Assalamualaykum pembaca setia!
Beberapa minggu terakhir ini kita sedang berduka karena musibah bencana alam beberapa kali melanda nusantara. Setelah Lombok, giliran Palu, Sigi dan Donggala di Provinsi Sulawesi Tengah. Kami mengucapkan turut berbela sungkawa atas musibah ini, sekaligus berdoa semoga rentetan musibah bencana alam seperti yang banyak “diramalkan” tidak akan melanda kota-kota lain di Indonesia. Meskipun begitu, kami sangat setuju bahwa masing-masing kita harus waspada, memahami prosedur menghadapi bencana, tetapi di sisi lain tidak mudah terpengaruh apalagi ikut serta menyebarkan informasi hoax yang akan memperkeruh suasana.
Oke, mari kita kembali membahas tentang ekonomi.
Kali ini, saya mau mencoba kasih ide tentang bagaimana recovery pasca gempa.
Ketika Anda ditanya, “Ada nggak sih, negara yang cukup tegar menghadapi bencana gempa?”
Saya yakin dalam benak Anda akan terbersit jawaban “Ada! Jepang”.
Benar sekali, Jepang dengan kondisi geografis kepulauan, yang meskipun tidak lebih luas dari Indonesia tetapi sama-sama rawan mengalami gempa. Beberapa gempa di Jepang bahkan diikuti dengan tsunami, sehingga dampak kerusakan tata kota dan korban jiwa menjadi lebih besar lagi.
Di antara sekian banyak gempa di Jepang, yang cukup memorable karena terekam oleh teknologi audiovisual adalah gempa bumi di Fukushima tahun 2016 dan 2011, serta gempa Kobe tahun 1995. Sementara di Indonesia, sebelum tragedi gempa yang memilukan tahun ini di Lombok dan Palu, gempa bumi dahsyat juga terjadi hampir setiap tahun.
Sebut saja Aceh tahun 2004, Nias tahun 2005, Jogja tahun 2006, Padang-Bengkulu tahun 2007, Sulawesi Utara tahun 2008, Tasikmalaya tahun 2009, dan Mentawai tahun 2010. Intinya, baik Indonesia maupun Jepang sama-sama rawan mengalami gempa bumi dan tsunami. Perbedaannya, terletak pada bagaimana kemampuan mitigasi dan secepat apa kita memulihkan diri atau recovery.
Kobe merupakan sebuah kota di perfektur Hyogo, pulau Honshu, diguncang gempa dahsyat pada 17 Januari 1995 jam 5.46 pagi hari. Dampak kerusakan gempa yang berkekuatan 7,2 Skala Richter itu adalah meninggalnya 6.433 orang penduduk kota Kobe yang sebagian besar tertimbun oleh reruntuhan 104.906 bangunan kota yang luluh lantak.
Tragisnya, gempa ini tercatat sebagai gempa dengan kerusakan terbesar ketiga di Jepang setelah gempa bumi Kanto tahun 1923 yang menewaskan 140.000 orang dan gempa Fukushima tahun 2011 yang menewaskan lebih dari 15.000 jiwa.
Adalah George Horwich, seorang peneliti dari Amerika Serikat yang menuliskan analisisnya tentang bagaimana Kobe memulihkan diri pasca gempa 1995 dalam paper berjudul “Lessons of the Kobe Earthquake”. Horwich menceritakan bahwa sebagai kota pelabuhan terbesar ke-5 dia Asia, kehancuran kota Kobe memberikan dampak negatif terhadap gross domestic product (GDP) Jepang pada tahun 1995. Bahkan, dalam skala regional, produktivitas ekonomi 12 kota lain di provinsi yang sama, Perfektur Hyogo juga mengalami penurunan drastis.
Namun hari ini, Kobe nampak jauh lebih tegar, seolah-olah tidak pernah mengalami kehancuran dahsyat akibat gempa. Kobe menjadi salah satu kota tujuan wisata yang diperhitungkan di negeri sakura, sekaligus terkenal sebagai kota penghasil daging sapi wagyu yang setiap potongan kecilnya dihargai ratusan ribu Rupiah di restoran steak Indonesia.
Mari mundur ke masa 1995-2000, beberapa tahun pasca gempa.
Apa yang dilakukan di Kobe?
Ada 3 fase utama dalam recovery di Kota Kobe pasca gempa.
