Sudah pernah ngerasain es krim Mixue? Atau mungkin boba tea-nya?
Es krim dan boba tea bisa jadi adalah dua jenis minuman yang digemari banyak orang. Keduanya mau di-mix dengan apa saja, tetap enak! Nah, Mixue tahu betul akan hal ini. Ditambah dengan beberapa strategi bisnis yang cerdas, jadilah brand-nya menjadi viral dan jadi topik pembicaraan para penggemar kuliner belakangan.
Mengapa bisa viral dan booming? Di Indonesia, Mixue mengawali perjalanan bisnisnya tahun 2020 dari Cihampelas, Bandung, dan kini sudah memiliki 300 lebih gerai di seluruh Indonesia.
Salah satu kuncinya ternyata ada pada harga yang sangat murah. Diawali dari Tiongkok, saat penjual es krim lain menjual dagangannya dengan harga 10 yuan, Mixue berani menjualnya dengan harga 2 yuan. Dengan standar citarasa yang lezat, pantas saja kan, gerainya diserbu pembeli? Target marketnya memang menyasar middle low, karena menurut penggagasnya, market inilah yang terbesar.
So, mau belajar bisnis dari Mixue? Yuk, coba kita telusur satu per satu elemen bisnisnya.
Awal Mula Mixue
Mixue didirikan tahun 1997 di Tiongkok, oleh Zhang Hongchao, saat ia masih merupakan mahasiswa tahun keempat yang punya pekerjaan paruh waktu di sebuah kedai minuman es serut. Bisa diduga, Zhang Hongchao pasti terinspirasi dari tempatnya bekerja hingga ia mulai menelusuri potensinya.
Dari modal sejumlah 4.000 RMB, atau waktu itu setara dengan Rp7 juta, dari neneknya, Hongchao lantas membuka gerai pertamanya di Zhengzhou. Dengan 3 produk utamanya yang dijual, yakni es serut, es krim, dan smoothie, Hongchao berusaha menaklukkan kompetitor-kompetitornya dan mengembangkan bisnisnya. Tak lama kemudian, Hongchao berhasil menambahkan milk tea dalam menunya.
Meski waktu itu cukup laris, Hongchao sadar bahwa bisnisnya sangat tergantung oleh musim. Begitu musim panas berlalu, bisnisnya akan tutup. Dan, itulah yang terjadi juga.
Tahun 2006, Mixue Bengcheng dibangun kembali oleh Hongchao. Saat itu, es krim cone ala Jepang lagi ngehype banget di Tiongkok. Hongchao pun mempelajari cara pembuatannya, dan kemudian menjualnya di Mixue. Tahun 2007, Mixue mulai menawarkan franchise. Tahun 2008, sudah ada 180 gerai cabang di seluruh Tiongkok, dan akhirnya terdaftar resmi sebagai perusahaan yang bergerak di sektor kuliner.
Setelah melalui banyak sekali pengembangan dari 2010, tahun 2022, Mixue sudah memiliki 10.000 lebih cabang di seluruh Tiongkok. Mixue pun mulai memproduksi bahan bakunya sendiri demi menekan biaya produksi.
Pelajaran Bisnis dari Pengelolaan Mixue
Kalau ada yang sukses, yuk mari kita belajar darinya. Begitu pun dengan Mixue, ada beberapa pelajaran bisnis yang bisa kita tarik dari perjalanannya.
1. Keterjangkauan harga jadi faktor penting
Dibandingkan dengan pesaingnya, harga es krim dan boba tea Mixue sangat terjangkau. Meski demikian, citarasa yang ditawarkan sangat pas dan disukai oleh banyak penikmat kuliner.
Tak hanya itu, Mixue juga bisa membuat tampilan es krim dan boba teanya tampak mahal. Outletnya juga didesain secara menarik, sehingga value-nya tak hanya soal harga murah semata, tetapi sangat layak untuk dibeli.
Dengan perbandingan harga dan tampilan seperti ini, Mixue bahkan bisa saja dibawa masuk ke area wilayah terkecil di Indonesia tanpa kesulitan berarti. Para (calon) pembeli tingkat kecamatan dan kos pasti mampu membelinya. Harga yang sangat terjangkau ini juga memperbesar potensi pembelian ulang oleh para penikmatnya.
2. Rantai pasok kuat
Supply chain management memegang kunci yang penting dalam sebuah rantai produksi. Semakin kuat rantai pasok, harga jual produk bisa ditekan dan akan sulit ditandingi oleh kompetitor.
