jasa ojek online telah semakin kuat dan dibutuhkan. Sehingga, semestinya sedikit kenaikan tarif layanan tidak akan mengurangi jumlah pengguna jasa.
Lalu bagaimana dengan pemerintah sebagai regulator yang jauh lebih berwenang untuk mengambil kebijakan? Berdasarkan pengamatan beberapa tahun terakhir ini, pemerintah kita sedang berusaha mengambil jalan tengah, berharap dapat memberikan win-win solution bagi semua pihak yang berkepentingan.
Posisi pemerintah, harus kita akui, memang sulit. Ada tuntutan untuk memberikan apresiasi kepada perusahaan transportasi online karena turut membantu memecahkan masalah tingginya angka pengangguran, membantu meningkatkan animo masyarakat untuk meninggalkan kendaraan pribadi, hingga menginisiasi kreativitas dalam penyediaan layanan transportasi. Lembaga Demografi Universitas Indonesia melaporkan hasil penelitiannya bahwa kehadiran Go-Jek di Indonesia telah berkontribusi sebanyak 44,2 Trilyun terhadap perekonomian Indonesia tahun 2018.
Kepentingan Angkutan yang Terpinggirkan
Namun, di sisi lain pemerintah juga wajib melindungi kepentingan penyedia layanan transportasi konvensional yang tidak mengandalkan aplikasi daring, misalnya taksi, bus, dan angkutan kota. Sebab, kehadiran ojek online telah mengusik eksistensi mereka, mengurangi jumlah permintaan pelanggan dan berpindah ke lain hati. Utamanya, karena jasa pengantaran yang disediakan kelompok ini dipatok dengan harga yang lebih tinggi, lambatnya durasi, dan kurangnya fleksibilitas dalam layanan.
Selain itu jumlah dan kualitas sarana transportasi publik di Indonesia memang masih jauh dari ideal. Mari kita tengok Jakarta. Berdasarkan data BPS tahun 2018 hanya terdapat 90 ribu kendaraan umum yang tersedia untuk melayani sekitar 12 juta penduduk Jakarta dan belasan juta lainnya penduduk urban yang setiap hari wara-wiri di sekitar Jabodetabek. Itu pun, 54 ribu di antaranya berbentuk bajaj yang hanya bisa mengangkut maksimal 3 penumpang, bukan bus yang dan kendaraan yang lebih massal.
Sangat tidak aneh jika dengan kondisi demikian jumlah kepemilikan kendaraan pribadi di Jakarta Raya menembus angka 20-an juta sepeda motor dan lebih dari 5 juta mobil. Apa yang terjadi kemudian adalah tentu saja kemacetan dan polusi menjadi menu sehari-hari.
Bagi pemerintah, tuntutan banyak kelompok ini makin menyulitkan dalam pengambilan keputusan. Selain penyedia jasa online, drivers, dan kendaraan umum yang sudah available di Jakarta, ada juga sisi kepentingan konsumen yang juga harus diperhatikan. Jangan-jangan, memang sudah eranya efisiensi dengan dukungan teknologi harus makin digencarkan. Artinya, sangatlah wajar jika layanan yang disediakan oleh bisnis transportasi online menjadi kampiun dalam persaingan di antara para penyedia jasa lainnya.
Zonasi Ojek Online
Pada akhirnya, pemerintah menerbitkan sebuah kebijakan yang ‘cukup berani’. Kebijakan tersebut berupa Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 dan turunannya, surat keputusan (SK) khusus tentang tarif jasa layanan transportasi online di Indonesia. Pemerintah membagi kelompok tarif dengan 3 zonasi, yaitu Jawa (kecuali Jabodetabek), Bali dan Sumatera, Jabodetabek, dan daerah lain.
Tidak tanggung-tanggung, keputusan tentang tarif yang mulai berlaku pada awal Mei 2019 itu mengatur sekaligus batas bawah (floor price) dan batas atas (ceiling price) harga layanan. Diskon atau potongan harga pun tidak bisa dengan leluasa lagi diberikan kepada pelanggan.
Hmmmm…. melihat skema ini, sejujurnya sebagai salah seorang di antara jutaan pengguna jasa transportasi online, saya sudah merasakan keberatan.
Saya pribadi sepertinya akan perlahan-lahan meninggalkan ketergantungan saya pada mereka. Sayonara lah tarif 2000 atau gratis untuk naik ojol jarak dekat untuk rute saya setiap pagi, karena dengan menggunakan rumus berdasarkan SK Kemenhub maka tarif untuk rute 3 kilometer tersebut akan menjadi 15.000. Wah, naik angkot saja cukup 4.000. Hihi…
Oke, mungkin berlebihan kalau hanya melihat kalkulasi saya sendiri. Bisa jadi, konsumen lain tidak akan keberatan dengan kenaikan harganya, apalagi driver ya. Sebab, kenaikan tarif ini salah satunya adalah jawaban untuk tuntutan mereka. Namun begitu, sebagai seorang pengamat ekonomi, saya menyesalkan tuntutan dan jawaban yang akhirnya direspon dengan kebijakan seperti ini.
Mengapa?
Sebab permintaan atas jasa transportasi online tidak bersifat inelastis, artinya dia bukan merupakan sesuatu kebutuhan yang pokok seperti halnya sembako. Perubahan harga pada level tertentu, mau tidak mau akan mengurangi jumlah permintaan konsumen secara signifikan. Kalau sudah begitu, saya yakin para penyedia jasa akan memilih tarif lebih murah asalkan lebih banyak orderan, karena total penghasilan tetap saja lebih banyak daripada ketika tarif dinaikkan dan sepi pelanggan.
Namun begitu, mengingat angka pasti nilai elastisitas ini belum dapat ditentukan, dan mempertimbangkan manfaat kebijakan tersebut bagi pihak lain (terutama penyedia angkutan umum lainnya), maka tak ada pilihan lain selain kita mencoba saja. Siapa tau, kehadiran bus-bus dan moda transportasi terpadu dengan tarif dan kualitas yang lebih baik akan mampu mengobati kekecewaan konsumen atas naiknya harga transportasi online.
Jadi, sekali lagi.
Biarkan waktu yang berbicara dan menguji, selentur apa elastisitas penawaran dan permintaan jasa transportasi online di Indonesia.
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.