Sektor perbankan berperan vital dalam sistem keuangan dan merupakan salah satu motor penggerak utama perekonomian suatu negara. Bank menjalankan fungsi intermediasi krusial, yaitu menghimpun dana dari masyarakat atau entitas yang memiliki kelebihan dana. Untuk apa dana tersebut? Tentu disalurkan kembali kepada yang membutuhkan dana dalam bentuk kredit.
Kinerja sektor perbankan yang optimal akan mendukung perputaran uang yang lebih cepat dan besar. Dampak positifnya bisa mendorong peningkatan kegiatan ekonomi riil. Perubahan dalam kondisi makroekonomi, seperti tingkat inflasi, suku bunga, nilai tukar mata uang, dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi perbankan.
Aspek-aspek tersebut meliputi:
- profitabilitas
- kualitas aset (tercermin dari rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan/NPL)
- tingkat likuiditas
Implikasi dari perubahan pada aspek-aspek fundamental ini kemudian akan terefleksi pada pergerakan harga saham perbankan di pasar modal.
Risiko di Perbankan
1. Risiko Suku Bunga
Bank memperoleh sebagian besar pendapatannya dari selisih antar bunga. Bunga yang diterima dari penyaluran kredit dan bunga yang dibayarkan kepada para deposan, namanya Net Interest Margin (NIM). Maka perbankan juga harus perhatikan suku bunga acuan yang ditetapkan oleh bank sentral. Suku bunga tersebut yaitu BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), dimana memiliki dampak langsung terhadap struktur suku bunga di pasar.
Disinilah seninya,
Kenaikan suku bunga acuan dapat berpotensi meningkatkan NIM jika bank mampu. Namun di sisi lain dapat menekan permintaan kredit dari masyarakat dan dunia usaha.
Lho kok bisa?
Ya karena biaya pinjaman menjadi lebih mahal. Kondisi ini juga berpotensi memperburuk kualitas aset dengan meningkatkan risiko gagal bayar debitur. Harga saham perbankan sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga.
2. Risiko Kredit
Ini risiko ketika debitur gagal memenuhi kewajiban pembayaran pinjamannya. Tingkat risiko kredit sangat dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi, tingginya inflasi akan menggerogoti daya beli riil masyarakat dan profitabilitas perusahaan. Suku bunga tinggi juga meningkatkan beban angsuran, dan semuanya dapat berkontribusi pada peningkatan rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loans (NPL).
Peningkatan NPL tidak hanya secara langsung menggerus profitabilitas bank melalui kebutuhan pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang lebih besar, tetapi juga dapat merusak kepercayaan investor terhadap kemampuan manajemen risiko bank tersebut, yang pada gilirannya berdampak negatif pada valuasi sahamnya di pasar.
3. Risiko Likuiditas
Bisa ga bank memenuhi seluruh kewajiban finansial jangka pendeknya yang jatuh tempo? Jika seandainya ada penarikan dana nasabah.
Ini namanya risiko likuiditas.
Dalam kondisi makroekonomi yang memburuk atau di tengah krisis kepercayaan, dapat terjadi penarikan dana secara masif dan tiba-tiba oleh nasabah (bank run). Apa akibatnya? Bank mengalami kesulitan likuiditas parah.
Lebih jauh, kondisi makro yang buruk juga dapat memperketat likuiditas di pasar uang antar bank, sehingga bank susah mendapatkan pendanaan jangka pendek. Risiko likuiditas memiliki potensi dampak sistemik, di mana kesulitan yang dialami satu bank dapat dengan cepat menular ke bank lain, terutama dalam situasi pasar yang panik.
Oleh karena itu, saham perbankan sangat sensitif terhadap berita atau rumor yang berkaitan dengan kondisi likuiditas suatu bank atau sistem perbankan secara keseluruhan
Kinerja BBCA, BBRI, dan BMRI dalam Krisis Moneter 1997/98
Untuk paham yang disebut sebagai krisis ekonomi, maka kita pelajari dulu secara panjang. Kondisi makroekonomi Indonesia selama periode 1997-1999 menunjukkan tekanan yang luar biasa, coba lihat deh.

