Pasti update berita kan, soal sebuah bisnis yang harus menghadapi serangkaian pil pahit akibat kasus penodaan agama yang ramai diperbincangkan belakangan? Yes, Holywings.
Akibat promosi gratis minuman keras bagi pemilik nama Muhammad dan Maria, imbasnya jadi ke mana-mana. Outlet-outletnya ditutup, tak hanya di Jakarta saja, tapi di berbagai daerah. Meski diklarifikasikan bahwa penutupan outlet tak ada kaitannya dengan promosi yang berbau sensitif itu, tapi karena terlalu berentetan, maka layaknya jatuh tertimpa tangga.
Akankah bisnis kelab malam yang pernah menjadi yang terbesar di Asia itu sudah menemui akhir periodenya?
Sejarah Bisnis Holywings
Holywings sebenarnya adalah perwujudan pivoting bisnis yang sukses. Mengapa? Karena sejatinya, Holywings bercikal bakal dari sebuah warung nasi goreng Kedai Opa yang berada di kawasan Kelapa Gading.
Adalah Ivan Tanjaya, pemilik kedai tersebut, yang harus berjuang agar Kedai Opa terus bisa jalan. Sayangnya, kedai ini hanya dapat bertahan 3 bulan, dan terus mengalami kerugian. Mau tak mau, pivoting harus dilakukan, agar bisnis bisa berkembang.
Kemudian tercetuslah untuk menampilkan live music, sehingga pengunjung bisa menikmatinya sembari menikmati hidangan. Ternyata, kedainya langsung laris. Tak lama kemudian, konsep dining dengan live music ini juga diadopsi oleh bisnis lain, sehingga Ivan pun mengganti nama bisnisnya menjadi Holywings, dan dengan menu utama sayap ayam. Holywings pun tak berhenti berinovasi, hingga akhirnya merek ini pun menaungi beer house, kelab malam, dan lounge.
Akhirnya, tak hanya ada di Jakarta, Holywings juga membuka berbagai cabang di kota-kota besar Indonesia, seperti Bandung, Bekasi, Serpong, Surabaya, Medan, Makassar dan Bali.
Sederet Kasus yang Melibatkan Holywings
Sebenarnya ini bukan kali pertama Holywings berurusan dengan pihak berwajib. Sebelumnya, serentetan kasus juga terjadi. Beberapa yang bisa dicatat di antaranya:
Menyebabkan Kerumunan saat PPKM
Tahun lalu, tepatnya di bulan September 2021, Holywings mendapat teguran akibat melanggar aturan PPKM yang saat itu sedang ketat diterapkan, dengan menyebabkan kerumunan melampaui kapasitas yang diperbolehkan. Teguran ini berbuah sanksi denda yang besarnya mencapai Rp50 juta.
Selain denda, Holywings juga harus menerima sanksi lain berupa pembekuan izin sementara selama masa PPKM pandemi COVID-19. Pasalnya, kafe ini tak hanya sekali melakukan pelanggaran, tetapi sampai 3 kali. Ada seorang manajer outlet yang dijadikan tersangka terkait kasus ini.
Melanggar Jam Operasional
Ini masih di masa PPKM, ketika Holywings Tebet masih buka hingga lewat pukul 04.00 sehingga sudah lebih dari waktu yang ditentukan.
Menjual Miras di Atas Batas Ketentuan
Di Bogor, Holywings juga bermasalah dengan walikota kota hujan tersebut. Disebutkan bahwa visi dan misi kota Bogor adalah kota yang ramah lingkungan, keluarga, dan religius. Penjualan miras dengan kadar alkohol melebihi 5% menyalahi aturan yang ada, sehingga Holywings pun mendapat teguran keras dengan ancaman pencabutan izin operasional.
Promosi Minuman Beralkohol
Dan, yang terakhir ini adalah kasus yang memang sepertinya yang paling telak memukul Holywings—apalagi berbuntut juga dengan pembekuan izin operasional (meskipun katanya tidak ada kaitannya dengan materi promosi ini) di 12 outlet Jakarta, dan juga di berbagai daerah.
