Kita di Indonesia itu kaya mitos. Iya enggak? Sejak kecil kita sudah banyak dihadapkan pada mitos. Siapa yang dulu suka diwanti-wanti, kalau main harus segera pulang begitu senja datang? Soalnya, katanya ada sejenis makhluk halus yang suka mengincar anak-anak berkeliaran di waktu senja. Nah, begitu juga di keuangan. Ada juga berbagai mitos keuangan yang masih sering terdengar sampai sekarang.
Saya sendiri dulu juga percaya pada beberapa mitos keuangan. Ya gimana ya, literasi keuangan belum kayak sekarang sih. Biasanya, dulu pasti cuma hasil dari dengerin orang tua. Kalau ajaran orang tua yang masih berlaku sampai sekarang adalah bikin pos pakai amplop-amplop. Udah, ini emang zaman old banget, tapi manjur. Sudah coba cara lain, enggak sreg. Paling sreg pakai amplop ini, ya udah, lanjutin.
Nah, tapi seiring perkembangan zaman dan makin banyak belajar literasi keuangan, makin ngeh deh beberapa hal sudah mulai berubah. Misalnya, dulu taunya cuma #horangkayah yang bisa beli saham perusahaan. Atau, mumpung masih muda, punya duit sendiri ya seneng-seneng aja dulu! YOLO! You only live once! Yaelah. Atau, jangan sekali-sekali utang!
Iya, kadang masih suka denger kan nasihat-nasihat atau pernyataan-pernyataan kek gitu sekarang? Nih, saya kumpulin nih, beberapa mitos keuangan yang sooo yesterday tapi masih saja terdengar dan, lucunya, masih dipercaya sampai sekarang.
7 Mitos Keuangan yang So Yesterday
1. Utang itu haram
“Jauhi utang! Bakalan sengsara idup lo! Kalau pengin sesuatu, nabung aja! Nanti juga kebeli.”
Nah, siapa yang sampai sekarang masih percaya mitos keuangan yang pertama ini?
Sebentar. Ini pengin apa nih? Kalau cuma pengin sepatu harga Rp500.000, ya bisalah nabung. Dua bulan juga dapet. Harga sepatunya belumlah naik. Paling apes ya sepatunya udah keambil orang. Tapi, bakalan ada model baru lagi. Gosah bingung.
Lah tapi kalo pengin beli rumah, duit dari mana disuruh nabung doang? Alhamdulillah kalau kita terlahir di keluarga kaya. Nabungnya mungkin bisa Rp100 juta per bulan gitu. Lah, ini gaji paling banter berapa juta? Mau beli rumah berapa miliar? Nabung berapa puluh tahun? Rumahnya udah keburu naik lagi deh harganya.
Kadang kita perlu utang. Tapi, pastikan utangnya utang produktif–artinya, utang yang akan memberikan nilai tambah dalam hidup kita. Misalnya kayak rumah itu. Jika seandainya rumah yang kebeli juga enggak disewakan hingga menghasilkan uang per bulan, tapi kan rumah adalah kebutuhan hidup pokok–yang “kebetulan” harganya kadang enggak terjangkau?
Ya emang sih, ada opsi sewa rumah. Tapi mau sampai kapan nomaden? But, itu enggak akan dibahas di artikel ini sih. Sudah ada di artikel lain.
Rumah, buat sebagian besar orang (saya juga), hanya bisa dibeli dengan cara meminjam uang, dan kemudian uangnya kita kembalikan dengan cara mengangsur–tentu saja, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
So, utang itu haram? Ya, utang yang gimana dulu? Utang buat apa? Untuk beli apa?
Kalau soal riba, ada kok opsi kredit syariah. Iya kan? Bisa dipilih sebagai alternatif tuh.
2. Nabung itu nggak guna kalau cuma bisa sedikit
Nah, ini pernah nih ada yang bilang gini sama saya.
“Nabung cuma 100-200 ribu mah nanggung. Udahlah, dipake dulu buat seneng-seneng. Ntar kalau gajinya naik, baru deh bisa nabung sejuta dua juta per bulan, nah, itu baru deh kerasa.”
Iya, ada yang bilang gitu sama saya. Ya, waktu itu sih enggak bisa jelasin kenapa, tapi ngerasa ada yang salah aja di situ.
Well, nabung dengan nominal berapa pun enggak masalah. Ya memang, kalau standarnya kita seharusnya bisa menabung minimal 10% dari penghasilan. Ini supaya safe aja sih, kan mesti dijatah bareng sama kebutuhan lainnya. Tapi, sesungguhnya nabung dengan nominal berapa pun itu baik adanya.
Pernah ada di situasi, nabung cuma bisa Rp50 ribu – Rp100 ribu aja setiap bulan, tapi ya disyukuri dong. Masih bisa menabung, di antara kebutuhan hidup yang sebegitunya.
Jadi, enggak usah khawatir. Mulailah menabung dari nominal berapa pun. Terus, ya paling baik nabunglah di instrumen investasi yang sesuai dengan profil risikomu. Misalnya, mau nabung di reksa dana, dengan duit Rp100.000 aja bisa kok zaman sekarang. Gampang lagi, mulainya.
3. Jauhi kartu kredit!
Nah, dulu saya pernah mikir begini juga sih, bahwa kartu kredit itu sumber penyakit.
Iya, dulu. Sekarang? Well, kalau kita sudah punya pengetahuan yang cukup soal pengelolaan uang–dan memiliki disiplin yang baik–kita akan bisa memanfaatkan kartu kredit dengan sehat juga kok.
