Pernah dengar tentang laissez faire? Meskipun terdengar sangat “classy”, tapi sebenarnya hal ini bisa dipahami secara simpel.
Yap, obrolan kita kali ini agak aneh, mengenai pemikiran seorang Adam Smith yang dijuluki sebagai Bapak Ekonomi kelahiran tiga abad lampau. Bukunya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” bisa dianggap sebagai kitab suci mahasiswi-mahasiswi cantik di Fakultas Ekonomi. Saya sih yakin mahasiswa begajulan ga akan pegang, membaca selembar pun bisa dianggap mukjizat. Ni kitab tebalnya lebih dari satu rim! Tapi ternyata tetiba muncul di benak terkecil saya.
Masih relevankah pemikiran teori klasik Adam Smith di era sekarang?
Bervariasi! Beberapa tentu masih relevan, sementara beberapa sudah usang, karena memang tidak berlaku di NKRI. Kita tidak akan mengevaluasi 100%, biarlah profesor-profesor ekonomi kenamaan yang melakukannya. Pembahasannya cukup seputar poin-poin yang menurut saya penting. Enjoy it!
Apa itu laissez faire?
Well, ada baiknya kita mulai dari sejarah yang kemudian bisa menggambarkan dengan jelas mengenai pengertiannya dulu, karena pembaca blog ini barangkali banyak yang awam dengan ekonomi.
Sejarah Laissez Faire
Istilah laissez faire dalam konteks ekonomi ini muncul pertama kali tahun 1681, saat Jean Baptiste Colbert, menteri keuangan Prancis saat itu, bertemu dengan Le Gendre, seorang pengusaha ternama. Saat Jean Baptiste Colbert bertanya tentang bagaimana pemerintah bisa membantu para pelaku bisnis agar semakin berdaya di negaranya, Le Gendre menjawab, “Leissez-nous faire.”—yang artinya, “Biarkan saja.”
So, dalam perkembangannya sekarang, laissez faire dikenal sebagai doktrin ekonomi yang mengkritisi setiap intervensi yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara dalam setiap urusan bisnis yang terjadi di dalam negeri. Doktrin ini berkembang di abad ke-18.
Mereka yang menganut paham laissez faire menentang campur tangan pemerintah dalam segala urusan bisnis dan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat di negara yang bersangkutan. Mereka percaya, bahwa semakin kecil peran pemerintah dalam perputaran roda ekonomi, maka akan semakin baik pula pertumbuhan bisnis negara tersebut, yang kemudian berefek baik pula untuk masyarakat secara keseluruhan. Bahwa setiap orang yang mampu mengejar tujuan dengan caranya sendiri, bisa jadi berpeluang lebih besar untuk mendapatkan hasil terbaik. Tak hanya hasil untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat di mana ia menjadi salah satu bagiannya.
Faktanya, doktrin ini merupakan kunci dalam teori kapitalisme pasar bebas.
Lalu, apa fungsi negara dalam teori laissez faire ini? Negara bertugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban di dalam negeri agar kemudian menciptakan suasana kondusif yang menguntungkan bagi para pelaku ekonomi dan bisnis. Pemerintah harus menghindari campur tangan dari setiap upaya individu untuk menjalankan usaha dan bisnis demi tujuan masing-masing.
Menurut Investopedia, sejarah laissez faire dimulai oleh kelompok fisikawan tahun 1756 – 1778, yang dipimpin oleh seorang dokter. Mereka mencoba menerapkan prinsip keilmuan dan metodologi untuk mempelajari bagaimana seseorang dapat mencapai kekayaan. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa pasar yang bebas menjadi kebutuhan masyarakat yang juga bebas. Karena itu, menurut mereka, enggak perlulah ada berbagai peraturan pajak, UMR, dan yang lainnya.
Menurut mereka, pemerintah hanya perlu terlibat sebatas pada memastikan bahwa sarana dan prasarana tersedia dan memadai, dan menjamin kebebasan individu dalam beraktivitas.
Perkembangan Laissez Faire
Lebih jauh, teori ini dipopulerkan oleh banyak ekonom. Salah satunya adalah Adam Smith.
Adam Smith adalah seorang ekonom, filsuf, dan penulis abad ke-18 berkebangsaan Skotlandia yang dianggap sebagai bapak ekonomi modern. Smith menentang merkantilisme dan merupakan pendukung utama kebijakan ekonomi laissez faire ini.
Dalam buku pertamanya, The Theory of Moral Sentiments, Smith mengusulkan gagasan tentang invisible hand, yaitu kecenderungan pasar bebas untuk mengatur diri mereka sendiri menggunakan persaingan, penawaran dan permintaan, dan kepentingan diri sendiri.
Smith juga dikenal untuk menciptakan konsep produk domestik bruto (PDB), dan untuk teorinya tentang kompensasi diferensial upah. Menurut teori ini, pekerjaan berbahaya atau tidak diinginkan cenderung membayar upah yang lebih tinggi untuk menarik pekerja ke posisi ini.
Faktanya, penerapan laissez faire di Prancis juga tak berjalan mulus, karena tidak ideal. Doktrin atau teori ini dianggap mengarah pada kemiskinan dan ketidakseimbangan ekonomi pada masyarakat. Pasalnya, sistem ekonomi yang berjalan tanpa aturan pemerintah akan berpeluang lebih besar menjadikan masyarakat berpenghasilan rendah menjadi korban.
Laissez-Faire Tidak Akan Pernah Relevan
Sampai sekarang nampaknya belum pernah ada negara manapun di dunia yang melepas ekonominya 100% dan membiarkan invisible hand bekerja seperti teori Adam Smith ini. Bahkan, Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara super bebas saja masih menggunakan The Fed rate untuk mengontrol inflasi. Terakhir, mereka menaikkan suku bunga acuannya tertinggi sepanjang sejarah, yaitu hingga 75 bps.
