• BLOG
  • Buku
  • Podcast
  • Video
  • Testimonials
  • Data

Diskartes - Blog Investasi dan Ekonomi

Blog Perencanaan Keuangan, Investasi Saham, Cryptocurrency, dan Ekonomi.

  • Ekonomi
  • Saham
  • Blockchain
  • Perencanaan Keuangan
  • Fintech
  • Bisnis
Anda di sini: Beranda / Ekonomi / Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan, dan Koefisien Gini

Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan, dan Koefisien Gini

Maret 12, 2017 By diskartes

koefisien ginidiskartes.com – Assalamualaykum para WNI!

Beberapa kali saya mendengar kutipan yang bilang bahwa Indonesia masih sangat kurang pengusaha muda, dibawah 4% mereka bilang. Selain itu, golongan investor di bursa pun masih di angka nol koma sekian persen.

Tetapi ketika merenung, kemudian dikaitkan dengan kemiskinan yang ada di Indonesia. Maka pertanyaannya berkembang menjadi,

“Apa benar enterpreneur dan pemilik modal raksasa adalah solusi dari pemerataan kekayaan di Indonesia?”

Setuju banget dengan pemikiran enterpreneur akan membuka lapangan kerja, dari lapangan kerja tadi maka konsumsi meningkat. Sudah jadi rumus umum dan baku.

Tetapi ingatkah ketika kita menjadi enterpreneur dan membuka lowongan pekerjaan, ada requirement atau syarat minimum yang pasti ditetapkan. Contohnya pendidikan minimum, pengalaman, dan lainnya. Ada pula pengusaha yang mempersilakan semua orang bekerja di tempatnya, sepanjang memiliki semangat. Tapi tidak banyak pengusaha mengambil sikap seperti itu, they afraid of risk.

Apakah salah? Jelas tidak, pengusaha jelas lebih mulia dibanding saya yang pengangguran dan tiap hari kerjanya cuma melototin video cewek seksi.

Berbeda dengan pakar dan tokoh yang sudah diakui, kedangkalan fikiran saya menangkap bahwa akar problem pemerataan kemiskinan adalah konsep berpikir. Bicara tentang konsep, bisa didapat melalui pendidikan, entah itu pendidikan formal, pendidikan alam, bahkan sampai ilmu cara bertahan hidup.

Regulator Beraksi

Pemerintah yang tugasnya memang ngatur, sudah mewajibkan lewat Undang-Undang Dasar untuk mengalokasikan 20% anggaran pendidikan dari APBN! Itu GEDE BANGEEETTT. Tahun 2017 sendiri dana yang disiapkan untuk pendidikan 416 Trilyun, hampir 7 kali dana desa.

Idealnya sudah tidak ada problem dengan alasan uang lho ya dalam pelaksanaan program pendidikan, karena 20% itu seharusnya mencukupi. Lha kesehatan aja cuma dapat 5% kok.

Baca Juga  Kebijakan Fiskal, Strategi Mengelola Dompet Negara

Tapi namanya pekerjaan, ada aja problemnya. Ngomongin penggunaan uang saja terkadang menimbulkan masalah, mulai dari bagaimana cara mengelola segitu besar uangnya, sampai ke pertanggungjawabannya. Well, intinya sebenarnya sepanjang ada program yang bagus, dana pendidikan pasti ada.

Kali ini kita nggak akan ngomongin teknis ya teman-teman, karena petunjuk teknisnya kan pasti sudah digodok rame-rame sama pemerintah. Ngobrol yang ringan aja, tentang konsep. Beberapa kali saya ditugaskan ke daerah terpencil dan jauh dari ibukota, curhatan dari pemerintah daerahnya rata-rata mirip.

“Kakak Kartes yang tampan, susah mendapat pengajar disini apalagi yang muda. Rata-rata memilih untuk bekerja di perkotaan yang lebih ramai.”

Bahkan ketika organisasi pendidikan saya melakukan survei Baksos di Bogor, masih ada SD yang minim guru. Itu fakta lhoh, bukan drama.

Insentif daerah khusus memang ada, namun nampaknya ada “sesuatu” yang harus dipelajari bangsa ini untuk menarik minat pengajar muda bertahan di kawasan tertentu. Sudah bukan jamannya lagi paksaan seperti penugasan, kasihan pengajarnya juga.

Saya berfikir, mungkin ga sih kalau misalnya Institusi setempat membuat sebuah pertanyaan atau penawaran seperti ini:

“Mas/Mbak, apa yang Anda minta agar bersedia mengajar di Desa XXX?”

