Mari kita lihat pada orang-orang generasi baby boomers yang rata-rata sekarang sedang menjalani masa pensiun mereka. Berapa persen yang bisa hidup dengan sejahtera?
Menelusuri berbagai sumber, ternyata, data Asosiasi DPLK menyebutkan bahwa hanya sekitar 9% pensiunan yang dapat menjalani hidup mandiri dan sejahtera, 18% di antaranya harus kembali bekerja di masa pensiun demi mencukup kebutuhan, dan 73%-nya hidup bergantung pada orang lain.
Sungguh angka-angka yang miris bukan?
Makanya masalah sandwich generation ini bukan nggak bisa dianggap remeh, tetapi juga bukan hal yang harus disesali. Kenapa? Karena memang mindset sudah keliru sejak awal, ketika sedari nenek moyang kita menganggap anak sebagai “investasi”, yang kemudian “siap dipanen” ketika kita pensiun.
Kalau sudah mindset turun temurun yang kurang tepat, ya jangan salahkan satu generasi doang. Tapi mari kita fokus untuk mencegah hal ini terjadi lagi pada generasi kita. Itu sih poinnya.
Lalu, apanya yang harus diubah? Ya, kita mesti paham dulu akar permasalahannya. Berdasarkan pengamatan, ada beberapa hal yang umumnya menjadi penyebab gagalnya orang tua kita menjalani masa pensiun sejahtera. Beberapa di antaranya akan kita bahas dalam artikel ini. So, ikuti sampai selesai, siapa tahu, kamu juga bisa menambahi beberapa poin nanti di kolom komen, yes?
Hal-hal yang Bisa Menyebabkan Kita Gagal Menjalani Masa Pensiun Sejahtera
1. Lifestyle
Boros is lifestyle. Ya mau gimana lagi ya? Ini memang penyakit keturunan. Tapi bukannya mau ngatain orang tua kita boros, lalu menyalahkan mereka karena kurang literasi. Lagi-lagi ini masalah turun temurun. Warisan. Pas masih jaya, hidupnya borju. Baru kerasa kalau sudah pensiun. Penghasilan nol, tapi biaya lifestyle sudah terlanjur tinggi. Pada akhirnya, uang ya habis.
Dan, jangan salah. Kadang siapa yang dimanja banget sampai akhirnya lifestyle jadi tinggi dan boros. Anak-anak mereka kan? Siapa hayo? Kita.
2. Nabung sih, tapi nggak sadar punya “musuh”
Iya, bisa nabung sih. Hasil dari jerih payah, sedikit-sedikit disisihkan. Nabung di bank, punya rekening yang ada ATM-nya. Sudah berupaya supaya nggak sedikit-sedikit dijumput. Pokoknya disiplin dan konsisten.
Tapi lupa, kalau tabungan itu punya “musuh”. Namanya inflasi.
Tabungan memang punya bunga. Tapi paling banter ya 2%, bahkan ada yang 0% kalau saldo kita nggak memenuhi minimal nominal tertentu. Lah, kalau 0%, terus setiap bulan ada biaya administrasi saja, sudah berkurang. Apalagi memperhitungkan inflasi?
Inflasi ini mau nggak mau memang akan ada terus, dari tahun ke tahun. Kita yang mesti aware, jangan merasa selesai tugas begitu sudah menyisihkan uang di tabungan, apalagi cuma di bawah bantal. Mesti cari cara, supaya uang kita enggak kalah sama inflasi.
Sepuluh tahun yang lalu, harga beras separuh dari harga beras sekarang. Punya uang Rp10.000, 10 tahun yang lalu, bisa dipakai beli beras sekilo lebih. Sekarang, sekilo aja kurang.
Inflasi itu nyata. Sekarang punya uang 100 juta bisa banget buat dipakai masuk perguruan tinggi. Sepuluh tahun lagi belum tentu.
Sekarang, duit Rp1 miliar sudah bisa dipakai buat bekal hari tua. Tapi mau pensiunnya 20 tahun lagi, ya belum tentu cukup.
3. Rencana: Pensiun Mau Bisnis, Realita: ….
Bukannya meremehkan, tapi berbisnis itu nggak sekadar bikin lalu langsung sukses. Terkadang yang terjadi, kita harus gagal dulu berkali-kali baru deh mulai menampakkan hasil. Itu juga kadang enggak setahun dua tahun doang.
Saya sendiri sudah berapa kali mencoba bisnis kecil-kecilan, mulai dari usaha wartel (waktu itu belum semua orang punya HP), usaha bisnis online jualan batik, sampai menerima jasa desain grafis. Semua gagal. Baru sekarang mulai usaha layanan jasa konten buat website dan media sosial, mulai jalan dan mulai menampakkan hasil yang lumayan. Gini aja, mental dan energi kadang terasa habis banget.
Lah, jadi curhat.
Tapi saya mau tunjukin aja sih, ini saya masih terhitung produktif ya, meski udah nggak terlalu muda lagi. Kebayang enggak, kalau menjelang pensiun–misal di usia 50-an–baru mulai bisnis? Ya ampun, capeknya kebayang loh!
