diskartes.com – Assalamualaykum para pengguna jalan!
Sejarah menorehkan nama Herman William Daendels dalam masa kelam perjuangan Bangsa Indonesia, sebagai tokoh yang bengis dan bertangan besi. Kala itu dia mengorbankan lebih dari sepuluh ribu pribumi untuk menuntaskan sebuah proyek monumental, yaitu jalan modern pertama di Indonesia yang membentang dari Anyer hingga Panarukan.
Terkenal dengan sebutan Jalan Raya Pos, proses pengerjaannya hanya memakan waktu satu tahun. Padahal teknologi belum semaju sekarang, itulah kenapa jalan ini sangat fenomenal di telinga orang-orang seluruh dunia.
Ya! Anda sedang tidak bermimpi, sebagian jalan karya Daendels yang saat ini menjadi jalur Pantura berasal dari darah para pendahulu.
Belum ada saat itu rezim pungli di setiap proyek pembangunan, pembebasan lahan pun masalah sepele bagi pemerintah Hindia-Belanda. Siapa saja yang menentang proyek prestisius ini bisa dipastikan terkena hukuman mati.
Waktu berlalu dan tentu saja jalan sebagai penghubung wilayah berperan vital dalam pembangunan negeri ini. Bung Karno sangat paham akan kondisi tersebut, dengan semangat untuk membuat Indonesia dipandang sebagai macan di kawasan, maka dengan segera diresmikanlah jalan tol pertama pada tahun 1973.
Tahukah Anda dimana jalan tol pertama di Indonesia?
Orang ibukota pasti sering lewat, itu adalah jalan tol Jagorawi. Mau tahu diambil dari mana asal kata “Jagorawi”? Sebenarnya nama tersebut merupakan paduan dari kata “Ja” untuk Jakarta, “Gor” untuk Bogor, dan “Wi” untuk Ciawi.
Pembangunan Jalan Belum Merata di Seluruh Indonesia
Pada sebuah kesempatan saya menyempatkan diri untuk main ke Aceh Tenggara dalam rangka keperluan kantor. Setelah landing di Medan, perjalanan dilanjutkan melalui jalur darat ke Kutacane, Aceh Tenggara.
Beberapa ruas jalannya cukup bagus, sayangnya jauh lebih banyak yang rusak parah. Memang lebar sih jalannya, namun sudah bukan berupa aspal mulus lagi tetapi berubah bentuk menjadi kerikil-kerikil kecil. Waktu yang harus ditempuh otomatis memakan waktu lebih banyak, dibandingkan jika jalannya mulus seperti area Thamrin Jakarta.
Ada juga cerita menarik dari kawasan Sulawesi bagian tengah. Jika Anda pernah kesana, tentu tidak asing dengan ciri khas jalannya yang berkelok kelok mengitari bukit. Jalanannya bisa dibilang halus, namun kelokan yang terlampau banyak membuat waktu tempuh juga menjadi lebih lama.
Sebenarnya ada ide yang mengesankan dari pemerintah setempat, yaitu dengan memangkas beberapa ruas jalan sehingga tidak perlu memutar, tetapi menerobos bukit atau hutan misalnya. Semoga saja ide tersebut dapat segera terealisasikan, mengingat pelaksanaannya tentu akan membutuhkan koordinasi masif antar instansi dan warga sekitar.
Sering dong ya kita dengar keluhan seperti,
“Aduh, ini pemerintah kerjaannya ngapain aja sih. Jalan kok sempit-sempit, mana belum diaspal lagi”
Pemerintah memang yang paling berandil besar terhadap kondisi tersebut, tapi jangan lupakan juga bahwa ternyata peran masyarakat tidak kalah penting. Dalam bentuk apa?
Bisa dalam bentuk mendukung keamanan ketika proyek pengerjaan jalan dilakukan, atau kooperatif ketika terjadi pembebasan lahan. Semua memang bisa dinegosiasikan, tapi jangan egois dan memperhatikan kepentingan individu semata.
Trend pembangunan jalan pun terus meningkat, jika sebelum reformasi tercatat jalan yang belum diaspal lebih banyak daripada yang telah diaspal, ternyata kini sudah berubah.