Selain itu, alm Adam juga menginginkan negara meminimalkan pajak, karena pajak dianggap hanya sukses menaikkan biaya hidup. Jelas teori ini tidak akan bisa dilakukan. Bayangkan saja kalau ini digunakan negara kita. Padahal, kontribusi pajak masih yang terbesar di APBN.
Dalam tahun-tahun ke depan, paham laissez-faire atau semacamnya bisa saja tidak akan pernah tercapai. Mau tidak mau negara bertanggung jawab akan dampak ekonomi nasional dan internasional. Lihat saja Depresi Besar tahun 1929 meluluhlantakkan ekonomi dunia. Kemudian kasus Subprime Mortgage satu negara di 2008, yaitu AS, yang menggerogoti perekonomian sampai ke Indonesia.
Sampai kapan pun, laissez faire tidak akan pernah relevan.
Keuntungan Selaras dengan Kesejahteraan SDM-nya
Adam Smith berpikir, bahwa naik turunnya keuntungan, baik itu negara atau korporasi (sahamnya), bisa disebabkan oleh banyak hal seperti gaji para pegawai dan tingkat kekayaan penduduk.
Lucunya adalah jika kondisi ini tercapai, maka bisa menimbulkan dampak sebaliknya. Contoh sederhananya begini. Perusahaan berhasil meningkatkan keuntungan secara signifikan, sehingga menaikkan tingkat gaji para karyawannya. Namun, ternyata di kemudian hari, hal ini justru berakibat pada kelebihan beban dan menurunkan keuntungan.
Sayangnya saya belum menemukan kata inovasi di mahakarya ini, padahal saat ini yang membuat perusahaan terus survive dan membayar pegawainya dengan bayaran tinggi adalah inovasi. Adam Smith menyadari itu, sehingga dia bilang kompetisi atas suatu produk yang sama akan menurunkan tingkat keuntungan.
Ini salah satu statement Adam Smith yang menurut saya cemerlang:
“Profit is affected not only by every variation of price in the commodities which he deals in, but by the good or bad fortune both of his rivals and of his customers, ..”
Pandangan yang alamiah dan tak lekang waktu, salut!
Sistem Mata Uang Berbasis Logam
Logam yang diartikan emas, nampaknya ini adalah salah satu ide brilian yang pernah digunakan oleh dunia tapi sudah ditinggalkan. Kala itu, Smith berharap sistem ini mampu menahan angka depresiasi yang disebabkan borosnya pemerintah dalam membiayai peperangan.
Jika kita ambil logika sederhananya, sebenarnya ide Adam Smith tentang sistem mata uang berbasis logam (emas) ini oke punya. Nilai intrinsik dan nilai nominalnya bisa diprediksi dengan baik. Volatilitas mata uang juga akan terkendali dibanding sistem mengambang saat ini. Saya memandang hukum permintaan dan penawaran hanya cocok digunakan untuk produk, bukan untuk mata uang. Terlalu liar!
Segitu dulu yak cuap-cuapnya, silakan kalo ada yang mau challenge atau bertanya. Hubungi kami seperti biasa!
dani mengatakan
berhail membuat sayah kembali terlempar ke masa-masa kursus wmi dulu. Huehehehe…
diskartes mengatakan
Haha..nostalgia sama kursus WMI…saya malah sampe ke jaman sekolah dulu mas.. 😀
Ariesusduabelas mengatakan
Semester kemarin saya belajar eknomi. Hahaha. Yang saya ingat hanya satu, sulit menemukan negara yang murni kapitalis atau murni sosialis. Menurut Pak Direktur gimana? Hahaha.
diskartes mengatakan
Hahaha..pas banget
Yang obligasi terbit besok ya artikelnya..
Murni? Semua guru besar di dunia uda sepakat nggak ada yang murni sekarang.
US nggak pernah menggunakan invisible hand, artinya mereka ikut turut campur..
Russia? Mereka mulai mengadopsi sistem negara-negara barat.
Ica mengatakan
Kaka mau bertanya, adakah mazhab yang menjadi transisi dalam ekonomi saat ini?
diskartes mengatakan
tidak ada yang spesifik. Mau dibilang laissez faire, pemerintah juga masuk intervensi.
Aifosnaid mengatakan
Dalam ekonomi, keberadaan pajak menimbulkan inefisiensi, di mana kata lain dari inefisiensi adalah terjadinya welfare loss atau kerugian bagi masyarakat secara umum maupun pemerintah. Kok bisa? karena pajak membuat harga barang semakin mahal (PPN), dan pajak mengurangi kemampuan konsumsi sebab penghasilan yang dipotong buat membiayai negara (PPh). Namun demikian, sebagai seorang makroekonomis, saya tentu saja mendukung pajak, karena dalam kacamata makro, kita tidak hanya bicara soal efisiensi tetapi juga equity. Dengan adanya pajak, maka salah satu fungsi pemerintah sebagaimana diungkapkan oleh Musgrave, mendistribusikan kemampuan ekonomi dari golongan kaya kepada golongan miskin, akan berjalan sebagaimana mestinya.
Jian mengatakan
Kalo menurut saya pajak hakikatnya di distribusikan bukan untuk golongan miskin tpi lebih mengarah ke perbaikan fasilitas/ pembangunan fasilitas publik yg bermanfaat, kalo urusan golongan kebawah tidak tepat jika dimasukan ke subsidi dari pajak apalagi diambil lebih besar pada golongan keatas, tunjangan2 pemerintah yg memilah2 pda orang kaya &or miskin, artinya tidak adil dong