Persoalan gaji itu memang sensitif, kek perasaannya perempuan kalau lagi PMS. Masalah orang lain punya gaji 1 M diributin, apalagi soal penghasilan suami dan istri yang tidak dibicarakan secara terbuka. Bisa memicu hal yang tidak-tidak.
Makanya ada yang bilang, soal gaji mendingan nggak usah disebarkan ke mana-mana. Termasuk privacy. Ada yang setuju, ada yang enggak, ya terserah saja.
However, masalah gaji juga sering jadi pemicu konflik antara suami istri. Ya, keuangan sih secara garis besarnya. Yang paling horor adalah ketika penghasilan suami lebih kecil daripada penghasilan istri. Wah, jadi trending topic sekompleks deh.
Soal gaji ini sebenarnya bisa saja jadi hal yang biasa dalam rumah tangga. Normalnya berkeluarga, ya masa sih masih ngumpetin besaran gaji masing-masing? Pasalnya, hal perencanaan keuangan ini menyangkut value sebuah keluarga. Kalau sudah dibicarakan dan disepakati, seharusnya hal ini enggak jadi masalah kan?
Gaji dalam Keuangan Keluarga
Sudah seharusnya gaji dikelola agar tujuan bersama bisa tercapai dengan baik; baik itu untuk memenuhi kebutuhan di masa sekarang, ataupun kebutuhan di masa yang akan datang, pun untuk membantu sesama.
Namun, percaya atau tidak, sebenarnya masalahnya ada pada mindset. Siapa berpenghasilan lebih tinggi? Siapa berpenghasilan lebih rendah? Tapi, tinggi atau rendah, apa bedanya untuk bisa mencapai tujuan bersama? Nah, kelihatan kan, di sini mindsetnya sudah kurang tepat. Mau tidak mau, kita memang harus mengakui bahwa pengaruh norma, adat, budaya, dan sebagainya itu memang terbawa sampai ke kehidupan berumah tangga. Anggapannya, kalau penghasilan suami lebih kecil itu hal yang memalukan.
Padahal, di mana letak hal yang memalukan itu? Mengapa kita fokus di situ? Berapa dan berapa?
Hal yang mestinya dibangun ketika penghasilan suami lebih kecil daripada penghasilan istri adalah kepercayaan. Dengan adanya kepercayaan, maka akan muncul mindset bahwa berapa pun gaji suami dan istri, yang penting adalah tujuan bersama tercapai. Untuk itu keduanya harus dikelola dengan baik. Jadi, pindahkan fokusnya dari “berapa besar gaji” ke “apa yang ingin dicapai dan berapa besar targetnya”.
So, dengan mindset yang benar, mau lebih besar penghasilan suami atau penghasilan istri, kedua belah pihak tidak akan terlalu memikirkannya. Yang penting, gimana nih biar mimpi, cita-cita, keinginan besar keluarga bisa diwujudkan. Dengan demikian, pemikiran siapa yang paling banyak berperan, atau siapa yang paling sukses, bisa dihilangkan.
Pasalnya, memang masalahnya ada pada mindset kan. Kalau pikirannya negatif, mau ngapain aja juga percuma. Tetap saja POV-nya dari sudut yang kurang enak, kurang nyaman, sehingga mau ngapain aja juga terbentuk oleh pemikiran yang tidak baik.
Jadi, apa yang harus dilakukan selanjutnya, setelah mindset sudah benar?
Penghasilan Suami Lebih Kecil, Terus Apa?
Terbuka
Nah, soal komunikasi keuangan dengan pasangan, kamu perlu banget ngedengerin Podcast berikut ini nih.
Harus diakui sih, ngobrol itu gampang-gampang susah. Apalagi kalau dua-duanya memang kurang terbiasa mengobrol terutama soal duit. Masih banyak lo, yang menganggap ngomongin duit itu tabu.
Namun, untuk bisa mengatasi potensi konflik yang bisa terjadi dalam rumah tangga, ngobrol itu keharusan.
Di samping itu, sebagai pasangan suami istri seharusnya saling sepakat, bahwa berapa pun besaran gaji yang dimiliki adalah masalah keluarga yang seharusnya tetap berada di dalam tembok rumah tangga. Orang lain enggak penting untuk tahu. Bahkan orang tua sendiri pun enggak berhak untuk ikut campur. So, kalau orang lain sampai tahu, ya harus dievaluasi nih, buat apa mereka tahu?
Buka jalur komunikasi dan terbuka hati serta pikiran. Singkirkan mindset bahwa penghasilan suami HARUS lebih besar daripada istri, karena percayalah, ini tak ada hukumnya di mana pun selain sekadar norma sosial. Selama besaran gaji tidak keluar dari tembok, maka seharusnya sih aman-aman saja.
Selama aman di dalam tembok, ya bicarakan saja berdua. Ingat soal mengubah mindset tadi ya.
Bantu suami tetap pede
Tapi ya meski sudah bersepakat, kemungkinan sih tetap ada ketika suami merasa minder. Ya, manusiawi soalnya. Tapi, kalau dibiarkan berlarut-larut, malahan akan berdampak pada kelancaran komunikasi. Padahal lancarnya komunikasi kan jadi hal yang sangat krusial di sini.
So, buat istri, coba luangkan waktu lebih banyak. Dengarkan apa kata suami, terutama kalau curhat. Memang sudah capek pasti sehabis bekerja, dan pekerjaan istri mungkin saja memang lebih berat. Tapi, sekadar memasang telinga saja enggak masalah seharusnya ya—apalagi kalau mindset-nya, seperti yang sudah dijelaskan di atas, sudah bener.
Kalau suami mulai menunjukkan tanda-tanda galau lagi, ingatkan bahwa rezeki keluarga itu datang dalam beragam bentuk, enggak hanya berupa besarnya penghasilan. Yang sabar ya, bestie.
Ambil posisi yang sesuai
Ini terutama sih dilakukan demi kebaikan bersama, bukan sekadar “ngasih makan ego”. Dan ini juga dilakukan dalam rangka seperti yang dijelaskan pada poin kedua di atas.
Jika memang sudah bersepakat bahwa penghasilan bersama untuk tujuan bersama, maka seharusnya tidak akan ada yang merasa lebih berkontribusi ketimbang yang lain. Dengan begini, posisi suami seharusnya tidak ada masalah, dan sebagai istri juga bisa menempatkan diri sesuai porsinya.
Libatkan suami di setiap pertimbangan dan keputusan yang diambil, terutama yang berkaitan dengan keuangan, dari hal besar sampai hal kecil seperti membuat anggaran belanja. Mintalah pendapatnya untuk berbagai perkara, meski kemudian pengeluaran tetap akan lebih besar dari pihak istri.
So, memang hal ini tidak mudah. Tapi kalau masing-masing pasangan mampu memegang komitmen masing-masing dan komunikasinya juga lancar, besar kemungkinan semua masalah akan tersolusikan.
Yang penting, masing-masing jangan emosian. Iya memang, lebih gampang dikatakan daripada dilakukan. Tapi kalau enggak diusahakan, ya enggak akan bisa melangkah ke mana-mana juga kan?
Jangan lupa untuk subscribe channel YouTube Diskartes dan juga Podcast Diskartes untuk berbagai ilmu perencanaan keuangan, investasi, dan ekonomi seru lainnya ya.