Pertanyaan seperti itu bentuk pujian yang luar biasa bagi PNS, bakal bikin fly setinggi langit.

Coba pembaca yang jadi guru, apabila terbiasa di keramaian kota, tentu ogah pastinya ditugaskan di daerah terpencil. Saya aja jadi mikir-mikir kalau seandainya dipindahkan ke tempat yang jauh dari mall.

Kemarin saya ditemui tamu dari salah satu kabupaten di Papua Barat, dia cerita bahwa selain dana dari pusat, mereka menyiapkan dana dari APBD untuk memberi tambahan bagi para staff yang bekerja di daerah terpencil. Sepanjang aturannya jelas, menurut saya sih bagus lhoh.

Baca Juga  SMI Effects vs Trump Effects

Pemerataan Kekayaan dan Koefisien Gini

Kalau nyari di google lebih umum dikenal “pemerataan kemiskinan”, kayaknya terlalu negatif ya. Makanya sub judulnya diganti dengan pemerataan kekayaan, ada yang kekayaannya banyak, ada yang kekayaannya amat sangat terbatas.

Ketika kita ngomongin pemerataan, dalam ilmu statistik ada istilah “koefisien gini”. Enggak perlu belajar cara ngitungnya, nanti rambut Anda gondrong seperti saya. Intinya ni koefisien adalah suatu skala dengan ukuran antara 0 sampai 1. Kalau mendekati 0, maka pemerataannya bagus, nah sebaliknya jika mendekati 1 berarti tidak merata.

Gampang kan?

Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat koefisien gini bisa dibilang masih dalam tahap terkontrol mulai dari 0,35 untuk yang paling rendah di tahun 2007 hingga 0,41 di posisi tertinggi selama 3 tahun berturut-turut pada tahun 2011-2014.

koefisien gini

Meski terlihat semakin tidak merata, nampaknya hal ini disebabkan semakin banyaknya orang Indonesia yang naik kelas menjadi Orang Kaya Baroe. Well, Anda bisa lihat di sebagian mall besar ibukota, kalangan menengah atas sudah semakin berjibun dan nongkrong di kafe-kafe elit.

Kenaikan golongan ini, ternyata belum berdampak sistemik terhadap kelas yang berada jauh dibawahnya. Maka terjadilah ketidakmerataan.

Kondisi yang berlainan bisa saja terjadi untuk ketidakmerataan kekayaan di daerah terpencil, karena cenderung stagnan dan tidak bertumbuh. Daerah tersebut akan tertinggal dengan ibukota provinsi yang berpotensi untuk merangkak naik, then unequality happen.

Ketidakmerataan, Siapa Yang Salah? Apakah Zero Sum Game?

Ketidakmerataan sangat ilmiah di dunia kita ini, ada ganteng dan jelek, ada kaya dan miskin. Kesenjangan pasti akan selalu terjadi, so saya yakin “tidak ada yang salah” dengan ketidakmerataan kekayaan.

Demikian pula terhadap sebagian orang yang berfikir bahwa bisnis atau ekonomi sebagai “zero sum game”. Well, pada kenyataannya saya justru melihat bahwa bisnis adalah semacam simbiosis. Orang beli mie instan, si pembayar bisa makan mie dan pemilik pabrik dapat uang. Tidak ada yang dirugikan. So, I said no too!

Baca Juga  Setelah Pandemi Berakhir: Akan Seperti Apakah Kondisi Ekonomi Kita?

Ini lebih dari sekedar angka, jika memang mau mengurangi kesenjangan kekayaan di Indonesia, maka mulai dari lingkungan sekitar. Bagaimana gaya hidup Anda, apakah bertoleransi terhadap dunia di sekeliling Anda. Jika tidak mau peduli, berhenti bicara tentang pemerataan kakayaan! Jangan seperti pejabat yang ituuu. . .

Wassalamualaykum para WNI!