Promo ini dibuat sedianya hendak digunakan untuk menarik pelanggan lantaran konon ada beberapa outlet tidak dapat mencapai target penjualan. Dengan menawarkan minuman gratis, diharapkan calon pembeli pun akan berbondong-bondong menyerbu Holywings. Sayangnya, syarat untuk mendapatkan minuman gratis tersebut menyinggung banyak kalangan, terutama bagi penganut agama Islam dan Kristen.
Kini sudah ada 6 orang yang dinyatakan sebagai tersangka, sementara pihak manajemen Holywings sendiri sudah menyatakan permintaan maaf secara terbuka pada publik.
Bukan Bisnis Pertama yang Tersandung Isu SARA
Faktanya, sebelum Holywings, ada sederet bisnis dengan nama yang sudah ternama di tanah air yang juga sempat tersandung isu SARA. Berikut beberapa di antaranya:
Buddha Bar
Sebuah restoran dibuka di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, di tahun 2008, yang kemudian memantik protes dari kalangan umat Buddha Indonesia, lantaran menggunakan nama Buddha Bar. Para pemrotes menilai, bahwa pihak pemilik dan pengelola restoran telah menghina agama Buddha dengan penamaan tersebut, ditambah lagi dengan dipakainya beberapa ornamen suci milik umat Buddha sebagai dekorasi.
Sebagai reaksi, pihak pengelola pun melepas hak waralaba Buddha Bar dari Prancis, dan mengubah nama restorannya mejadi Bistro Boulevard.
JNE
Salah satu bisnis ekspedisi ini juga pernah tersandung isu SARA ketika menunjukkan pengumuman rekruitmen kurir yang wajib beragama Islam. Banyak yang menilai, bahwa hal ini merupakan diskriminasi terhadap agama yang beragam di Indonesia.
Terkait hal ini, pihak manajemen JNE menjelaskan, bahwa pengumuman rekruitmen tersebut merupakan pengumuman pihak mitra, dan bukan dari JNE pusat. Untuk menindaklanjuti, pihak JNE pun melakukan pemutusan hubungan mitra secara sepihak.
Tak hanya itu, JNE juga pernah dituduh mendukung gerakan radikal yang menebarkan isu teror di Indonesia, yang kemudian dibantah keras oleh pihak manajemen.
Aqua
Sebagai bagian dari merek induk Danone yang berkedudukan di Prancis, Aqua juga pernah mendapatkan ancaman boikot. Hal ini terkait dengan pernyataan Presiden Prancis, yang dinilai memiliki pandangan Islamophobia.
Danone kemudian membantah, bahwa produknya tak ada kaitannya dengan pandangan politik mana pun, dan murni hanya menjalankan bisnis saja di Indonesia.
Sari Roti
Sari Roti juga pernah tersandung isu SARA lantaran dinilai terlibat dalam aksi 212 yang terjadi tahun 2016. Akibatnya, saham ROTI pun melemah 0.33%, meskipun pihak manajemen membantah keterlibatan tersebut.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Kasus Holywings dan Lainnya Ini?
Kalau dilihat-lihat, perkara Holywings ini adalah persoalan marketing yang cukup pelik. Pebisnis di mana pun tahu, bahwa pemasaran adalah ujung tombak sebuah bisnis. Karena itu, butuh otak superkreatif dalam hal ini. Apalagi digital marketing, yang akan bersinggungan langsung dengan netizen Indonesia yang menjadi netizen paling tidak sopan sedunia.
Tuntutan untuk menenuhi target leads, dengan peningkatan impression dan branding yang tinggi, kadang memang memaksa seorang pemasar memutar otak setiap hari. Animo terhadap produk yang berusaha kita jual jadi taruhannya.