Yang pertama, membangun kembali infrastruktur paling mendasar. Restorasi diawali dengan menata lagi infrastruktur dasar yang wajib dimiliki oleh sebuah kota, yaitu jaringan air bersih dan listrik. Restorasi ini membutuhkan waktu kurang dari satu tahun.
Kedua, restorasi infrastruktur lanjutan dan kegiatan ekonomi.
Pada fase ini, pemerintah bersama masyarakat membangun kembali rumah-rumah, jalan, dan rel kereta. Pada tahun kedua, sarana transportasi sudah bisa dimanfaatkan dan kegiatan ekonomi mulai berjalan. Toko-toko kecil pun mulai menghidupkan kembali perdagangan di kota ini.
Ketiga, fase pemulihan kehidupan sosial.
Apalah artinya kota dengan perumahan, gedung, dan fasilitas transportasi tanpa adanya manusia yang beraktivitas dan bersosialisasi? Fase ini yang menjadi langkah tersulit dalam recovery Kota Kobe. Selain kehilangan jiwa, dari ribuan jiwa populasi penduduk yang masih hidup, hanya separuh yang kembali ke kota Kobe. Sebagian besar dari mereka pun, sudah berada pada usia senja. Sebagaimana kita tahu, Jepang menghadapi masalah denganĀ ageing population.
Artinya, penduduk usia lanjut lebih banyak jumlahnya daripada yang produktif yang masih bekerja. Kendati demikian, secara umum Horwich menyimpulkan bahwa sumber daya manusia (SDM) adalah faktor utama pemulihan kembali Kota Kobe dalam hitungan beberapa tahun saja. SDM yang baik ini diwujudkan dalam bentuk ketegaran menyikapi kondisi, bertindak cepat melakukan perbaikan, bahu membahu memberikan bantuan, dan disiplin dalam mengambil dan menerapkan keputusan.
Kobe akhirnya pulih dalam 5 tahun kemudian. Defisit pertumbuhan ekonomi mulai terobati setelah 5 tahun berlalu. Bahkan, perlahan-lahan Kobe dan perfektur Hyogo kembali memberikan kontribusi untuk GDP nasional. Di sisi lain, tragedi gempa 1995 memberikan dampak jangka panjang ke perekonomian di seluruh negara Jepang. Dari gempa Kobe, pemerintah Jepang menyadari bahwa keadaan geografis mereka harus disikapi dengan adaptasi. Pemerintah harus menyusun suatu rencana jangka panjang untuk memitigasi dampak bencana alam di tahun-tahun yang akan datang. Masyarakat pun harus lebih siap menghadapi gempa dan tsunami yang setiap saat bisa terjadi.
Sedih sekali mengetahui bahwa berbagai peralatan early warning system di lokasi rawan bencana di Indonesia tidak berfungsi dengan baik saat bencana benar-benar terjadi. Alat-alat ini dianggap remeh bahkan dicuri, seperti diberitakan di berbagai lokasi yang telah terkena musibah. Belum lagi dibandingkan dengan Jepang, penduduk Indonesia jauh tertinggal soal kesadaran akan bahaya geografi yang dihadapi setiap saat. Saya sendiri menyadari bahwa saya belum paham cara menyelamatkan diri saat gempa dan kebakaran.
Dan memang saya belum pernah mengikuti sosialisasi wajib tentang hal ini. Sementara di Jepang, setiap penduduk sudah rutin berlatih tentang bagaimana tindakan yang harus dilakukan saat terjadi bencana, terutama gempa bumi dan kebakaran. Mempraktekkan prosedur penyelamatan diri dalam kondisi bahaya sudah dipraktekkan sejak TK. Saya rasa, yang semacam ini masih kurang tersosialisasi di Indonesia.
Maka. . .
Hidup dan mati memang di tangan Tuhan, tapi berusaha adalah kewajiban. Mudah-mudahan setelah ini, baik negara maupun masyarakat Indonesia akan lebih peduli, berhati-hati dan teredukasi. Panik soal berita ancaman gempa di Indonesia adalah sesuatu yang sah-sah saja. Namun, tidak mau belajar dan memperisapkan diri adalah sesuatu yang menyedihkan.
Akhir kata,
semoga Indonesia selalu aman sejahtera dan sentosa.
Mari tetap bahu membahu menanggulangi dampak bencana, dan jangan lupa, tetap waspada dan berfikir jernih menghadapi segala kondisi.
Pray for Lombok, Palu, Sigi, Donggala
Pray for Indonesia
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.