Dalam metode value investing, salah satu strategi yang akan digunakan investor adalah mengincar saham-saham yang memiliki nilai valuasi rendah dan kinerja fundamental yang baik dan sehat. Kalau mau disingkat ya, cari saham murahan deh.
Tentunya hal ini nggak salah, demi memaksimalkan keuntungan yang dapat diraih di masa mendatang.
Namun, ada hal yang perlu digarisbawahi, harga saham yang secara valuasi murah tidak selalu berarti bahwa sahamnya tidak bagus. So, ada baiknya, kita perlu mengenal seperti apa ciri saham murahan. Lalu, bagaimana trik menghindarinya?
Konten ini merupakan hasil kerja sama dengan Rivan Kurniawan.
Saham Murahan: Yang Kayak Apa?
Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan dari kita pasti menyukai barang-barang dengan harga diskon. Ya, siapa sih yang tidak suka dengan barang diskon?
Misalkan saja, kita berada dalam situasi sudah naksir membeli sebuah baju. Tetapi karena harganya harganya belum pas dengan kantong kita, pasti jadi berpikir dua kali untuk membelinya. Kemudian ternyata kita mendapatkan informasi bahwa ternyata baju yang kita taksir tersebut diskon 50%. Maka kemungkinan besar kita akan memutuskan untuk membeli baju tersebut.
Namun ketika kita sampai di toko yang menjual baju tersebut, dan ternyata kita menemukan bahwa baju yang didiskon tersebut ternyata sudah cacat—misalkan saja ada noda yang tidak bisa hilang, warna bajunya pudar dibandingkan dengan aslinya, ataupun karena jahitannya yang kasar, dan sebagainya—apakah kita masih mau membelinya?
Kemungkinan besar lagi jawabannya adalah tidak, karena pastinya kita ingin membeli barang bagus dengan harga yang murah, bukannya membeli barang yang “murahan”.
Nah, prinsip yang sama juga berlaku di pasar saham.
Sebagai seorang investor, pastinya kita ingin membeli saham-saham dengan kualitas bagus pada harga yang terdiskon. Namun sering kali kata terdiskon ini disalahartikan oleh sebagian investor, ketika setelah dicek secara fundamental, ternyata fundamental perusahaannya kurang baik.
Kesalahan yang Sering Dilakukan Investor dalam Menilai Saham Murahan
Saham Gocap Lebih Murah Ketimbang Saham Seceng?
Kesalahan terbanyak yang sering kali dilakukan investor adalah menganggap saham-saham gocap-an lebih murah dibandingkan saham-saham yang berada di harga Rp1.000-an.
Ada seorang teman dengan hobi mengoleksi saham-saham yang berada di bawah harga Rp100. Alasannya adalah kalau naik lebih “berasa” ketimbang saham-saham yang berada di harga di atas Rp1000-an.
Sebagai value investor, dalam membeli saham, kita bukan berpatokan kepada harga sahamnya, melainkan membandingkan harga saham tersebut dengan nilai intrinsiknya.
Maksudnya gimana?
Begini. Jika saham A dihargai di Rp100 namun memiliki nilai intrinsik Rp70, tentu saja harga ini lebih mahal ketimbang saham B yang dihargai di Rp1.000 namun memiliki nilai intrinsik Rp1.500.
Terlalu Mengandalkan PER dan PBV Tanpa Cek Fundamental
Tapi, bukankah memang PER dan PBV ini yang menjadi indikator dalam menilai mahal murahnya sebuah saham?
Betul bahwa keduanya adalah beberapa indikator yang sering kali digunakan oleh investor dalam menilai mahal atau murahnya sebuah saham.
Kita mengetahui bahwa semakin kecil indikator PER dan PBV, maka semakin murah saham tersebut. Namun, ada beberapa situasi ketika kita tidak bisa selalu mengandalkan PER dan PBV.
Contoh Cara Mengenali Saham Murahan
Ambil saja contoh saham PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG).
Pada Laporan Keuangan SRTG yang terakhir (2017), terlihat PER SRTG saat ini adalah sekitar 2.8x. Terlihat menakjubkan dan terlihat sangat murah, bukan?
Namun kalau kita tarik Laporan Keuangan SRTG selama 3 tahun terakhir, yaitu tahun 2015, 2016, dan 2017, maka ada perbedaan yang mendasar:
- 2015: Pendapatan Rp4.3 triliun, laba bersih Rp923 miliar –> Net Profit Margin 22% (PER 11.8x)
- 2016 : Pendapatan Rp7.5 triliun, laba bersih Rp 5.67 triliun –> Net Profit Margin 76% (PER 1.7x)
- 2017 (ANLZ) : Pendapatan Rp4.4 triliun, laba bersih Rp 3.7 triliun –> Net Profit Margin 86% (PER 2.8x)
Lihat perbedaannya?
Laba bersih SRTG terlihat naik sekitar 5x lipat dari tahun 2015 ke tahun 2016. Kenaikan laba bersih 5x lipat praktis akan membuat PER-nya menjadi murah.