Ini kadang yang jadi kesalahan, tapi nggak disadari.
Saat usia menyenja (istilah apa pula ini?), energi sudah tak sesigap usia 20-an, padahal untuk bisnis itu butuh ekstra tenaga, waktu, dan pikiran. Apalagi kalau baru merintis.
Akibatnya, mau menikmati masa pensiun sejahtera sambil santai? Mana bisa, bisnis baru jalan! Jadi, mesti kerja lagi dulu selama beberapa tahun ke depan. Belum lagi ada risiko kebangkrutan, yang bakalan fatal banget sih kalau sampai kejadian saat kita sudah berusia lanjut. Susah buat bangkit lagi.
So, berencana untuk bisnis nanti saat pensiun? Pastikan kamu sudah memulainya dari sekarang. Sebisa mungkin, saat pensiun nanti, bisnismu bisa jalan sendiri. Sudah berkembang, dan kamu sudah punya orang kepercayaan untuk menjalankannya. Baru deh, bisnis itu menjadi aset aktif yang bisa kasih kamu passive income.
4. Nggak sadar seberapa pentingnya asuransi kesehatan
Pas kita bekerja di perusahaan–terutama yang sudah besar, ada tunjangan yang kadang nggak terasa, tapi nyatanya penting banget. Yaitu tunjangan kesehatan, baik berupa tunjangan kesehatan dari kantor sendiri, ataupun kepesertaan BPJS Kesehatan ataupun asuransi kesehatan swasta.
Kasus yang sering terjadi adalah, selama kerja, kita kayak nggak mikir untuk kesehatan ini. Karena, biasanya begitu kita sakit, langsung deh ada HR yang ngurusin. Tapi, setelah pensiun, tentunya kita akan “kehilangan” fasilitas ini. Iuran pun (lupa) nggak dibayar. Akibatnya, kepesertaan ditangguhkan.
Pas sakit, baru deh bingung.
Padahal ya namanya pensiunan, risiko sakit akan semakin besar. Karena nggak punya asuransi, makanya mesti menanggung beban rumah sakit atau obat-obatan sendiri. Ketika uang akhirnya habis, karena rawat inap dan rawat jalan itu enggak pernah murah, akhirnya berutang.
Endingnya sudah ketahuan, bakalan gimana.
5. Lifestyle lagi
Nah, ini memang bukannya mau mengulang poin pertama di atas sih. Tapi hal ini memang lazim terjadi di Indonesia, dan rata-rata dialami oleh keluarga yang hidup di sini.
Yaitu anak-anak yang masih saja belum mandiri padahal sudah kerja, sudah married, sampai punya anak.
Bukan, lagi-lagi saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Kadang ya orang tua yang memang nggak tega atau nggak mau ditinggal sama anak-anaknya. Maunya semua ngumpul. Kalau di kalangan orang Jawa ada pepatah, “mangan ora mangan, sing penting ngumpul.” Artinya, makan enggak makan, yang penting bisa berkumpul satu keluarga.
Lah, jadilah nggak makan beneran. Dalam artian, nggak bisa sejahtera hidupnya.
Lagi-lagi ini adalah mindset warisan. Dari nenek moyang, hal ini sudah berlaku. Akibatnya, kadang yang terjadi, orang tua (yang bahkan sudah pensiun) justru harus menanggung hidup 2, 3, 4, entah sampai berapa keluarga sekaligus.
Tapi, jangan salah ya. Enggak semua yang hidup dengan orang tua berarti pilihan yang buruk. Ada kok yang justru bisa berkolaborasi sama orang tua agar bisa sama-sama sejahtera. Kalau memang bisa berbagi peran dengan baik, ya tentu nggak ada salahnya. Intinya kan, jangan sampai pilihan ini menjadi beban, apalagi buat orang tua kita dan kita sendiri.
Jadi memang sangat tergantung kondisi. Tidak semua yang menjalani pilihan ini berarti keliru ya. Tapi, di banyak kasus, ini memang jadi penyebab gagalnya orang tua menjalani masa pensiun yang sejahtera.
Nah, bagaimana denganmu? Coba bercermin dari orang tuamu sekarang? Bagaimana hidup mereka? Apakah di usia mereka yang sekarang–yang mungkin sudah memasuki usia pensiun–mereka sudah bisa dibilang hidup sejahtera? Ataukah, masih jauh dari sejahtera? Atau justru sekarang mereka yang menyokong hidupmu?
Dari sini, kemudian coba renungkan dan pikirkan, bagaimana dengan dirimu sendiri kelak? Apakah kamu akan meneruskan jejak “gaya” orang tuamu saat menjalani masa pensiun mereka? Atau, kamu pengin punya “style” lain?
Kalau sudah ada bayangan, segera bangun dana pensiunmu. Asumsi saya sih, nggak ada di antara kamu yang mau menjalani masa pensiun yang harus bekerja keras bagai quda lagi atau pengin hidup tidak sejahtera. Karenanya, ayo persiapkan sejak sekarang.
Penulis
Carolina Ratri berprofesi sebagai penulis konten untuk website dan media sosial profesional. Bergabung menjadi penulis website Diskartes.com sejak Juni 2019.