Saat dua orang (atau lebih) berada dalam satu wadah (apa pun) itu akan wajar jika kemudian terjadi benturan-benturan kecil, karena pada dasarnya manusia–selain punya jiwa sosial–juga punya pribadi masing-masing yang unik. Demikian juga dalam keluarga. Jika seorang perempuan dan pria akhirnya bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan dan menjadi keluarga baru, maka akan perlu beberapa penyesuaian juga.
Iya, meskipun mungkin sudah pacaran sekian lama. Tapi teteup aja berbeda begitu keduanya akhirnya menikah.
Nah, tahu enggak, salah satu problem terbesar yang biasanya harus dihadapi oleh keluarga baru dalam usahanya untuk “berkolaborasi” hidup? Soal keuangan.
SunTrust Bank pernah melakukan survei, dan ternyata 35% pasangan suami istri yang menjadi responden menyebutkan bahwa uang merupakan penyebab pertama dari kehancuran rumah tangga mereka.
Inget banget, dulu-dulu di awal menikah, soal keuangan ini juga adaaa aja yang muncul jadi kesalahan saya dan suami.
Karena itu, buat kamu, Anda, klean semua yang akan segera membentuk keluarga baru, coba belajarlah dari kami-kami yang sudah pernah melewatinya. Jangan sampai melakukan kesalahan yang sama ya.
5 Kesalahan Keuangan yang Biasa Dilakukan oleh Keluarga Baru
1. Tidak membuka komunikasi finansial sejak awal
Kadang, ada rasa nggak enak menelusup kalau harus nanya berapa gaji pacar (sebelum menikah). Kesannya matre banget. Bener nggak? Belum tentu nikah juga, udah rese masalah gaji.
Tapi, ini akan berbeda 180 derajat begitu kalian menikah. Masing-masing harus tahu gaji pasangannya. Buat apa? Ya, buat membuka komunikasi finansial sejak awal dong!
Tahu enggak sih, ada 2 dari 5 pasangan yang saling menyembunyikan kondisi finansial masing-masing, yang akhirnya ke depannya menjadi masalah utama retaknya hubungan pernikahan. Ini menurut survei National Endowment for Financial Education. Nah loh.
Tujuan finansial keluarga enggak akan bisa dirumuskan kalau tidak ada keterbukaan sejak awal.
Jadi, apa saja yang harus dibicarakan terkait keuangan keluarga baru ini?
- Masing-masing punya duit “modal” berapa? Misalnya, udah pada nabung masing-masing sebelum nikah.
- Gaji berapa, terutama jika masing-masing bekerja atau punya bisnis.
- Punya utang bawaan enggak?
- Ke depan mau ngapain aja?
Saya, meski dulu melakukan kesalahan keuangan yang pertama ini–nggak ngobrolin gaji sejak awal nikah–tapi masih merasa beruntung, dapat suami yang enggak hobi ngutang.
Ada teman baik, pacaran lama terus menikah. Ternyata si istri bawa utang banyak. Ketahuannya setelah beberapa bulan menikah, lagi. Untung saja keduanya bisa mencapai kesepakatan, meski sahabat saya (yang cowok) memang harus ikhlas ikut membantu membereskan utang istrinya.
Nah, biasanya juga, mengawali untuk ngobrol keuangan sama pasangan ini juga rada-rada awkward. Tapi ada kok jurusnya.
Buat para istri ya (ssst, ini jurus saya kalau mau ajak ngobrol suami sih), coba dandan yang cantik dulu. Ini memang kayak enggak ada hubungannya sih, bisa diserang SJW juga sebenarnya. Tapi anggaplah begini. Kondisi keuangan mungkin saja kusut, jadi jangan sampai bikin suami tambah sumpek karena mesti ngobrol sambil liat kita yang awut-awutan.
Kan pada dasarnya, sesuatu yang indah itu bisa meningkatkan mood? Lagian, kita sendiri juga akan merasa lebih baik kok, kalau bisa tampil lebih cantik di depan suami. Pedenya nambah. Percaya deh.
Strategi lain yang bisa dilakukan untuk bisa mengajak pasangan ngobrol soal keuangan tanpa awkward adalah ajak makan di luar, di resto atau kafe kesayangan suami. Monmaap, bukannyamenyepelekan atau menggeneralisasi, tapi biasanya sih suami-suami (baca: pria pada umumnya) itu akan lebih anteng dan fokus diajak ngobrol kalau perutnya terisi dengan makanan kesukaannya.
Ya, kalau mau dimasakin sendiri sih juga enggak apa. Cuma saya aja kali yang kalau habis masak merasa capek dan panas, sehingga mood malah jadi enggak bagus buat ngobrol. Hahaha.
2. Punya tujuan keuangan sendiri-sendiri
Biasanya sih ini merupakan “hasil” dari kesalahan keuangan yang pertama di atas itu. Karena enggak ada keterbukaan dan enggak pernah ada komunikasi finansial, makanya masing-masing punya tujuan sendiri-sendiri.
Satunya pengin cepat-cepat punya anak, lainnya pengin punya anak 5 tahun lagi. Satunya pengin punya rumah sendiri, yang lain sudah merasa cukup tinggal di rumah orang tua.
Nggak akan sinkron sampai kapan pun kalau kayak gini.