Manajemen Risiko Sejak Rantai Terdepan
Saat konten tidak dibuat dengan riset dan analisis yang mendalam, ditambah dengan kepekaan untuk menghindari hal-hal yang terlalu sensitif, maka kasus serupa bisa terjadi pada siapa pun, tanpa pandang bulu. Menjadi bagian tim kreatif pun menjadi profesi yang sangat tinggi risiko. Campaign yang tadinya tampak menarik pun berakibat bumerang.
Holywings sukses setelah melakukan pivoting, dari kedai nasi goreng menjadi restoran dengan live music, dan kemudian berkembang lagi menjadi kafe dan bar. Holywings punya tempat tersendiri bagi anak muda kota-kota besar yang mendambakan healing di setiap malam.
Kini, ke depan, Holywings barangkali hanya tinggal nama untuk dikenang. Dan, meninggalkan pelajaran bahwa manajemen risiko tak hanya harus dilakukan pada level produksi ke belakang, tetapi harus dilakukan sejak rantai terdepan: pemasaran.
Karyawan adalah Aset
Penetapan tersangka terhadap karyawan eksekutor campain minuman gratis ini juga patut menjadi catatan, karena pihak manajemen seakan lepas tangan.
Di sinilah kita harus belajar dan pemilik bisnis harus ingat, bahwa seharusnya karyawan adalah aset perusahaan. So, apa pun yang dilakukan oleh karyawan, mau tidak mau tak akan pernah lepas dari perusahaannya.
Betapa berat beban karyawan yang ditersangkakan ini, apalagi tak ada serikat pekerja yang berpihak kepada mereka. Mungkin Holywings benar, bahwa campaign dilakukan tanpa sepengetahuan manajemen, tetapi bukan berarti tak bisa membantu dengan support hukum.
Sebagai pemilik bisnis, tanggung jawab besar tetap harus dipikul. Dan kemudian, ke depannya harus ada aturan—atau setidaknya jika sudah ada aturan, ya mungkin perlu diperbaiki—yang mengatur approval berbagai keputusan yang bisa memengaruhi usaha.
Pemasaran bukan hal remeh temeh. Sejauh yang bisa dilihat, selalu ada meeting mengenai konsep dan strategi pemasaran yang seharusnya dilakukan secara berkala, sebulan sekali, seminggu sekali, atau periode lainnya, antara manajemen dan pihak eksekutor. Dengan begitu, peluang kesalahan yang kemudian berbuah perkara hukum seperti ini bisa ditekan.
Hindari Isu Sensitif
Negara kita adalah negara berkembang. Asasnya gotong royong, yang membuat satu perkara menjadi perkara semua orang. Karena itu, ada beberapa hal yang sebaiknya tak disinggung di ranah bisnis dan komersial terkait hal ini. Salah satunya adalah SARA.
Ini adalah norma. Ada banyak materi lain yang bisa diulik untuk dijadikan gimmick marketing, tanpa harus menyentuh hal-hal yang sensitif. Memang kalau enggak kontroversial, akan sedikit sulit untuk viral sehingga promosi tak bisa lancar. Tapi, bermain dengan isu sensitif di negeri ini sama saja dengan bermain api. Salah sedikit saja, imbasnya ke mana-mana.
Taati Aturan
Aturan dibuat bukan untuk dilanggar. Aturan ada agar semua nyaman menjalani aktivitas masing-masing. Jika diminta untuk membatasi jam operasional, pengunjung, atau ada aturan lainnya, sebaiknya taati saja.
Aturan memang sekali dua kali bisa menghambat bisnis. Tapi melanggar aturan, dampaknya malah jauh lebih buruk. Sudah begitu, kita juga melakukan black marketing terhadap bisnis kita sendiri. Ketika ada masalah, malah makin banyak orang yang bersorak karena keruntuhan bisnis kita.
Itu dia pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan dari kasus Holywings. Gimana, masih optimis untuk menjalankan bisnis dan melancarkan strategi pemasaran kan? Enggak hanya kita bisa belajar dari kesalahan yang kita buat sendiri buat maju. Justru akan bagus banget kalau kita bisa belajar dari kesalahan orang lain, tanpa kita harus melakukannya dulu.
Semoga bermanfaat!