Dari data paling mutakhir yang diambil dari BPS, ternyata jalan yang diaspal untuk seluruh wilayah Indonesia totalnya sepanjang 295.968 kilometer. Jauh lebih panjang dibandingkan ruas jalan yang belum terkena aspal yaitu 221.695 kilometer.
Namun demikian kondisi ini wajib menjadi perhatian, agar kondisinya merata di seluruh Indonesia. Coba deh kita terjun ke lapangan, kenyataannya jalan yang masih jauh dari layak terkumpul di bagian timur Indonesia, yaitu di daerah Papua dan Papua Barat. Bisa dibilang ketidaklayakan jalan inilah yang menjadi biang keladi tingginya harga barang di kawasan bumi cendrawasih.
Jalan Menuju Perdesaan
Nah sekarang kita ngomongin kondisi jalan di desa-desa. Sebenarnya siapa sih yang bertanggung jawab dengan pembangunan di desa?
Dari informasi yang diambil dari Kementerian Pekerjaan Umum, pembinaannya sebenarnya ada di tangan Bupati. Tapi sekarang dengan adanya dana desa yang dikucurkan pemerintah dari APBN, maka Kepala Desa diperbolehkan mengajukan anggaran yang dimuat dalam APBDes untuk membangun jalan di perdesaan.
Meski penuh dengan pro kontra, efek positifnya cukup kerasa. Di beberapa daerah di Jawa, sebut saja Lumajang, jalan menuju kampung-kampung terdalam sudah diperbaiki dengan paving blok.
Jelas belum merata, karena dana desa baru memasuki tahun kedua. Kepala desa di seluruh Indonesia pun masih belajar cara menggunakannya, tercatat masih banyak dari mereka yang ragu-ragu mengambil keputusan karena takut salah langkah. Padahal pada prinsipnya sepanjang dana desa digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, sangat diperbolehkan bahkan didukung.
Solusi Masalah Infrastruktur Jalan
1. Sumber Daya Manusia
Apabila kita ngomongin masalah infrastruktur jalan yang sangat klasik ini, maka yang pertama disentuh tidak akan jauh-jauh dari manusianya. Bukan hanya perbaikan dari sisi aparat yang memang mutlak dilakukan, tetapi juga dari warga sekitar.
Sebagai contoh ketika ada pembukaan ruas jalan di “Kabupaten X”, sangat tidak elok jika tiba-tiba dateng ke lokasi, nawar harga, terus bangun jalan. Bisa-bisa kontraktornya terkena amuk warga.
Pemerintah wajib turun hingga ke lapisan masyarakat paling dasar, beri mereka pengertian apa manfaat yang diperoleh jika jalan itu dibangun. Misalnya, bisa menambah penghasilan warga karena dapat berjualan, dan lain sebagainya.
2. Efisiensi Peraturan
Sudah tau dong ya, untuk mengatur lebih dari 250 juta jiwa di 17 ribuan kepulauan di Indonesia, pemerintah bikin banyak banget peraturan. Terdapat puluhan ribu peraturan di berbagai bidang, dan tentu saja ada yang khusus infrastruktur jalan.
Lagi-lagi akan ketemu masalah yang mirip-mirip, yaitu terlalu banyak peraturan yang membuat masyarakat mengeluh. Ditambah untuk urusan jalan pasti akan bertemu dengan hukum adat setempat.
Disinilah sosialisasi dan efisiensi peraturan menjadi sangat penting. Seandainya pemerintah pusat sudah mengatur mengenai Juknis (petunjuk teknis) dan tidak mensyaratkan pemerintah daerah untuk membuatnya, maka seyogianya tidak usah menambah aturannya. Bahkan kalau bisa, peraturan-peraturan yang mirip bisa dikelompokkan menjadi satu rumpun.