Ditempatkan di bawah: Ekonomi Ditag dengan:APBD, penyerapan anggaran

Related Posts

  • Ah Cuma Penyerapan Anggaran, Enggak Penting!
  • SMI Effects vs Trump Effects
  • Merajut Infrastruktur Jalan, Rangkaian Yang Tak Putus Dari Pusat Ke Desa
  • Selamat! Anda Menjadi Gubernur DKI Jakarta Yang Super Makmur
  • Risk Attitude Menghadapi Ketidakpastian Akibat Isu Resesi 2023

Komentar

  1. Gara mengatakan

    Maret 12, 2017 pada 11:55 AM

    Jadi apa guru perlu disuruh tanda tangan surat “siap ditempatkan di mana saja di seluruh Indonesia” supaya pendidikan bisa merata, Kak? Hihi. Kita (kita?) saja tanda tangan surat bermaterai itu… jadi mestinya guru juga bisa dong (terus lupa kalau “penugasan” sudah disebut di tulisan tadi, hehe).
    Habis, agak aneh melihat banyak lulusan FKIP akhirnya jadi pengangguran sedangkan di sisi lain dijelaskan kalau jumlah guru masih kurang banget. Kalau menurut saya bisa juga sih dengan penempatan pegawai di daerah itu menggerakkan ekonomi… mereka kan akan belanja di sana, jadi uang penghasilan mereka juga didistribusikan ke sana.
    (Meskipun saya ngomongnya begitu, saya tentu juga akan uring-uringan jika mendadak mendapat SK mutasi ke satu wilayah terpencil di pelosok negeri. Iya saya (masih) munafik, haha).

    • diskartes mengatakan

      Maret 13, 2017 pada 9:35 AM

      Wakaka,,

      Itulah sudah ada hal yang missed dari awal di kita Gar. Semuanya karena tugas, padahal tugas=terpaksa.Coba kalo lulusan FKIP nya itu memang berasal dari tempat yang jauh, tentu mereka ga akan keberatan. Atau lulusan FKIP nya dikasih bonus kayak insinyur.

      20% dana pendidikan bisa saja untuk insentif, bukan langsung masuk ke komponen gaji (tentu gaji se Indonesia sudah dinaikkan pula agar layak). Memainkan psikologis “bonus”.

      Pada akhirnya memang yang menggerakan ekonomi ya pemerintah sendiri.. How they drive the economy depends on how they spend money

  2. nia nastiti mengatakan

    Maret 13, 2017 pada 12:23 AM

    Pejabat yang itu ya. Hm. Btw my heart hurt while talking about penggunaan anggaran… Hiks, anaknya baperaan ttg ini.

    • diskartes mengatakan

      Maret 13, 2017 pada 9:24 AM

      hahaha..kenapa Niaa… legowo ah,, biar agak sante hidupnya

  3. Adelina Tampubolon mengatakan

    Maret 14, 2017 pada 4:12 PM

    berat euyy bahasannya.

    mengenai guru mengajar ke pedesaan kayaknya itu mesti ada panggilan hidup kali yach Dhika. karena kalau hanya penugasan kayak program yang ada paling bertahan cuma setahun doang.Hanya membuat penugasan menjadi panggilan hidup itu yang jadi PR bersama.

    • diskartes mengatakan

      Maret 15, 2017 pada 2:56 PM

      kapan sih lo ringan Del?

      Hahaha

      Well, sebenarnya kalau penugasan disertai duit yang gede sih menurut gw bakal banyak yang mau..

  4. Humaidi mengatakan

    Maret 15, 2017 pada 10:56 AM

    Kenapa semua orang tidak bisa kaya ya ?apakah kerna masalah modal kemampuan ?
    Apakah karna orang tua dulu punya pendidikan yang rendah ?
    Terima kasih

    • diskartes mengatakan

      Maret 15, 2017 pada 2:58 PM

      Pada saat yang sama, tidak akan mungkin bisa. Sudah hukum alam
      Cara terbaik adalah mengurangi kesenjangannya.

      Well, jangan salah. Orang dulu justru kadang lebih bijak dalam berinvestasi, sering ngalahin para sarjana malah.

  5. evrinasp mengatakan

    Maret 25, 2017 pada 12:49 PM

    beraaat berattt, kalau misalnya mengangkat anak-anak daerah gimana? kalau di bidan ada tuh lulusan anak daerah yang disekolahkan oleh pemdanya ke kota biar pinter, setelah lulus jadi balik ke daerah dan mau kerja di tempat yang jauh dari keramaian, adik ipar ku gitu soalnya, kerja di kampuang nan jauh di sana,

    • diskartes mengatakan

      Maret 25, 2017 pada 4:28 PM

      Berat badan mba?
      Hahaha

      Sebenarnya di beberapa instansi juga gitu sih..Disekolahkan ke tempat yang lebih maju, terus nanti disuruh kembali ke kampung halaman.

  • Instagram
  • LinkedIn
  • Twitter
  • YouTube

Podcast Diskartes

Buku Investasi (Katanya…)

buku saham terbaik

Copyright © 2025 diskartes