Pernikahan (seharusnya) adalah hal yang sakral. Banyak alasan pribadi untuk melakukannya. Yang pasti (seharusnya) kedua pasangan adalah dua orang yang saling mencintai, saling peduli, dan saling menghargai. Bersama, berdua pengin memaknai dan menjalani hidup hingga tua nanti. Namun, ada juga yang percaya, bahwa pernikahan tak lebih dari hubungan transaksional. Ini artinya, ada “pertukaran”, sehingga terjadilah menikah karena uang.
Bisa jadi yang membaca paragraf pembuka di atas lantas mengernyit. Terdengar shallow banget ya? Matre banget. Tapi, hal ini sebenarnya adalah fakta, karena ada datanya.
Menikah karena Uang: Realistis vs Romantis
Seperti yang dilansir oleh MarketWatch, Abby Rodman, seorang psikoterapis di Boston mengatakan, bahwa kita hidup di masa-masa ketika orang semakin memundurkan usia mereka untuk menikah. Zaman dulu, orang-orang biasa saja menikah di usia belasan. Seiring waktu kesadaran pentingnya kematangan usia untuk menikah bertambah, orang juga sadar, bahwa menikah bukan cuma urusan ranjang dan beranak pinak saja. Hingga akhirnya, di zaman sekarang, lebih banyak lagi yang menikah di batas usia minimal 30 tahun, dengan pertimbangan lebih matang secara usia, pikiran, dan juga materi.
Penelitian pun mendukung teori ini. Terutama di Amerika, sebuah studi telah mengangkat fakta, bahwa 56% warga Amerika menginginkan pasangan yang mampu menyediakan financial security, alias keamanan finansial, ketimbang sekadar cinta saja.
Fakta ini diungkapkan oleh salah satu divisi Bank of America, Merrill Lynch BAC. Kecenderungan ini terbagi rata antara pria (54%) dan wanita (57%). Meanwhile, 44% di antara responden masih percaya bahwa cinta adalah satu-satunya alasan untuk menikah—dengan 54%-nya terdiri dari generasi Z, yang lahir antara tahun 1996 – 2010. Ah, ya, darah muda. Masih bisa dimaklumi.
Apa Alasan di Balik Fenomena Ini?
Aron Levine, head of Consumer Banking and Merrill Edge, menjelaskan bahwa orang-orang cenderung malas untuk memuka obrolan keuangan dengan pasangan secara panjang lebar, sehingga mereka mau “instan”, yaitu hanya menikahi mereka yang sudah mapan secara finansial—setidaknya, sama mapannya. Dengan demikian, mereka dapat “menghindari” topik ini sebisa mungkin.
Hal ini disimpulkan dari hasil survei Merrill Edge terhadap lebih dari 1.000 responden, berusia 18 – 40 tahun, yang telah memiliki aset investasi sebesar USD 20,000 hingga USD 250,000. Ini artinya mereka adalah termasuk golongan kelas menengah hingga atas. Mereka mengaku, bahwa mereka lebih suka membahas keluarga masing-masing, liburan bareng, dan diskusi tentang politik, ketimbang ngomongin duit dengan pasangan. Topik finansial lebih baik dihindari, apalagi jika harus membahas tentang utang, gaji, investasi, dan kebiasaan belanja.
Financial security menjadi faktor penentu dalam mengambil keputusan mau menikah atau tidak. Mereka yang masuk dalam golongan tidak menikah, faktanya ,mau mengambil keputusan tersebut mostly memang karena merasa insecure soal keuangan.
Abby Rodman sendiri mengemukakan, bahwa industri penyedia jasa layanan pensiun menjadi salah satu pemeran utama penting dalam pembentukan mindset ini. Publik dibombardir dengan peringatan, bahwa hidup menua tanpa persiapan itu akan membuat kita terlibat kesulitan. Bahwa dengan menabung saja tidak akan cukup untuk pensiun. Bahwa gagal pensiun itu adalah kegagalan terbesar dalam hidup.
Of course, hal ini ada benarnya. Tak ada “ancaman” yang lebih menakutkan ketimbang hidup miskin di hari tua. Harus bekerja lagi, atau bahkan menggantungkan hidup pada orang lain—termasuk pada anak.
Tapi, kalau sekarang saja kita merasa tidak merasa cukup uang untuk mencukupkan kebutuhan hari ini, lalu dari mana kita bisa menabung untuk hari tua? So, menikah dengan seseorang yang kaya raya akhirnya dipandang sebagai solusi yang tepat (dan instan), demi menghindari madesu, alias masa depan suram.
Lagi pula, kehidupan modern sekarang memang serbamahal—dan serbasulit. Punya anak itu mahal. Punya rumah itu mahal. Hidup enak itu mahal. Milenial yang sempat menyaksikan orang tua mereka bekerja keras mati-matian mencari uang untuk memenuhi kebutuhan anaknya, akhirnya tidak ingin merasakan hal yang sama.
Menikah karena Uang: Not a Bad Thing in a Way
Dilansir dari NCBC, Laurence J. Kotlikoff, seorang ahli ekonomi, menyatakan bahwa menikah dengan alasan keuangan bukanlah hal yang salah. Namun, sebaiknya perlu juga untuk mempertimbangkan alasan atau faktor lainnya. Mau tidak mau, kita juga harus mengakui bahwa kebanyakan dari kita masih menganggap cinta lebih prioritas ketimbang materi atau uang.
Namun, juga, enggak ada salahnya untuk realistis. Bukankah akan lebih baik kalau kita bisa jatuh cinta pada seseorang, dan seseorang itu juga memiliki kemapanan dari sisi finansial? Taruhlah begini, kalau sudah sama-sama tertarik, dan kemudian salah satu sudah memiliki financial security, ya buat apa cari yang lain lagi? Orang harus realistis, bahwa untuk hidup, kita butuh uang. Namun cinta bisa memberi orang support untuk maju dan berkembang, sehingga uang pun akan lebih lancar datang. Hidup juga akan lebih mudah, bukan?
Pasalnya, kita juga tak bisa mengabaikan data bahwa alasan ekonomi menjadi penyebab kedua terbanyak perceraian, sesuai data Pengadilan Agama tahun 2020. Dengan demikian, pemikiran untuk bisa mendapatkan financial security rasanya menjadi wajar sebagai alasan untuk menikah karena uang.
Si ahli ekonom Laurence J. Kotlikoff juga seakan setuju dengan adanya data di atas. Ia menegaskan bahwa kita memang sebaiknya berhati-hati dalam memilih pasangan, demi mencegah perceraian. Menikah karena uang, tetapi dengan orang yang salah, ya sama saja dengan menceburkan diri ke dalam kesulitan yang seharusnya bisa dihindari. So, jangan terburu-buru dalam memutuskan, agar tak terjadi kerugian kemudian. Pastikan juga, bahwa kamu bisa bertahan hidup sendiri meski sudah menikah, karena siapa yang bisa menjamin kehidupan pernikahan dengan finansial yang terjamin bakal bisa terus bertahan. Kadang bukan manusia yang memisahkan, tetapi bisa juga maut, ataupun hal yang lainnya.
Untuk “mengamankan” pernikahan, Laurence menyarankan bagi pasangan untuk membuat prenup atau perjanjian pranikah. Apalagi bagi pasangan yang sama-sama mapan, dan punya aset untuk dijaga masing-masing.
So, siap melamar/dilamar sekarang?