3. Feasibility Study yang Fleksibel
Saya ingat ketika menghadiri seminar bersama ekonom Burhanudin Abdullah, beliau bilang
“Tidak semua lokasi bisa menggunakan feasibility study ketika membangun jalan. Kalau itu dilakukan, kasian daerah-daerah yang tidak feasible”
Sedikit banyak saya setuju dengan beliau, karena pada kenyataannya konsep feasibility study akan susah diterapkan di daerah terpencil. Katakanlah di wilayah papua yang saat ini nilai ekonominya rendah. Jika menggunakan feasibility study, ada kemungkinan pembangunan jalan akan mangkrak karena tidak feasible.
Ingat bahwa yang paling utama adalah terpenuhinya pelayanan publik. Sepanjang itu terpenuhi, maka pembangunan di tempat yang tidak feasible secara ekonomi pun seharusnya tidak masalah.
Nampaknya itu tema kita kali ini, semoga beberapa tahun ke depan ruas jalan bisa masuk ke semua daerah di Indonesia.
Wassalamualaykum pengguna jalan!
Artikel ini diikutkan dalam lomba blog yang bertema “Memotret Pembangunan Indonesia”
Ranny mengatakan
Kereeeeen!!
Serius baru tau tol pertama itu Jagorawi dan gak bisa dipungkiri memang jalan-jalan desa masih banyak belum rapi. Sedangkan di kota aja nih mas, di tempatku (Solo), banyak lubang. Baru ditambal nanti mendekati musim liburan. 🙁
Infografisnya mantap!
Semoga menang yaaa…
diskartes mengatakan
Terima kasih mba Ranny..
Amin, lagi seneng-senengnya lomba nih..hehe
Ikut yuuk
Ariesusduabelas mengatakan
BTW, rumah simbah saya di daerah deket bandara Adi Soemarmo kena tol. Uangnya boleh tuh. Untung gak di jaman Daendels.
diskartes mengatakan
Alhamdulillah,, uangnya pasti mantap Mas..
Diinvestasikan, biar makin jaya..
Salam
rana mengatakan
wah..selamat Om, jadi seken winner (y) postingnya keren uyyy
diskartes mengatakan
Terima kasih Rana untuk apresiasinya
Mustafa Zain mengatakan
Selamat ya Mas atas Juara II “Memotret Pembangunan Indonesia”.
Artikelnya keren 🙂
diskartes mengatakan
Wah terima kasih Mas Mustafa untuk apresiasinya..hehe
Farida Yulistiana mengatakan
Yeay! Alhamdulillah menang ya kak, selamaaaaat….tulisannya sangat mengedukasi hihi aku juga baru tau tol pertama itu Jagorawi plus singkatannya
diskartes mengatakan
Iya Alhamdulillah..
Hehe, makasih ya buat apresiasinya, semoga bermanfaat.
Adhi Kurniawan mengatakan
Isitmewaaaaa gan..
selamat untuk pencapaiannya
siap-siap menjadi dewan redaksi Defis tahun depan..hahahahahha
diskartes mengatakan
Walah,, aku belum selevel bro masuk Defis..hahahah
trims ya
Jumanto mengatakan
Tulisannya keren, pantas juara. Salut
diskartes mengatakan
Terimakasih Mas Jumanto
Debbi Rahmita mengatakan
Keren tulisannya tes…
berisi dan menambah pengetahuan…
sering nebak2 kepanjangan jagorawi ternyata beneran awinya ciawi…
diskartes mengatakan
Iya..emang itu kepanjangannya
hehehe, terima kasih ya Debbi
Endang zainatun mengatakan
Wooww….bakat terpendam disalurkan dlm tulisan segarmu, selamat ya kartes. Ditunggu tulisan yg lain
diskartes mengatakan
Terima kasih Bu Endang buat apresiasinya..hahaha
Timo mengatakan
Tulisannya juwaraaakkk …
diskartes mengatakan
Yihaa…thanks bro Timo
Cupay mengatakan
ini toh tulisan yg “fenomenal” itu….
selamat ya Sen…. terus berkarya, terus obyektif. tulisan positif semoga berdampak baik senantiasa…..
diskartes mengatakan
Cupaaaayy…
Fenomenal? Wkwkwkw
Eh..makasih ya.. Hehhe