So, duduklah berdua dan ngobrol. Cuma itu aja sih solusinya. Dari sini, kemudian bisa direncanakan, hidup ke depannya seperti apa. Jangan lupa juga untuk berbagi peran. Misalnya, siapa yang dapat jatah bayar-bayar tagihan bulanan (listrik, PDAM, dan seterusnya), siapa yang bertanggung jawab pada logistik, siapa yang menabung buat pensiun, siapa yang mesti siapkan dana pendidikan. Dan seterusnya.
3. Menyerahkan pengelolaan keuangan keluarga hanya pada satu orang
Nah, ini juga “buah” dari nggak adanya komunikasi finansial sejak awal. Enggak ada pembagian peran dalam pengelolaan keuangan keluarga baru.
Ada beberapa jenis “kesalahan” nih.
Satu, suami cuma maunya cari duit aja. Begitu dapat duit (gaji, tunjangan, pemasukan dari investasi, bisnis, atau apa pun) dikasih istri sepenuhnya. Terus? Terus ya, suami cari duit lagi.
Pernah nih ikutan dalam satu training keuangan. Ada salah satu peserta ditanya oleh pemateri, bagaimana siklus keuangan dalam keluarganya? Seharusnya sih, setelah menerima gaji, terus untuk investasi dan asuransi, bayar utang, lalu bagi sesuai pos kebutuhan hidup, dan seterusnya kan?
Ini enggak. Yang bersangkutan cuma bilang, “Habis gajian … kasih ke istri. Terus ….” Krik krik krik. Enggak ada lanjutannya. Dia nggak tahu duit kerja kerasnya dipakai buat apa aja sama istri. Jadilah yang bersangkutan dikasih PR sama pemateri, “Nanti sampai di rumah, tanya istri ya? Duitnya buat apa aja.”
Ya, untung sih istrinya memang pinter kelola keuangan. Kalau enggak? Ouch!
Dua, mindset bahwa suamilah si “mesin” pencari uang dan jadi tulang punggung, maka ya udah semua urusan suami. Istri cukup urus dan merawat anak-anak saja.
Nah, ini bisa lanjut ke kesalahan finansial keluarga baru yang berikutnya nih.
4. Melakukan kekerasan finansial terhadap pasangan
Well, ini sih sebenarnya adalah dalil-dalil yang sering didengungkan oleh mereka yang concern terhadap kesetaraan gender sih. Bahwa seorang perempuan–meski sudah menikah–haruslah tetap mandiri secara finansial.
Karena apa? Ya, bukannya mengharap yang buruk-buruk. Tetapi, jika ada satu hal yang membuat suami tidak bisa lagi menjadi tulang punggung keluarga, maka istri bisa dengan sigap menggantikan. Kalau si istri “terlalu nyaman” di rumah, enggak ngapa-ngapain, ketika harus mengambil alih peran untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka biasanya akan gagap dulu untuk beberapa lama.
Namun, kenyataannya, banyak suami yang meminta istri di rumah saja, totally urus anak, enggak boleh ngapa-ngapain sama sekali. Dikasih uang belanja sih, tapi terbatas banget. Kalau istri minta tambah uang belanja, istri harus mengajukan proposal layaknya pegawe kantoran–rinci banget, pokoknya jadi enggak nyaman deh.
Ya, kalau hal ini menjadi kesepakatan kedua pihak ya enggak jadi masalah sih seharusnya. Tapi kalau enggak? Hanya pemaksaan dari satu pihak saja? Ini akan menjadi kekerasan finansial, bahkan bisa termasuk dalam KDRT.
5. Punya dana rahasia untuk keperluan rahasia
Hayolohhh. Buat apa coba punya dana rahasia, yang enggak boleh diketahui oleh pasangan? Semoga alasanmu bagus dan kuat. Misalnya, karena pasanganmu orangnya ceroboh, susah diajak disiplin soal keuangan, boros dan enggak bisa dibilangin, makanya kamu lantas bikin sendiri semacam dana darurat, tanpa sepengetahuannya.
Kapan hari juga sempat baca-baca curhatan para suami, yang suka sepik-sepik olshop supaya kasih nota dengan harga barang yang jauh lebih rendah. Demi menghindari omelan istri, katanya.
Ngakak deh bacanya. Ya ampun. Jadi kepikiran, jenjangan suami juga gitu ya? Tapi enggak sih keknya. Kemarin beli sepatu (lagi) pun bilang, padahal ya sudah punya banyak pasang sepatu yang ada fungsinya sendiri-sendiri. Kok ya masih beli aja. Sedangkan istrinya masih mengandalkan sepatu hasil endorse-an. #eh
Tapi kesalahan keuangan kelima ini keknya banyak sih yang ngalamin ya? Enggak cuma untuk pasangan yang baru nikah aja sih. Bahkan mungkin kita-kita yang udah belasan, bahkan puluhan, tahun menikah juga melakukannya.
Well, ya sudahlah. Atur saja masing-masing. Istri-istri pun–yaqin banget–juga melakukan hal yang sama kok. Banyak yang hobi beli tas branded, harganya mahal, tapi ngaku KW ke suami.
Asal jangan jadi kebiasaan aja sih. Bakalan runyam juga akhirnya, kalau terlalu banyak kebohongan terjadi. Apalagi dalam rumah tangga.
So? Masih melakukan berapa kesalahan keuangan nih? Semoga sih enggak semuanya. Kalaupun masih ada yang dilakukan sampai sekarang, berarti sudah cukup aware untuk segera melakukan tindakan perbaikan. Jangan dibiarkan berlarut-larut.
Duduklah berdua, cari tempat yang nyaman dan tanpa gangguan. Dan mulai mengobrol.
Have fun!