Assalamu’alaykum pengamat ekonomi syariah!
Pernahkah kalian berfikir tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hampir selalu positif, GDP semakin besar setiap tahun, namun indeks kemiskinan dan kesenjangan kesejahteraan tidak banyak mengalami perbaikan?
Lalu setelah mengamati itu semua, terasa sebuah ganjalan, sebuah kegundahan yang berkata, “Sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, tidak bisakah rakyat sejahtera bersama-sama?”
Kalau pernah, mari lanjutkan membaca…
Apa itu Ekonomi Syariah
Seperti halnya trend kebebasan berekspresi di ranah publik yang semakin luas semenjak era reformasi tahun 1998, kebebasan menyuarakan prinsip dalam kehidupan beragama juga telah menjadi jauh lebih luas dalam dua puluh tahun terakhir ini. Contoh yang paling sederhananya adalah tentang bagaimana mudahnya wanita muslimah mengenakan pakaian yang lebih islami setelah era reformasi. Kemudian di bagian kehidupan yang lain, ada semangat menerapkan syariah yang dicoba diterapkan dalam perekonomian.
Euforia penerapan syariah dalam aspek keuangan tercermin dalam momentum pendirian bank syariah pertama di Indonesia pada tahun 1991, yakni bank Muamalat. Bank Muamalat terus berkembang dan mendapatkan tempat di hati para nasabah, makin dikukuhkan melalui disahkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dampaknya semakin banyak perbankan yang menawarkan jasa pengelolaan keuangan berbasis syariah yang tumbuh di Indonesia.
Bahkan kini, urusannya tidak hanya soal menabung dan meminjam, jasa keuangan syariah telah menjangkau asuransi dan investasi.
Kembali pada kegelisahan kita tentang dampak kehadiran syariah dalam perekonomian Indonesia. Seorang guru besar di padepokan saya, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yaitu Profesor Aris Ananta, pernah berpidato,
“Kita telah terbuai dengan sharia finance, yang kita bahas hanya tentang perbankan, saham, dan asuransi syariah, padahal sesungguhnya ekonomi islam jauh lebih luas daripada itu”.
Benar sekali, sepertinya ghiroh atau semangat bersyariah tidak bisa hanya berkisar di antara menghindari riba dan kawan-kawannya. Aspek finansial individu itu penting, tapi berbicara tentang kemanfaatan harta setiap perorangan bagi khalayak banyak juga merupakan sebuah isu yang jauh lebih penting. Kita harus ingat bahwa islam adalah agama yang mementingkan kemaslahatan bersama.
Lalu. . .
Seperti apa ekonomi syariah yang “sebenarnya”?
Pada dasarnya, ekonomi syariah bukanlah merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami, terlebih bagi kita yang telah belajar agama islam sejak dini. Ekonomi syariah adalah sistem ekonomi yang semestinya dianut orang Islam. Tentu saja sangat mungkin diadaptasi bagi penganut agama lain dengan berpedoman pada aturan Islam. Hal ini berarti bahwa aktivitas ekonomi didasarkan pada iman, islam, dan ihsan.
Iman atau tauhid mengajarkan tentang keyakinan bahwa segala sesuatu baik manusia maupun segala macam benda adalah milik Sang Maha Pencipta, tidak ada kepemilikan absolut dan selamanya oleh manusia.
Sementara islam lebih merujuk pada penggunaan dalil-dalil agama islam dalam menjalankan transaksi (sisi mikroekonomi), maupun dalam mengelola perekonomian bersama (sisi makroekonomi).
Selanjutnya ihsan menekankan pada nilai kebaikan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam segala bentuk kegiatan ekonomi. Dalam Islam, diimani adanya kehidupan akhirat (setelah mati) di mana segala urusan dipertanggungjawabkan, termasuk soal uang, harta benda, dan hubungan dengan sesama manusia.
