Assalamualaykum!
Pada suatu pagi yang cerah di bulan Januari 2018, saya duduk manis di tribun setengah lingkaran menghadap ke podium. Ruangan besar di kampus ekonomi tertua di Indonesia ini, cukup ramai dengan tamu delegasi pelajar dan pengajar dari berbagai negara.
Pandangan saya fokus tertuju ke depan. Ada seorang cendekiawan yang cukup familiar sosoknya dalam benak saya, karena telah beberapa kali mengajar di kelas kami. Beliau adalah Professor Dorodjatun Kuncorojakti, sang Menteri Koordinator Perekonomian 2001-2004 dan mantan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Wow, pasti menarik ceramahnya hari ini.
Di samping podium itu duduk berjajar pula tiga orang profesor lain dari Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan. Selain pak Teguh Dartanto sang moderator, dua orang lainnya juga adalah pemateri utama kuliah umum. Professor Woi seorang guru muda dari Korea Selatan dan Ibu Professor Che dari University of Malaya. Mereka sedang menunggu giliran untuk berorasi setelah guru besar kami, Prof Djatun.
Hari itu, saya dan puluhan peserta konferensi lainnya sedang dikuliahi tentang inovasi, teknologi, dan perubahan pola ekonomi. Judul acaranya, Asia Pacific Business and Economic Conference. Dan pagi itu adalah paparan dari pembicara yang paling dinanti-nanti, yakni keynote speakers.
“Setelah perang dunia kedua, negara-negara di dunia tidak mau lagi terlibat dalam peperangan secara fisik. Kita, sedang berada di zaman itu, di mana perangnya adalah perang ekonomi”, demikian kira-kira terjemahan dari kalimat pembuka pidato Prof. Djatun. Paragraf-paragraf setelah ini adalah resume dari kuliah umum hari itu.
Disruptive Era?
Aturan geografis kewilayahan sudah tidak relevan lagi dalam bisnis pada masa ini. Kita bisa berinvestasi di mana saja. Dan semuanya berkat bantuan teknologi. Teknologi itu sendiri, tidak selalu menguntungkan, baik dalam kacamata mikro maupun makroekonomi. Sebut saja bagaimana dia bekerja mempercepat dan mempermudah kehidupan kita, namun pada sisi yang lain banyak lapangan pekerjaan yang hilang akibat kehadiran teknologi. Banyak bisnis yang gulung tikar.
Selanjutnya, Prof Woi menambahkan bahwa di berbagai belahan dunia mana pun, banyak masyarakat yang menjadi semakin makmur dengan kehadiran teknologi. Namun demikian, masih banyak pula yang tertinggal dari kencangnya laju perkembangan zaman. Dan kesenjangan antara kedua kelompok yang maju dan tertinggal itu semakin hari justru semakin jauh. Dalam bahasa ekonomi pembangunan, kita menyebutnya terjadi divergensi.
Mari sedikit lebih maju memahami fenomena teknologi dan ekonomi ini. Saya yakin Anda sering mendengar tentang Uber si perusahaan taxi, AirBnB si perusahaan akomodasi, Skype si perusahaan komunikasi, Alibaba si perusahaan retailer, Facebook si perusahaan sosial media, dan Netflix si perusahaan sinema? Ya! Mereka sedang menjadi raksasa.
Perusahaan tadi akan menjadi kampiun di bidang usahanya masing-masing, namun tak satupun yang memiliki secara lengkap wujud fisik peralatan teknis yang biasa digunakan oleh pesaing-pesaingnya. Dan ini membutktikan bahwa teknologi komunikasi telah memotong dengan sadis banyak sekali rantai proses produksi yang dulu menjadi wajib untuk dibangun saat pebisnis menjalankan usahanya. Fenomena ini disebut dengan disruptive era of innovation and technology.
Begitupun dengan smartphone. Hari ini saja, kemajuan industrinya sudah berhasil merangkum 5 benda sekaligus menjadi satu wujud benda kotak serbaguna. Pada lima belas tahun yang lalu, hampir tidak mungkin kita jumpai orang-orang di pinggir jalan dengan mudahnya mengakses smartphone yang mempunyai banyak fungsi, televisi, kamera foto/video, komputer, music player, dan telepon genggam sekaligus hanya dalam wujud sebuah benda yang lebih kecil dari buku.
Teknologi cerdas itu ada dalam genggaman. Hampir semua orang di perkotaan yang menggunakannya selama 24 jam sehari. Karena itu pula, dia disebut smartphone.
Betapa loncatan yang luar biasa dalam teknologi komunikasi dan informasi ini telah terjadi hampir di seluruh penjuru dunia. Dengan kehadiran smartphone, banyak perusahaan dipaksa gulung tikar karena tak mampu menghasilkan produk yang sejalan dengan kemajuan zaman. Yang lebih “menjengkelkan” lagi, mereka semua dapat dijual dengan harga yang jauh lebih murah.
