diskartes.com – Assalamualaykum para investor!
Ketika menelepon ke kolega-kolega saya di Indonesia bagian timur, sering banget jawaban di ujung telepon saya bunyi seperti ini, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak.. bla…bla… bla..”
Yeap semenjak bertugas dengan job desc yang baru, membuat saya sering banget berhubungan dengan rekan-rekan di Provinsi Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Tentu jika harus sering-sering berangkat ke sana akan menyedot dana yang besar, pun sekarang APBN sedang repot. Oleh karena itu cara terampuh adalah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang ada. Ironisnya infrastruktur komunikasi di wilayah timur Indonesia belum terfasilitasi, bahkan ada seorang warga dari sana ketika berkunjung ke Jakarta cerita ke saya begini,
“Pak Kartes maaf sekali kami sangat susah dihubungi, ini disebabkan jaringan internet sedang dibetulkan selama dua minggu. Jadi kami tidak bisa berkirim email Bapak. Untuk mencari sinyal telepon, kami juga harus berjalan kaki cukup jauh. Hanya tempat-tempat tertentu yang mendapat sinyal. Tapi kami di Kabupaten lebih mendingan masih bisa dapat sinyal, penduduk yang di desa ada yang tidak dapat, Bapak.”
Beberapa kali saya membaca cerita seperti ini di berita, majalah, atau melihat di layar televisi. Tapi kali ini lain, karena mengalami dan ngobrol langsung dengan si pelaku. Di saat Jakarta sedang berlomba-lomba dengan 4G nya yang super duper keren, kawasan di bagian timur Indonesia beda. Alih-alih 3G untuk ngenet, sinyal buat telepon aja susah Bos. Dibandingkan Jawa, jumlah BTS di Maluku dan Papua tidak sampai sepersepuluhnya!
Generasi Baru Sistem Komunikasi Indonesia
Tidak ada yang perlu disalahkan, karena nggak akan ada habisnya. Saling menyalahkan bukan solusi, lebih elok jika pemerintah, bareng legislatif, dan swasta bahu membahu mewujudkan salah satu nawacita yaitu membangun daerah dari pinggir. Ketika komunikasi sudah terjalin dengan rapi dari daerah terpencil dan desa yang sulit dijangkau, biaya yang timbul bisa sangat ditekan.
Memang alasan klasik adalah infrastruktur yang belum memadai, dan percayalah saya ribuan kali mendengar itu ketika menanyakan alasan susahnya menciptakan “sesuatu” disana. Bayangkan saja, di salah satu kabupaten di Papua, untuk menjangkau salah satu desa terpencilnya dibutuhkan waktu dua hari dua malam dengan berjalan kaki. Nampaknya sebelum memikirkan pembuatan BTS, karya jalan lebih dibutuhkan di daerah seperti itu.
Untungnya angin segar mulai berhembus, revisi PP 52 tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000 mengindikasikan pergeseran sistem telekomunikasi di Indonesia dari semula passive network sharing menjadi active network sharing. Di era jaringan pasif, setiap operator seluler memiliki keharusan untuk membiayai pembangunan dan perawatan dari BTS masing-masing. Wajar saja bisnis ini bisa dibilang padat modal, investasi yang dikeluarkan sudah banyak. Nah dengan sistem jaringan aktif, maka dimungkinkan satu BTS disewakan kepada perusahaan operator seluler lainnya.
Apabila kita mengambil sudut pandang teori keunggulan komparatif David Ricardo dalam konteks skala yang lebih kecil tentunya, maka kebijakan baru ini memiliki potensi yang memberi keuntungan ke semua pihak. Pertama untuk si pemberi sewa, mereka bisa dapat duit tambahan dengan menyewakan BTS-nya. Kedua dari sisi penyewa, perusahaan bisa menekan biaya investasi dengan hanya menyewa BTS milik perusahaan lain. Kemudian terakhir manfaat di masyarakatnya, warga akan mendapat akses yang lebih bagus dan merata.
Stimulasi Ekonomi Dari Timur
Ruang untuk berinovasi ada dimana saja, teknologi 4G yang belum teraplikasikan secara global menjadi salah satu tantangan di tahun ini. Bahkan di Jakarta masih ada lokasi yang belum tercover area 4G, apalagi di daerah lain. Seandainya di Jakarta atau pulau Jawa secara keseluruhan bisa ditingkatkan kondisi jaringannya, secara tidak langsung akan mendorong kondisi perekonomian daerah yang berujung ke skala nasional. Namun demikian tidak akan ada “lompatan ekonomi” signifikan, dikarenakan Pulau Jawa sudah menyumbang 58% daru PDB nasional dan hampir mencapai titik jenuh pertumbuhan ekonomi. Bagaimana jika kita menstimulasi daerah Timur?
Secara logika kasar, pembangunan infrastruktur telekomunikasi di bagian Timur memang menyedot banyak dana. Tetapi itu sudah menjadi kewajiban pemerintah dan swasta, sehingga mau tidak mau pasti akan dilaksanakan. Dengan potensi pertumbuhan yang masih bisa meningkat dengan drastis, maka bukan tidak mungkin kontribusi Maluku dan Papua kepada PDB nasional akan melonjak tinggi dari sebelumnya 2%.
Siapa sih yang ga kenal Raja Ampat? Itulah efek positif dari jaringan internet, informasi menyebar luas bahkan sampai ke pelosok Yunani sana. Atau Cartensz Pyramid, salah satu dari 7 puncak tertinggi di dunia yang menjadi buruan semua pendaki gunung. Dengan infrastruktur komunikasi yang memadai, potensi pariwisata akan semakin terekspose dan meningkatkan pendapatan daerah. Pada akhirnya, perekonomian nasional pun akan terkerek.
Selain industri pariwisata, bidang lainnya juga berpotensi meningkat secara positif. Sebut saja seni budaya, kemaritiman, komoditas layak ekspor, dan masih banyak lagi. Bukan hanya Freeport yang menjadi lahan “basah”, tapi jika berani berinvestasi, maka seluruh Indonesia akan silau dengan ladang emas yang lama tertimbun dari timur.
Wassalamualaykum para investor!
# Tulisan ini digunakan dalam kompetisi untuk mendukung Hari Kemerdekaan ke-71 Republik Indonesia
sebaya mengatakan
mantab, selamat terpilih menjadi pemenang lomba blok kita indonesia. tulisannya memang keren
diskartes mengatakan
Terima kasih kawan dari Sebaya..
Sukses juga untuk Anda
Helena mengatakan
Katanya ada program pemerintah no blank spot di 2019. Semoga terwujud. Saya juga mengalami yang namanya susah sinyal dan susah listrik waktu tinggal di Sulawesi. Btw, selamat (lagi) ya!
diskartes mengatakan
Laaaah, baru ya websitenya..
punya berapa sih..hahaha
No blank spot sebenarnya uda mulai diinisiasi dari sekarang. dengan adanya kebijakan ketenaga listrikan yang baru diresmikan presiden beberapa waktu lalu di Papua..
Btw makasih mba.. ALhamdulilah..hehe