Saya biasanya pakai untuk mempermudah belanja online barang-barang dari luar negeri. Saya juga pakai untuk akun hosting dan domain web saya yang pakai provider luar negeri. Kalau perpanjang, udah langsung otomatis aja. Nanti saya tinggal terima tagihan melalui email. Kalau domain dan hosting kan sejak beberapa bulan sebelumnya sudah kasih notif, jadi bisa dianggarkan. Begitu terbayar via kartu kredit, tinggal bayar penuh. Nggak pernah ada masalah.
Beberapa orang teman yang suka traveling ke luar negeri juga mengaku tertolong dengan adanya kartu kredit ini. Transaksi apa pun jadi lebih mudah dan cepat. Begitu pulang ke Indonesia, tinggal bayar-bayar saja karena semua toh sudah dianggarkan.
See? Nggak cuma kekurangannya saja kok yang banyak, manfaat kartu kredit juga banyak–asalkan ya itu tadi, kita punya disiplin diri yang baik dan konsisten dalam penggunaannya.
4. Pensiun masih lama
Well, kalau ini dengan jujur saya akui, saya (pernah) percaya. Ini mitos keuangan yang menyesatkan banget deh nih. Bikin kita merasa muda terus, merasa bisa produktif terus.
Padahal, usia itu sudah pasti bertambah. Energi pasti berkurang. Akan tiba saatnya kita lelah mengejar materi. Terus lebih memilih bersantai, lebih menikmati hidup yang tinggal sebentar lagi.
Lha tapi, menikmati hidup pakai apa kalau enggak punya bekal? Bagaimanapun, kita kan butuh duit buat hidup. Buat beli makanan, buat apa saja deh.
Terus, kalau bekal masa tua itu enggak disiapkan sejak muda, lalu kapan lagi?
Saya mulai tersadar ketika secara iseng, saya main-main di simulasi dana pensiun di web milik salah satu perencana keuangan. Ternyata setidaknya, saya butuh Rp3 miliar untuk bisa hidup setelah saya lelah nyari duit besok.
3 miliar!
Duit siapa, 3 miliar?
Karena itu, ya agak terlambat sih buat saya mulai mikirin dana pensiun di usia saya yang sudah masuk 30-an akhir. Tapi no problem, daripada enggak siap sama sekali kan?
Kamu juga sebaiknya jangan begitu saja memercayai mitos keuangan ini. Masa pensiun itu akan datang juga pada akhirnya, dan kamu butuh bekal untuk melaluinya. Jangan mengandalkan orang lain–termasuk anakmu nanti–untuk bisa menopang hidupmu. Kamu harus tetap mandiri, sampai tua.
Caranya gimana? Berinvestasilah untuk dana pensiun sejak sekarang. Yes, sekarang!
5. Cuma orang kaya yang bisa beli saham
Nah, mitos keuangan ini dulu juga saya percaya banget. Pernah ada saudara yang cerita, kalau beliau habis beli saham suatu perusahaan. Saya langsung mikir, “Wih! Kaya banget berarti!” sembari saya menatapnya dengan penuh kekaguman.
Sekarang, saya tahu, kita bisa belanja saham dengan nominal berapa pun–asalkan kita tahu saham yang tepat. Banyak saham yang cukup terjangkau, banyak pula saham yang harganya mahal.
Ayo, belajar kenalan sama saham dulu, baru deh memutuskan mau beli saham yang mana. Yang jelas, kamu enggak butuh duit berpuluh-puluh juta kok untuk beli saham ini. Hanya beberapa ratus ribu saja sudah dapat.
6. Saham itu banyak ruginya
Apakah kamu juga termasuk dari mereka yang percaya pada mitos keuangan keenam ini?
Lagi-lagi saran saya cuma satu, seperti mitos keuangan kelima di atas: belajar saham. Enggak ada salahnya kok kenalan dulu, baru kemudian bisa dilihat, apakah saham itu selalu rugi?
Saya sendiri juga masih belajar terus tentang saham ini. Tentunya, enggak cuma biar cuan, tetapi demi tujuan keuangan yang saya rencanakan.
7. Banyak anak banyak rezeki
Yang terakhir ini sih, sepintas lalu, kayak enggak ada hubungannya sama keuangan ya? Tapi kalau dipikir-pikir, ini bisa banget memengaruhi kondisi keuangan keluarga lo. Jadi, mari kita masukkan ke salah satu mitos keuangan yang sooo yesterday!
Masih ada yang percaya enggak sih dengan mitos ini, banyak anak banyak rezeki?
Well, ya enggak masalah sih kalau emang masih percaya. Tapi jangan jadikan mitos ini sebagai alasan untuk bikin keluarga besar tanpa rencana yang matang dan dipikirkan masak-masak ya. Please-lah. Anak butuh yang terbaik, mulai dari makanan, perlindungan, pendidikan, dan segala macamnya.
Semoga jika memang kamu percaya pada mitos keuangan satu ini, kamu sekarang juga sudah dapat memenuhi semua kebutuhan anakmu dengan baik. Patahkan saja mitos itu, dan buktikan kalau memang banyak anak banyak rezeki.
Nah, dari ketujuh mitos keuangan di atas, mana nih yang masih kamu percaya? Atau kamu pengin menyanggah bahwa ada yang bukan termasuk mitos? Atau, malahan kamu ingin menambah mitos keuangan versi kamu sendiri?
Yuk, ditunggu share-nya di komen ya!
Penulis
Carolina Ratri berprofesi sebagai Marketing Communications Specialist di Stilleto Book. Bergabung menjadi penulis website Diskartes.com sejak Juni 2019.
Aa Amat mengatakan
Agak bingung sama penyusutan nilai bangunan nih Ceu…..kok hitungannya luas tanah dikali harga bangunan ya? Gimana kalo punya tanah luas buat kebun tapi bangunannya cuman ukuran type 21?