Sektor perbankan Indonesia mengalami guncangan hebat. Krisis kepercayaan meluas, memicu penarikan dana besar-besaran oleh nasabah (bank run) dari sejumlah bank. Banyak bank menghadapi lonjakan kredit macet (NPL) yang parah karena perusahaan-perusahaan, terutama yang memiliki utang dalam valuta asing, tidak mampu memenuhi kewajiban pembayarannya akibat pelemahan Rupiah.
Akibatnya, likuiditas di sistem perbankan mengering, dan banyak bank mengalami kolaps atau diambil alih oleh pemerintah melalui skema Bank Take Over (BTO). Bank-bank ini kemudian masuk dalam program rekapitalisasi yang dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), atau Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA). Untuk meredam kepanikan lebih lanjut, pemerintah menerapkan skema penjaminan penuh atas seluruh simpanan nasabah (blanket guarantee). Fungsi intermediasi perbankan secara praktis lumpuh selama puncak krisis. Krisis 1998 bukan hanya sekadar krisis likuiditas, tetapi juga merupakan krisis solvabilitas bagi banyak bank di Indonesia.
Intervensi pemerintah melalui BPPN dan program rekapitalisasi yang masif menjadi langkah krusial untuk mencegah keruntuhan total sistem perbankan, meskipun langkah ini harus dibayar dengan biaya fiskal yang sangat besar bagi negara.
Kondisi BBCA (97/98)
Bank BCA mengalami dampak yang sangat parah akibat krisis. Bank ini menghadapi bank run hebat pada tahun 1998. Akibatnya, BCA diambil alih oleh BPPN/IBRA pada Mei 1998 dan dimasukkan ke dalam program rekapitalisasi pemerintah.
Sebagai bagian dari proses rekapitalisasi, Pemerintah Indonesia melalui IBRA mengambil alih 92,8% saham BCA pada tahun 1999. Kepemilikan ini merupakan kompensasi atas dukungan likuiditas yang diberikan oleh Bank Indonesia dan konversi pinjaman pihak terkait menjadi obligasi pemerintah. BCA baru melakukan Penawaran Umum Perdana (IPO) saham pada tahun 2000.
Kondisi BBRI (97/98)
BBRI juga tidak luput dari dampak krisis finansial Asia 1997/1998. Sebagai bank BUMN, BRI menjalani program restrukturisasi pasca-krisis ini. Fokus utama BRI pada segmen UMKM, memberikan karakteristik resiliensi yang berbeda dibandingkan dengan bank-bank yang lebih fokus pada korporasi besar, terutama yang memiliki banyak utang valas.
Krisis menyebabkan banyak usaha, termasuk UMKM, tutup dan angka pengangguran meningkat tajam, yang secara langsung berdampak pada kemampuan bayar nasabah UMKM BRI. BRI baru melakukan IPO pada tahun 2003.
Kondisi BMRI (97/98)
Bank Mandiri didirikan pada 1998, hasil merger dari empat bank BUMN yaitu Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).
Langkah merger ini merupakan bagian integral dari program restrukturisasi perbankan yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai respons terhadap krisis moneter. Tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan bank-bank BUMN tersebut dari potensi kebangkrutan dan menciptakan sebuah entitas perbankan baru yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih mandiri. Bank Mandiri sendiri baru melakukan IPO pada tahun 2003.
Krisis Keuangan Global 2008
Krisis Keuangan Global 2008, yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat , dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan memberikan tekanan pada sistem keuangan global, termasuk Indonesia. Dibandingkan dengan Krisis Moneter 1997-1998, fundamental makroekonomi Indonesia pada tahun 2008 menunjukkan ketahanan yang jauh lebih baik. Namun, dampak dari krisis global tetap terasa.
Saham BBCA tidak luput dari tekanan pasar. Pada Januari 2008, harga saham BBCA berada di sekitar Rp3.500 per lembar (setelah disesuaikan dengan stock split 1:2 pada tahun 2008 dari harga Rp7.200). Selama krisis, harga saham BBCA dilaporkan turun hingga 34% ke level sekitar Rp2.600 dalam beberapa bulan. Kondisi BBRI dan BMRI juga tidak lebih baik karena market secara keseluruhan ikut tertekan.