Sejauh ini, dapat dikatakan bahwa dalam ekonomi syariah, tujuan ekonomi bukan lagi semata-mata profit maximization atau mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Lebih dari itu, ekonomi syariah merupakan perwujudan penerapan syariah islam dalam rangka menegakkan keadilan, kepedulian akan sesama manusia, dari sudut pandang ekonomi.
Maka kemudian beberapa ciri paling kentara dalam penerapan ekonomi syariah adalah tidak diperbolehkannya monopoli dalam penyediaan kebutuhan barang dan jasa, tidak diperkenankannya eksploitasi tenaga kerja, dan dihindarinya kesenjangan kekayaan antara si miskin dan sang kaya.
Ekonomi islam bukanlah sistem kapitalisme yang berorientasi pada profit sebesar-besarnya dan kebebasan hak milik seluas-luasnya oleh individu. Ekonomi islam juga bukan sistem ekonomi sosialis yang menghilangkan sama sekali kebebasan memiliki harta dan upaya menjadi kaya, karena semua orang harus merasakan tingkat kesejahteraan yang sama rata.
Akan tetapi, ekonomi islam memberikan kebebasan memiliki harta dan berkreasi, asalkan secara jujur dana amanah, namun mengingatkan adanya kewajiban untuk peduli pada sesama, menyerahkan sebagian harta dan mendistribusikannya kepada kaum papa. Charity ini bernama zakat, infaq, dan sedekah/wakaf.
Karena itu, menengok kembali penerapan ekonomi syariah di Indonesia berarti mengevaluasi kinerja zakat dan kawan-kawannya. Mari tengok sekilas grafik berikut:
Badan Amil Zakat Nasional melaporkan bahwa nilai total zakat, infaq dan sedekah (ZIS) yang dikelolanya selalu mengalami pertumbuhan selama tahun 2003 – 2016. Pertumbuhan nilai tahunan ZIS bahkan sempat mendekati 100% pada tahun 2005 ketika terjadi tsunami di Aceh, dan tahun 2007 saat terjadi gempa Jogja.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya orang Indonesia memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kondisi musibah yang dialami sesamanya. Beberapa penelitian persepsi juga membuktikan hal ini.
Dari grafik itu pula, tampak bahwa besaran ZIS tahun 2016 telah melebihi angka 5 Trilyun Rupiah. Secara nominal, angka ini cukup besar. Namun, jika dibandingkan dengan ukuran APBN pada tahun yang sama, hanya berkisar pada 0,5% saja. Padahal, para praktisi ekonomi syariah memperkiraan potensi zakat di Indonesia bisa mencapai setidaknya 25% dari APBN.
Catatannya, tentu saja apabila semua penduduk yang muslim dan cukup mampu bersedia membayar zakat atas hartanya (zakat maal) sebesar 2,5%.
Nyatanya lagi, total ZIS sebesar 5 Trilyun di atas hanya terkumpul dari sekitar 350 ribu orang pembayar zakat/infaq/sedekah. Padahal, jumlah penduduk muslim di Indonesia diperkirakan lebih dari 200 juta jiwa yang terbagi dalam 50 juta keluarga.
Seandainya sepertiga saja dari jumlah rumah tangga muslim itu mampu dan mau membayar zakat, maka jumlah total zakat diprediksi bisa mencapai 50 kali lipat nominal saat ini.
Statistik zakat 2016 juga menunjukkan bahwa 89% dari dana yang terkumpul disalurkan kepada fakir miskin. Artinya, ketika seorang muslim di Indonesia membayar zakat, ia juga telah turut andil mengurangi jumlah penduduk miskin dan membantu mempersempit kesenjangan ekonomi.
Selain itu, jangan lupa bahwa zakat tidak hanya produktif secara ekonomi, tetapi juga secara sosial. Dengan zakat, kita juga memperbaiki tatanan sosial yang berlaku di negara kita.
Finally,
Bagaimana dengan kalian hari ini,
sudah sedekah?
sudah zakat?
Semoga Tuhan yang Maha Kaya memperkaya materi dan hati kita semua.
Wassalamualaykum pengamat ekonomi syariah!
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.