Logikanya kalau memang benar laba bersih SRTG di tahun 2016 naik 5x – 6 x lipat dibandingkan 2015, maka seharusnya harga sahamnya juga ikutan melonjak tinggi. Namun apa yang terjadi pada tahun 2016? Harga saham SRTG justru turun dari Rp4.400 an ke Rp3.000 an, sebelum mantul lagi ke Rp3.800-an.
Nah, kalau kita cek laporan keuangannya, ternyata ada beban pokok penjualan barang sejumlah Rp3.2 triliun di tahun 2015 yang dinolkan pada tahun 2016 dan 2017.
Ternyata pada Laporan Keuangan SRTG tahun 2016 pada catatan kaki 26, kita akan menemukan penjelasan sebagai berikut:
Nilai beban pokok penjualan barang merupakan milik entitas anak yang bukan merupakan entitas investasi. Sejak 2016, entitas tersebut sudah tidak dikonsolidasi karena investasi di entitas ini diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi.
Dan juga catatan kaki 2F:
Menyatakan komitmen kepada investor bahwa tujuan bisnisnya adalah untuk menginvestasikan dana yang semata-mata untuk memperoleh imbal hasil dari kenaikan nilai modal, penghasilan investasi, atau keduanya.
Jadi, di atas kertas, beban pokok penjualan sudah tidak diakui lagi secara akuntansi pada Laporan Keuangan SRTG, yang membuat biayanya berkurang Rp3.2 triliun (secara akuntansi) dan otomatis membuat laba bersihnya meningkat (secara akuntansi juga).
Tapi kalau kita lihat lagi penjelasan di atas, maka sekarang kita paham bahwa PER nya tidak semurah itu.
Situasi Ketika Valuasi Murah Tidak Selalu Layak untuk Investasi
Ada beberapa situasi ketika valuasi saham murahan tidak benar-benar layak untuk diinvestasikan dari sudut pandang value investing. ini menjadi trik yang baik untuk sebisa mungkin kita menghindari saham-saham murahan tersebut.
Di antaranya:
1. Secara historical, perusahaan tidak pernah dihargai mahal oleh market
Ketika misalkan Anda menemukan sebuah saham yang secara valuasi dikatakan murah. Cek terlebih dahulu historical perusahaan tersebut. Apakah perusahaan pernah dihargai mahal oleh market?
Apabila perusahaan tidak pernah dihargai mahal oleh market—selama 5 tahun terakhir PER dan PBV-nya selalu terlihat murah—maka cek terlebih dahulu mengapa perusahaan tidak pernah dihargai mahal oleh market.
Ada kemungkinan memang kinerja fundamentalnya biasa-biasa saja, atau kemungkinan lain? Misalnya, perusahaan tidak pernah membagikan dividen.
2. Kinerja perusahaan jeblok bahkan sampai rugi
Situasi lainnya adalah ketika dalam kondisi perusahaan sedang mengalami penurunan kinerja. Lebih parah lagi, perusahaan sedang dalam kondisi rugi.
Saham murahan seberapa pun, tapi kalau kinerja perusahaannya tidak baik, maka tetap saja saham tersebut belum masuk dalam kategori layak untuk investasi.
Oleh karena itu, perhatikan kinerja fundamentalnya. Jangan sampai kita membeli saham murahan yang ternyata secara fundamentalnya tidak bisa dikatakan baik.
3. Laba bersih perusahaan meningkat bukan dari kinerja operasionalnya
Situasi lainnya adalah laba bersih perusahaan meningkat—biasanya secara drastis—tetapi bukan dari kinerja operasionalnya, melainkan dari hal-hal yang berhubungan dengan nonoperasional. Misalnya seperti penjualan aset dan sebagainya.
Atau seperti contoh SRTG di atas tadi, ketika laba bersihnya terlihat meningkat drastis karena ada sejumlah biaya yang dihilangkan atau tidak diakui lagi, yang membuat valuasinya juga terlihat murah.
Saham Murahan? Lihat Lagi!
Setelah memahami bahwa tidak semua saham yang memiliki valuasi murah layak untuk diinvestasikan, maka sebaiknya kita lebih berhati-hati lagi dalam melihat valuasi sebuah perusahaan.
Satu tip buatmu, jangan hanya melihat valuasi sebuah perusahaan saja, melainkan juga perhatikan kinerja fundamentalnya. Apakah memang saham murahan ini karena kinerja perusahaan yang semakin baik, atau karena faktor nonoperasional yang membuat valuasinya terlihat murah?
Ingat apa yang pernah dikatakan oleh Warren Buffett:
“It’s far better to buy a wonderful company at a fair price, than a fair company at a wonderful price.”
Disclaimer: Ilustrasi di atas adalah untuk kepentingan edukasi. Tidak ada maksud untuk mendiskreditkan suatu saham tertentu, melainkan hanya sebagai contoh.