Beberapa elemen rantai pasok yang cukup signifikan dari Mixue adalah:
- Bisa mendapatkan bahan baku yang murah. Karena jumlah outletnya banyak, maka Mixue akan memesan bahan baku dalam volume yang besar, sehingga bisa menekan harga dengan cukup signifikan. Apalagi kemudian Mixue juga memproduksi bahan bakunya sendiri. Konon, pembuatan bahan baku sendiri ini bisa menekan biaya produksi sampai 20%.
- Fasilitas produksi yang mumpuni juga menjadi faktor penentu kekuatan rantai pasok. Mixue memiliki sejumlah fasilitas produksi, seperti punya pusat penelitian dan pengembangan produk sendiri, pusat logistik yang mampu melayani kebutuhan seluruh outlet dan mengirimkannya secara gratis, dan sebagainya. Keputusan untuk melengkapi fasilitas produksi menjadi investasi terbaik, karena mereka bisa lebih efisien dalam banyak aspek.
- Dengan adanya pusat logistik sendiri, rantai distribusi bahan baku pun menjadi lebih cepat menjangkau 10.000 outlet di Tiongkok, dan ribuan lainnya di negara lain, dan bisa menjaga ongkos transportasi seminimal mungkin.
- Kualitas produksi terjaga dengan baik, dengan menjaga bahan baku tetap segar dalam pengirimannya.
3. Target market yang tepat
Target market menengah ke bawah memang membuat kita harus bisa menahan harga jual produk yang rendah. Kadang ini memang merepotkan dan menyulitkan, tetapi inilah market yang paling besar. Setidaknya menurut Zhang Hongchao. Namun, di Indonesia sendiri, kelas market ini memang menjadi porsi terbesar.
Sebagian besar pembeli Mixue adalah pelajar dan pekerja dengan gaji pas-pasan. Semuanya punya sensitivitas lebih terhadap harga. Rata-rata dari mereka ingin sekadar menyenangkan diri dengan membeli sesuatu yang murah, tetapi enak dan “terasa” mahal. Dengan hanya mengeluarkan uang seminimal mungkin, mereka meminta pengalaman kuliner yang premium.
Mixue bisa melayani kebutuhan ini dengan baik.
4. Model bisnis franchise membuatnya cepat bertumbuh
Mixue sadar, dengan target market seperti yang sudah ditentukan, akan lebih menguntungkan jika berjualan dalam outlet-outlet kecil yang bisa menerobos wilayah-wilayah terkecil, mendekati domisili target marketnya. So, model bisnis franchise memang lebih sesuai.
Untuk membuka cabang Mixue, seseorang hanya perlu “punya” tempat sebesar 15 – 20 meter persegi saja. Hal ini jadi kelebihan tersendiri, karena rerata franchise mensyaratkan tempat sebesar 100 – 150 meter persegi. Namun, memang model bisnisnya lebih banyak ke takeaway, alias dibawa pergi, maka untuk tempat memang tak perlu terlalu luas. Meskipun ada beberapa outlet yang menyediakan beberapa meja kursi ukuran kecil bagi pembelinya untuk sekadar duduk. Tapi biasanya ya, kosong. Dengan demikian, biaya manajemen operasional untuk perawatan outlet bisa ditekan.
Hal tersebut juga didukung dengan BEP yang cukup singkat. Dalam artikel di Hypeabis didapatkan data, bahwa agar balik modal, franchise “hanya” butuh waktu 8 – 12 bulan saja, meski secara resminya Mixue berani menjamin 12 – 24 bulan.
5. Produk yang sedang dan akan terus punya pasar
Siapa sih yang enggak suka es krim? Mau anak-anak, usia dewasa, sampai yang sudah lansia, pasti suka menikmati es krim. Begitu juga dengan teh, bisa masuk ke segala usia. Produknya bisa menjadi diferensiasi terhadap produk kopi yang sekarang lagi jenuh banget di pasar, karena saking banyaknya coffee shop dibuka.
Peluang untuk menjadi “penawar” kejenuhan produk ini merupakan keputusan bisnis yang tepat. Apalagi didukung dengan harga yang kompetitif, serta kemasan premiumnya.
Secara market size, es krim dan boba tea bakalan masih tumbuh ke depannya, dan akan terus tumbuh. Masih banyak bahan yang bisa dieksplorasi hingga menjadi produk andalan, dan masih banyak target market yang belum “tersentuh”.
Nah, jadi itu dia gambaran bisnis Mixue yang bisa membuatnya jadi sukses seperti sekarang.
Dilansir dari Bloomberg, saat ini Mixue tengah berencana untuk IPO di pasar saham Hong Kong, dan mengincar dana tambahan modal sebesar USD 200 juta – USD 500 juta. Selain mempertimbangkan untuk listing di Hong Kong, Mixue juga memiliki opsi untuk melantai di bursa Tiongkok daratan. So, mari kita lihat dan pantau proses selanjutnya dari Mixue.