Revolusi Industri 4.0
Saya jadi teringat lagi dengan petuah Guru Besar ekonom kita lainnya, Prof. Rhenald Kasali, dalam bukunya bertajuk “Disruption”. Beliau mengingatkan bahwa kita saat ini tengah berada pada era “internet of things“, di mana kecepatan perkembangan teknologi informasi telah melaju secara ekponensial, yang artinya orang-orang yang masih berpikir secara linier sudah pasti akan tertinggal oleh pesatnya kemajuan peradaban.
Hukum Moore berlaku! Moore menyatakan bahwa sekali dalam 18 bulan, kompleksitas mikroprosesor komputer meningkat 200 persen. Belakangan bahkan dibutuhkan waktu yang lebih singkat daripada itu. Lompatan luar biasa dengan teknologi informasi sebagai pelaku utamanya ini adalah kata kunci dari revolusi industri 4.0.
Kita berada pada masa itu. Jika dulu revolusi industri yang pertama dimulai dengan penemuan mesin uap (James Watt 1769), lalu yang kedua dimungkinkannya produksi massal dan kehadiran listrik (1850), yang ketiga dengan penemuan komputer untuk pertama kalinya (1970-an), maka yang keempat ini adalah dengan digunakannya internet of things untuk menyelesaikan berbagai masalah hingga menjadi pemikir dalam proses industri (dicetuskan di Jerman pada 2011, masih berlangsung sampai hari ini).
Disadari atau tidak, kemudahan berbagai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari berkat kehadiran teknologi, juga memberi ancaman yang “menakutkan” bagi banyak profesi. Apakah anda pernah mendengar tentang artificial intelligence?
Iya, kecerdasan buatan.
Lebih populer dikenal sebagai robot. Kemajuan teknologi yang lain lagi yang sedang menggoda sekaligus mengancam banyak profesi. Prof Woi, pembicara dari Korea Selatan, pada hari itu bercerita, riset telah menyimpulkan bahwa dalam dua puluh tahun ke depan, robot akan mengambil alih banyak tugas dari profesi kita. Dan inilah beberapa profesi yang “terancam” tergantikan oleh robot itu:
1. Telemarketers
2. Akuntan dan auditor
3. Retail salesperson
4. Technical writers
5. Real estate sales agents
6. Word processor
7. Economist
8. Athletic trainers
9. Dentist
10. Recreational therapists
Wow. Setidaknya ada 3 peluang profesi saya yang masuk list itu. Bagaimana dengan anda?
Mendengar paparan demikian, sebagai seorang akuntan yang kehadirannya terancam digantikan oleh robot, saya sempat galau. Namun, ketika pembicara ketiga tampil, ada sedikit kelegaan yang terasa. Prof. Che, seorang guru besar Akuntansi dari Malaysia, menyanggah kesimpulan dua guru sebelumnya tentang profesi yang akan tergusur oleh robot itu tidak perlu dikhawatirkan.
Hingga saat ini, di Malaysia, Akuntansi masih menjadi jurusan primadona bagi para calon mahasiswa. Dan hal itu memberikan harapan bagi kita manusia untuk tetap lebih unggul dan bisa bekerja lebih baik daripada robot. Dan beliau yakin itu benar.
Karena, menurut Prof Che, masih ada hal-hal yang belum mampu dilakukan oleh artificial intelligence pada saat ini. Yaitu, berfikir analitis dan pemahaman secara komprehensif atas teori-teori. Bagaimanapun, robot tidak memiliki rasa dan kebijaksanaan seperti manusia. Tidak hanya di profesi akuntan, tapi juga di bidang-bidang profesi yang lain. Manusia masih bisa (banget) untuk bekerja lebih baik daripada robot.
Nah, kalau anda setuju yang mana?
Wassalamualaykum!
Penulis
Sofia Mahardianingtyas berprofesi sebagai auditor Pemerintah dengan latar belakang pendidikan Akuntansi Pemerintahan STAN dan saat ini sedang menyelesaikan Master of Economics dari Universitas Indonesia. Beliau join dengan tim Diskartes.com sejak tahun 2018.
Billy mengatakan
Profesornya mending percaya yg mana tu kakanda?
Profesor bj Habibie kok gak ikutan ya ..
Sofia mengatakan
Tiga-tiganya professor, mas… Karena masih dalam ranah bukan ilmu pasti, memang debatable… Tapi satu hal yang disepakati, kemajuan teknologi di era revolusi industri 4.0 ini emang sebuah keniscayaan yg gak bisa dihindari dampak positif dan negatifnya.
Prof Habibie kebetulan tidak hadir karena acaranya lebih ke ruang lingkup ekonomi, sedangkan beliau lebih ke engineering. Mudah-mudahan lain waktu bisa menulis ceramah prof Habibie…