Pandemi Covid 2020
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 membawa dampak disrupsi yang masif terhadap aktivitas ekonomi global dan domestik, menciptakan krisis kesehatan yang dengan cepat bertransformasi menjadi krisis ekonomi. Krisis COVID-19 memiliki karakteristik yang unik dibandingkan krisis-krisis sebelumnya, karena pemicu utamanya adalah shock kesehatan global, bukan berasal dari kerapuhan sektor keuangan atau krisis mata uang domestik.
Sektor perbankan menghadapi tantangan signifikan selama pandemi. Terjadi peningkatan risiko kredit akibat tekanan finansial yang dialami oleh dunia usaha dan rumah tangga. Permintaan kredit baru melambat, bahkan mengalami kontraksi di beberapa segmen usaha.
Analisis Saham BBCA
Laba bersih BCA mengalami penurunan pada tahun 2020, yang mencerminkan dampak awal pandemi dan peningkatan biaya pencadangan. Namun, BCA menunjukkan pemulihan yang kuat pada tahun 2021 dengan pertumbuhan laba yang signifikan. NPL gross sedikit meningkat pada tahun 2021, yang mungkin mencerminkan berakhirnya beberapa periode restrukturisasi kredit awal atau pengakuan potensi kerugian yang tertunda dari dampak pandemi.
Penurunan NIM sejalan dengan tren penurunan suku bunga acuan BI. CAR BCA tetap berada pada level yang sangat kuat, LDR cenderung menurun menunjukkan pertumbuhan DPK yang lebih cepat dibandingkan penyaluran kredit, atau sikap kehati-hatian bank dalam ekspansi kredit di tengah ketidakpastian.
BCA secara proaktif melakukan restrukturisasi kredit bagi nasabah terdampak. Harga saham BBCA mengalami koreksi pada awal pandemi namun pulih relatif cepat, didukung oleh fundamental yang kuat, kepercayaan investor, dan prospek pemulihan ekonomi. Stock split yang dilakukan pada tahun 2021 juga bertujuan untuk meningkatkan likuiditas sahamnya di pasar.

Analisis Saham BBRI
Kinerja BRI pada tahun 2020 menunjukkan tekanan pada profitabilitas, sebagaimana tercermin dari penurunan laba bersih konsolidasi yang signifikan. Namun, bank ini menunjukkan pemulihan yang sangat impresif pada tahun 2021, dengan laba bersih dari bisnis bank saja mencapai Rp32,22 triliun.
NPL gross sedikit meningkat pada tahun 2021, namun NPL net menunjukkan perbaikan. Indikator profitabilitas lainnya seperti NIM, ROA, dan ROE juga menunjukkan perbaikan yang signifikan pada tahun 2021. CAR BRI tetap sangat kuat dan bahkan meningkat.
Apa artinya?
Berarti berhasil dalam mengelola dampak pandemi, terutama melalui dukungan masif yang diberikan kepada segmen UMKM melalui program restrukturisasi kredit dan penyaluran KUR, serta sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional.
Harga saham BBRI, seperti saham perbankan lainnya, terkoreksi pada awal pandemi namun menunjukkan pemulihan seiring dengan langkah-langkah stabilisasi ekonomi dan prospek pemulihan segmen UMKM yang menjadi fokus utama BRI.
Analisis Saham BMRI
Bank Mandiri juga mengalami penurunan laba bersih yang signifikan pada tahun 2020 akibat dampak pandemi. Namun, serupa dengan bank besar lainnya, Bank Mandiri berhasil rebound dengan kuat pada tahun 2021, mencatatkan pertumbuhan laba bersih yang sangat tinggi.
Perbaikan kualitas aset, yang tercermin dari penurunan NPL gross dan net, serta peningkatan signifikan pada rasio profitabilitas seperti ROA, ROE, dan NIM pada tahun 2021, menandakan efektivitas strategi bank dalam menghadapi krisis dan memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi. CAR Bank Mandiri tetap terjaga pada level yang kuat. Penurunan dividen yang dibagikan pada tahun 2021 (dari laba tahun 2020) mencerminkan sikap kehati-hatian manajemen di tengah ketidakpastian pandemi, meskipun laba mulai menunjukkan pemulihan.
Kesimpulan
Saham perbankan akan sangat cepat bereaksi terhadap krisis ekonomi, namun tentang saja karena akan rebound dengan gemilang.
Tinggalkan Balasan