Risiko seharusnya sudah menjadi teman kita begitu kita memutuskan untuk mulai investasi. Risiko investasi ini sejatinya harus sudah sangat dipahami akan datang sepaket bersama keuntungan besar yang dijanjikan.
Apa Arti Risiko Investasi?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, risiko berarti:
akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan.
So, risiko investasi bisa berarti segala hal yang membuat kenyataan menjadi tidak sesuai dengan rencana atau harapan akan hasil investasi tersebut.
Secara teori, dalam investasi, ada yang namanya “high risk, high return”. Semakin tinggi risiko, maka keuntungan yang bisa didapat juga akan berpeluang semakin tinggi. Risiko tidak dapat dipisahkan dari investasi. Namun, bukan berarti tidak bisa diantisipasi. Setidaknya, kita mesti mengusahakan, misalnya jatuh ya sakitnya enggak terlalu kerasa. Nggak terlalu babak belur. Nggak terlalu ambyar, kayak hati pas diputus mantan. #ehgimana
Lalu apa saja macam risiko investasi yang perlu dipahami ini? Mari kita lihat satu per satu.
Berbagai Macam Risiko Investasi
Risiko Suku Bunga
Risiko suku bunga merupakan risiko investasi yang ada akibat dari nilai relatif suku bunga yang ditentukan. Umumnya ini terjadi utamanya di instrumen surat utang atau obligasi.
Gampangannya, risiko ini terjadi ketika ada fluktuasi suku bunga di pasaran yang akhirnya memengaruhi besaran bunga obligasi. Misalnya saja, suku bunga deposito ditentukan 6%. Kemudian pemerintah mengeluarkan seri obligasinya dengan suku bunga 8%. Investor sudah tentu lebih memilih untuk menginvestasikan dananya pada obligasi pemerintah, dibandingkan instrumen seperti deposito.
Umumnya yang terjadi adalah, ketika kenaikan suku bunga pasaran terjadi, maka di situlah ada penurunan harga obligasi berbunga tetap. Demikian pula sebaliknya. Misalnya saja ada yang membeli obligasi 20 tahun dengan suku bunga tetap 10% sebesar Rp100 juta. Dari obligasi ini, si investor mendapatkan bunga sebesar Rp10 juta per tahun hingga jatuh tempo nanti. Selama itu, ternyata ada kenaikan suku bunga menjadi 11% (kita pakai angka bulat saja, biar gampang). Obligasi yang baru akan memberikan bunga Rp11 juta per tahun, untuk nominal dana investasi yang sama.
Si investor pemegang obligasi pertama kehilangan peluang untuk mendapatkan tingkat bunga yang lebih tinggi pada obligasi baru. Alternatif solusinya, ia bisa menjual sebagian obligasi pertamanya di pasar, dan membeli obligasi yang baru, yang memiliki tingkat bunga yang lebih tinggi.
Namun, ia jadi tidak bisa mendapatkan harga jual yang baik karena obligasi pertamanya ini tidak lagi banyak peminatnya, karena ada obligasi baru dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi.
Di situlah ia mengalami risiko suku bunga.
Risiko Pasar
Risiko pasar terjadi akibat berfluktuasinya Nilai Aktiva Bersih akibat perubahan sentimen pasar. Bisa dibilang, risiko investasi ini adalah risiko paling “common”, dan harus dipahami oleh setiap investor yang menanamkan modalnya pada instrumen mana pun.
Dampak terbesar dari risiko pasar adalah investor mengalami capital loss, yaitu ketika ia mengalami kerugian jatuhnya harga instrumen investasi akibat kondisi yang memengaruhi harga pasaran pada umumnya. Apa penyebabnya? Bisa banyak banget sih, mulai dari pandemi (kayak sekarang), resesi, isu politik, kerusuhan, sampai pemilihan presiden negara lain, juga bisa memengaruhi sentimen pasar ini.
Yang perlu dipahami oleh investor tentang risiko pasar ini adalah naik turun nilai investasi akibat risiko pasar ini bisa terjadi harian, bahkan per jam. Jangan terintimidasi oleh pergerakan dalam time frame yang sempit. Lihatlah dalam time frame yang lebar, mulai dari 5 tahun, 10 tahun, dan seterusnya. Dari situ baru bisa dilihat, apakah instrumen tersebut memang cocok dimanfaatkan karena memberikan keuntungan yang signifikan atau tidak.
