Assalamu’alaikum orang Indonesia!
Kalian pernah plesiran ke luar negeri? Dalam beberapa hari pertama berada di mancanegara, biasanya kita akan merasa kaget, atau jetlag. Persoalannya macam-macam, seperti kaget dengan suasana tata kotanya, bahasa, budaya, dan cuaca yang berbeda, hingga soal kebutuhan primer kita, yaitu makanan.
Suatu ketika, saya sedang di Swiss setelah menjalani backpacking selama beberapa hari di Eropa. Sebuah kejutan yang saya temui di sana adalah ketika menemukan nasi dan tempe. Rasanya luar biasa, benar-benar seperti mengobati kerinduan lidah akan masakan khas negeri kita.
Usut punya usut, tempe itu secara khusus dikirimkan ke Swiss dari Belanda. Di negeri ‘mantan’ penjajah Indonesia itu, memang banyak orang Indonesia, sehingga sangat wajar jika tempe diproduksi dan diperjualbelikan. Lucunya, rasa tempe tadi tidak senikmat tempe yang dijual di Jakarta, meskipun harganya sama mahal dengan daging.
Tempe, salah satu barang langka di Eropa.
Karena langka itu pula, sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, harganya pun melambung jauh di atas harga rata-rata tempe di Indonesia.
Maka, sekembalinya saya ke Indonesia, saya pun menyadari sebuah fakta I am crazy in love with tempe. Bagi saya, tempe itu luar biasa. Betapapun murah harganya tapi tak perlu diragukan lagi substansi gizinya.
Kalau dikasih duit yang mepet dan harus memilih antara ayam dan tempe goreng, sudah pasti saya pilih tempe. Keduanya sama-sama mengandung protein, tapi dalam tubuh tempe enggak ada kolesterol jahatnya. Alih-alih kolesterol dan lemak, tempe justru mengandung antioksidan yang memperlambat penuaan.
Harganya pun jauh lebih ramah di kantong. Maka tak heran, bagi para ibu rumah tangga kelas menengah ke bawah, eksistensi tempe di kulkas dan meja makan adalah sesuatu yang fardhu. Wajib!
Kalian tahu kan kalau tempe, sang bahan makanan khas Indonesia yang konon sudah menjadi menu para raja di Jawa sejak abad ke 16, terbuat dari kedelai?
Rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi setidaknya 7 kilogram tempe per orang per tahun. Coba kalikan 7kg dengan jumlah populasi sebanyak 250 juta. Wah, kebutuhan konsumsi tempe kita sebanyak 1,75 juta ton. Tidak heran kalau kebutuhan kedelai kita mencapai 2,5 juta ton per tahunnya. Dari keseluruhan kedelai itu, 70%-nya diolah menjadi tempe, 23%-nya tahu, dan 7%-nya menjadi kecap serta olahan lainnya. Indonesia memang diakui sebagai produsen terbesar tempe di seluruh dunia, di mana tentu saja, mayoritas konsumennya adalah orang Indonesia sendiri.
Kedelai Dalam Negeri Sulit Bersaing
Sayangnya, 70% kedelai yang menjadi bahan baku tempe dan kawan-kawannya, justru berasal dari luar negeri. Mayoritas kedelai kita diimpor dari Amerika.
Sebenarnya, pabrikan tempe mengakui bahwa kualitas kedelai dalam negeri tidak kalah dengan kedelai impor. Kadangkala, kedelai lokal bahkan lebih bagus mutunya karena kulit kedelai yang lebih tipis lebih memudahkan proses pengolahan atau fermentasi.
Yang menjadi masalah adalah mekanisme pertanian kedelai di lahan-lahan petani kita belum cukup mampu untuk menggenjot biaya produksi kedelai layaknya pertanian kedelai di Amerika. Memanfaatkan teknologi dalam pertanian untuk mencapai efisiensi produksi masih jauh panggang dari api. Mau tidak mau, harga kedelai produksi sendiri menjadi kalah bersaing dengan rivalnya dari mancanegara.
Selain soal harga, masalah selanjutnya adalah soal kuantitas. Kemampuan produksi kedelai untuk memenuhi permintaan dalam negeri masih jauh dari cukup. Sejak bertahun-tahun yang lalu pun pemerintah sudah mencanangkan program perluasan lahan kedelai di beberapa daerah. Harapannya, untuk menggenjot produksi kedelai dalam negeri.
Sayangnya, upaya ini belum cukup efektif. Kenaikan produktivitas kedelai domestik belum mampu mengejar akselerasi kebutuhan kedelai untuk konsumsi dalam negeri. Pengrajin tempe pun tak punya pilihan selain membeli kedelai dari importir.