Risiko Inflasi
Atau sering juga disebut dengan risiko daya beli. Pasti sudah bisa menebak kan, bahwa risiko investasi yang ketiga ini erat kaitannya dengan tingkat lajunya inflasi yang terjadi. Risiko ini akan sangat membawa dampak, terutama ketika kita memegang portofolio dalam bentuk cash atau uang tunai.
Misalnya saja begini. Soerang investor memiliki portofolio investasi dalam bentuk uang tunai yang bernominal Rp100 juta, sedangkan inflasi yang terjadi saat itu adalah sebesar 5%. Maka seiring waktu, sang investor akan “kehilangan” dana investasinya sebesar Rp5 juta per tahun akibat inflasi ini.
Hal ini bisa diminimalkan jika investor memindahkan portofolio uang tunainya ke instrumen yang tingkat pengembangannya lebih besar daripada inflasi.
Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas ini terjadi ketika ada kesulitan pada satu pihak yang tidak dapat menyediakan uang tunai sebagai pembayaran kewajiban kepada pihak lain.
Misalnya, satu pihak meminjam dana pada suatu investor dengan kesepakatan pembayaran kewajiban dalam waktu tertentu sejumlah tertentu, dengan menjaminkan aset dengan nilai yang juga telah disetujui bersama. Ketika pada waktunya jatuh tempo, si peminjam dana tidak bisa mengonversikan aset jaminan itu secara cepat menjadi uang tunai, maka di situlah terjadi risiko likuiditas.
Biasanya, ini terjadi ketika pihak peminjam dana tidak dapat segera menjual aset tersebut karena tidak ada peminat.
Risiko investasi ini biasanya terjadi pada pasar yang masih bervolume kecil ataupun yang sedang bertumbuh.
Risiko Nilai Tukar Mata Uang
Atau yang biasa disebut dengan risiko valas, yaitu risiko yang terjadi akibat perubahan kurs mata uang di pasaran, yang enggak sesuai dengan yang diharapkan.
Misalnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Ketika dolar menguat terhadap rupiah, bisa jadi investor akan mengalami kerugian, jika di saat yang sama ia sedang berinvestasi dalam mata uang dolar. Karena, ia harus mengeluarkan uang rupiah menjadi lebih banyak dari yang seharusnya.
Risiko Negara
Kadang risiko investasi ini juga disebut dengan risiko politik, yaitu risiko yang terkait dengan kondisi politik suatu negara. Terutama sih berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah negara tersebut yang kemudian membuat imbal investasi menjadi naik ataupun turun.
Nah, kalau nilai investasi turun, ya di situlah terjadi risiko. Bahkan tak hanya menurun nilainya, tetapi juga menghadapi risiko hilang begitu saja.
Karenanya, jika kebetulan kamu sekarang sedang mempertimbangkan untuk berinvestasi di suatu negara asing, ada baiknya, kamu riset secara mendalam dulu tentang kondisi negara yang bersangkutan. Pahami gejolaknya, kenali pola pertumbuhannya.
Rumit memang. Makanya ini bukan jenis risiko investasi yang bisa diterima oleh setiap orang.
Risiko Reinvestment
Risiko reinvestment adalah risiko yang tumbul ketika reinvestment yang kita lakukan hasil imbalnya lebih rendah pada instrumen investasi yang baru.
Contohnya begini. Seorang investor menanamkan dananya pada obligasi dengan tingkat bunga tetap sebesar 10% setiap tahun hingga akhir jatuh tempo sesuai yang disepakati. Setelah jatuh tempo tiba, ia pun menerima kembali pokok dana yang dipinjamkan, beserta semua bunganya yang sudah diterima setiap tahun. Ketika ia hendak menanamkan dananya kembali pada instrumen obligasi di kelas yang sama, ternyata kuponnya sekarang hanya 8%. Itu artinya, ia tidak akan menerima keuntungan sebesar yang sebelumnya.
Nah, demikianlah beberapa macam risiko investasi yang harus dipahami. Sulit? Enggak kan? Simpel banget malah. Dunia keuangan memang tidak serumit itu kok, apalagi jika kita mau belajar.
Penulis
Carolina Ratri berprofesi sebagai penulis konten untuk website dan media sosial profesional. Bergabung menjadi penulis website Diskartes.com sejak Juni 2019.