Berdasarkan kajian yang dilakukan peneliti Kementerian Pertanian bernama Rizma Aldillah, ternyata baik produksi maupun konsumsi kedelai domestik terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sejak 2013 sampai dengan 2020. Pada tahun 2013, kebutuhan kedelai untuk konsumsi dalam negeri mencapai 2,5 juta ton. Setiap tahun diperkirakan adanya peningkatan, sehingga diperkirakan pada 2020 kebutuhan kedelai akan naik lagi menjadi 3 juta ton.
Kenaikan kebutuhan konsumen akan kedelai adalah sesuatu yang sangat wajar sebab masyarakat Indonesia seperti saya memang addicted terhadap produk kedelai, terutama tempe. Sejalan dengan jumlah penduduk Indonesia yang semakin banyak, maka kebutuhan konsumsi pangan, termasuk di antaranya kedelai pun meningkat.
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, kebutuhan protein yang dicukupi dengan produk hewani seperti telur dan daging, mensyaratkan kemampuan belanja lebih tinggi. Oleh karena itu, keberadaan produk olahan kedelai yang mengandung protein nabati, menjadi semakin mantap sebagai substitusi dari komoditas protein hewani.
Sementara itu, produksi kedelai dalam negeri masih terjebak dalam kondisi defisit. Dalam penelitian Rizma Aldillah digambarkan kisaran kemampuan produksi kedelai dalam negeri pada tahun 2013 hanya sebesar 1 juta ton. Meskipun terjadi pertumbuhan secara kontinyu hingga tahun 2020 menjadi sekitar 1,5 juta ton, namun pertumbuhan produksi kedelai dalam negeri belum mampu berakselerasi secara lebih tajam untuk memotong garis tren kebutuhan konsumsi.
Artinya, defisit kedelai diperkirakan terus terjadi. Antara tren kebutuhan dan pasokan berjalan sejajar, sulit untuk berpotongan. Untuk menutupinya, hanya ada dua cara yaitu menaikkan tren produksi atau menurunkan tren konsumsi. Menurunkan tren konsumsi artinya mengurangi permintaan terhadap produk olahan kedelai. Sedangkan menggenjot tren produksi artinya lebih masif lagi mendorong produksi kedelai dalam negeri. Mana yang lebih mudah? Saya rasa keduanya sama-sama susah, tapi harus diusahakan.
Depresiasi Rupiah Menaikkan Harga Kedelai
Awal September 2018, stabilitas sosial dan politik Indonesia diguncang dengan persoalan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika. Dalam beberapa bulan terakhir ini, Rupiah terus melemah. Para importir kedelai dan pengusaha tempe mulai kelabakan karena khawatir kesulitan mendapatkan bahan baku kedelai untuk produksi tempe. Kalaupun dapat, harganya makin mahal karena memang ongkos impor makin besar. Kenaikan harga kedelai impor sebagai bahan baku industri tempe, mau tidak mau memaksa produsennya menaikkan harga demi menjamin usaha tempe tidak bubar alias gulung tikar.
Yang terdampak selanjutnya, pastinya kita sebagai konsumen. Apalagi kalo sudah addicted sama tempe seperti saya, sebisa mungkin tempe harus ada, berapapun harganya. See, ternyata soal kurs rupiah yang terdepresiasi terhadap dolar bukan lagi soal urusan indikator makroekonomi yang bikin pusing para pengambil kebijakan di ibukota Jakarta. Lebih dari itu, nilai tukar rupiah mempengaruhi kemampuan para ibu rumah tangga berbelanja dan menjaga berbagai jenis makanan bergizi tetap tersedia bagi keluarga.
Fenomena ini menyadarkan kita kembali bahwa ternyata konsumsi kita sungguh tergantung pada impor. Selama dolar Amerika masih menjadi global currency, tak kuasa kita menolak fakta bahwa lemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar berlaku kontraproduktif bagi daya beli dan konsumsi. Tentu saja saya turut berharap bahwa dinamika pasar uang dunia akan segera stabil dan memberikan angin segar bagi Indonesia. Tak satupun dari kita berharap depresiasi Rupiah terus berlangsung, apalagi menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi seperti 20 tahun yang lalu.
Banyak ekonom yang berpendapat, untuk menyelamatkan Rupiah, kita harus mengurangi konsumsi produk impor dan mengoptimalkan produksi dalam negeri. Sedangkan tempe adalah produk olahan kedelai yang mayoritas diperoleh dengan impor. Sembari menunggu ‘keajaiban’ bisa meningkat tajamnya produksi kedelai lokal, saat ini pilihan terbaik sepertinya adalah dengan menurunkan tingkat konsumsi. Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya, sanggupkah kita mengurangi konsumsi tempe mulai hari ini?
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.